Saturday, October 13, 2018

Waspada Gaya Politik Merasa Terzalimi

 
Zalim mempunyai arti aniaya, bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, dan bengis. Pada dasarnya, zalim berasal dari bahasa Arab, yang lantas diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam perjalanan waktu, kata zalim ini seringkali dipakai dalam percakapan keseharian. Waktu ini istilah tersebut kian memperoleh ruang dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan bergesernya moral sebagian warga Indonesia dan mengarah ke perilaku tersebut. Di sisi lain, ada fenomena sebagian warga yang lain merasa terzalimi walaupun tidak ada bukti valid bahwa pihak yang dinilai menzalimi sungguh-sungguh berbuat kezaliman. Keadaan terzalimi ini lantas menyebabkan mereka menggelar gerakan-gerakan untuk menggelar perlawanan.

Kita seluruh telah memahami bahwa warga Indonesia tengah diuji dengan polarisasi dalam bidang sosial dan politik. Warga terbagi tampaknya jadi 2 bagian besar: penyokong pemerintahan—dan lantas menyokong terpilihnya kembali Ir. Jokowi jadi Presiden Indonesia). 1 lainnya menamakan diri dengan tagar #2019GantiPresiden”. Bagian terakhir ini seringkali memainkan politik merasa terzalimi.

Sebenarnya, merasa terzalimi ini mempunyai sisi yang bermacam sehingga bisa dimaknai dari bermacam sudut pandang. Dalam konteks global atau dunia internasional, merasa terzalimi telah terbangun semenjak lama pada diri sebagian kalangan muslim. Hal ini tidak terlepas dari dominasi Amerika Serikat dan sekutunya dalam dinamika ekonomi dan politik dunia. Dominasi ini lantas menyebabkan paham yang dianut oleh Barat (kapitalisme, modernisasi, dan sebagainya) jadi referensi untuk semua aspek kehidupan.

Akibatnya, sebagian kalangan muslim yang menganut nilai dan paham yang tak sama lambat laun tersingkirkan. Kecuali itu, dominasi Barat (yang menganut neo-imperialisme) ditunjukkan dengan sikap campur tangan Barat pada negara-negara Islam Timur Tengah dan di wilayah lain (misalkan, di Palestina, Kkashmir, Afghanistan, Irak, Libya, Mesir). Fenomena terjajahnya dan semrawutnya keadaan negara-negara Islam di bermacam belahan dunia memunculkan rasa kesetiakawanan di kalangan muslim di belahan dunia yang lain. Sehingga, perasaan terzalimi ini ikut dinikmati oleh kalangan muslim di negara lain. Inilah yang lantas jadi bagian karena sebagian kalangan muslim terjatuh pada paham dan perilaku terorisme dan radikalisme.

Dalam konteks Indonesia, perasaan terzalimi ini jadi kian besar semenjak 4 tahun terakhir. Tepatnya, semenjak Joko Widodo terpilih jadi presiden Indonesia yag ketujuh. Pertanyaannya, mengapa fenomena merasa terzalimi ini mencapai eskalasi yang signifikan di jaman presiden Jokowi sampai-sampai jadi suatu gerakan perlawanan? Pertanyaan ini nantinya akan membawa warga pada pemahaman akhir, apakah sikap merasa terzalimi ini murni untuk kepentingan bangsa dan negara atau gerakan perlawanan untuk kepentingan kubu tertentu?

Semenjak awal masa kampanye pada tahun 2014, Jokowi telah diidentikkan dengan komunis dan kekafiran oleh sebagian kubu. walaupun tidak ada bukti terang, asumsi ini malah kian diperbesar pasca terpilihnya Jokowi jadi presiden. Akibat asumsi ini, maka muncul kekuatiran irasional kepada kemungkinan tersingkirnya dan terzaliminya ummat Islam. Asumsi dan kekuatiran irasional ini kian besar di pertengahan masa pemerintahan Jokowi. Tiap-tiap fenomena warga yang terjadi selama masa pemerintahan Jokowi senantiasa dikaitkan dengan ketertindasan dan terzaliminya ummat Islam. Pemikiran semacam ini seringkali dipaksakan untuk untuk membuktikan asumsi awal mereka bahwa Jokowi jauh dari Islam. Uniknya, asumsi dan pemikiran mereka dikemas dalam pernyataan-pernyataan dan gambar-gambar meme yang amat mudah dipahami oleh warga awam (terlepas apakah valid atau tidak). Dengan sedemikian, beberapa warga awam yang terpengaruh dengan propaganda merasa terzalimi tersebut.

Pada titik ini, kita sanggup membaca abnormalitas mereka yang berupa narsistik dan berpikir jalan pintas berdasar kesamaan unsur dengan menafikan perbedaan konteks. Menyamakan keadaan mereka dengan keadaan Nabi terang bukan sikap yang bijak sebab bagaimanapun juga saban orang tidak sanggup mensejajarkan dirinya dengan perjuangan dakwah Nabi.
Di sisi lain, konteksnya terang tak sama. Kalau jaman awal Islam Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sungguh-sungguh berhadapan dengan kaum kafir yang nyata dan menzalimi secara nyata pula, maka di jaman ini dan di Indonesia ini keadaan tersebut tidak ditemukan. Keadaan ini ditemukan cuma dalam alam imajinasi utopis mereka yang mensejajarkan perjuangannya dengan perjuangan Nabi beserta para sahabat.
Maka, jadi aneh kalau keadaan Indonesia yang aman dan tenteram ini disamakan dengan keadaan ummat Islam yang berhadapan dengan kaum kafir dalam perang Badar dan perang Uhud (layaknya orasi Neno Warisman di Peluang deklarasi 2019 ganti presiden).

hingga penjelasan ini, maka bisa kita pahami bahwa merasa terzalimi tidak lebih dari politik untuk menyerbu kubu tertentu dan merebut kekuasaan. Pada titik ini juga bisa dipahami bahwa agama rentan dipakai oleh kubu tertentu untuk mempengaruhi warga dalam mencapai tujuannya sehingga warga awam mudah terpengaruh. Hal ini dikarenakan politik merasa terzalimi yang dibungkus oleh agama membikin seseorang berpikir dan merasa agama yang dianutnya tengah diperlakukan tidak adil (terlepas ketiadaan bukti valid akan pemikiran ini) sehingga dirinya mesti Ikut berkontribusi melarang tersingkirnya ummat Islam.

Terlebih bagi warga awam yang kurang memahami agama secara mendalam (baik pengetahuannya maupun minim praktik peribadatan keagamaan), ancaman tersingkirnya ummat Islam membuatnya bersemangat mengambil peran untuk menutupi kekurangannya dalam beragama. Keadaan ini yang semestinya sanggup dipahami oleh warga sehingga warga belajar berpikir kritis dan evaluatif.

Untuk menutupi politik merasa terzalimi yang dipakai selaku modalitas dalam menjatuhkan elektabilitas Jokowi, maka mereka senantiasa menjelaskan bahwa ummat Islam telah terzalimi semenjak lama dan dimanapun Ada ummat Islam juga terzalimi, walaupun tidak ada hubungannya dengan presiden Jokowi.
Waktu sikap merasa terzalimi ini telah jadi gerakan tertentu dengan mensejajarkan konteks Indonesia layaknya masa awal Islam (antara Nabi dan para sahabat melawan kaum kafir), jadi ditolak oleh bermacam elemen warga. Hal ini dikarenakan beberapa faktor.

Ke-1 , sebagian kalangan warga lain merasa tersinggung dan sakit hati sebab posisi mereka disamakan dengan kaum kafir yang melawan Nabi. Padahal, di antara mereka yang dinilai posisinya sama dengan kaum kafir juga beragama Islam. Sehingga, wajar kalau muncul perasaan tersinggung.
Ke-2 , politik merasa terzalimi yang jadi bermacam gerakan ini seringkali memunculkan pernyataan-pernyataan yang provokatif, menjatuhkan, dan seringkali tidak menyertakan data yang valid. Ketiga , politik merasa terzalimi ini perlahan ditularkan pada generasi anak (bahkan, ada cerita soal orang tua yang menakuti anaknya kalau presiden Jokowi terpilih kembali maka ummat Islam akan disingkirkan dan dibunuh).

walaupun tidak ada gerakan perlawanan fisik, politik merasa terzalimi mempunyai kemungkinan untuk mengarah ke situ. Hal ini bahkan diungkapkan oleh Tengku Zulkarnaen yang beberapa kali menyebut perang selaku jalan penyelesaian. Oleh sebab itu, warga Penting mewaspadainya dengan mengedukasi diri, baik menaikkan pemahamannya kepada agama maupun fenomena sosial secara pas.

Kecuali itu, warga juga Penting mengedukasi diri untuk menyikapi perbedaan dan berhadapan dengan gerakan-gerakan merasa terzalimi dengan cara yang bijak sehingga tidak ada celah bagi kubu yang merasa terzalimi untuk melegalkan perang dan permusuhan. Politik merasa terzalimi sanggup berkemungkinan menciptakan kegaduhan sosial dan polarisasi yang kian jauh, bahkan pertumpahan darah. Para pemuka agama juga bisa mengambil peran dalam bentuk menampilkan Islam yang full dengan nilai-nilai moderat, menyejukkan, dan agen pembebasan dengan program pemberdayaan bukan dengan perlawanan. Orang tua dan pengajar bisa berperan dalam mendidik generasi muda yang bersedia membangun peradaban dengan ilmu, bukan dengan ucapan kebencian dan perasaan terzalimi. Kecuali itu, juga penting untuk mendidik generasi muda supaya berpolitik secara sehat.

Di sisi lain, fenomena politik merasa terzalimi sesungguhnya sanggup jadi warning bagi pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam bersikap supaya tidak disalahpahami dan dipakai oleh kubu yang merasa terzalimi untuk menjatuhkan pemerintah. Indonesia jadi tanggung jawab berbarengan. Persatuan mesti diutamakan, perselisihan mesti ditinggal, untuk mencapai Indonesia sejahtera.i 2019 ganti presiden).

hingga penjelasan ini, maka bisa kita pahami bahwa merasa terzalimi tidak lebih dari politik untuk menyerbu kubu tertentu dan merebut kekuasaan. Pada titik ini juga bisa dipahami bahwa agama rentan dipakai oleh kubu tertentu untuk mempengaruhi warga dalam mencapai tujuannya sehingga warga awam mudah terpengaruh. Hal ini dikarenakan politik merasa terzalimi yang dibungkus oleh agama membikin seseorang berpikir dan merasa agama yang dianutnya tengah diperlakukan tidak adil (terlepas ketiadaan bukti valid akan pemikiran ini) sehingga dirinya mesti Ikut berkontribusi melarang tersingkirnya ummat Islam.

Terlebih bagi warga awam yang kurang memahami agama secara mendalam (baik pengetahuannya maupun minim praktik peribadatan keagamaan), ancaman tersingkirnya ummat Islam membuatnya bersemangat mengambil peran untuk menutupi kekurangannya dalam beragama. Keadaan ini yang semestinya sanggup dipahami oleh warga sehingga warga belajar berpikir kritis dan evaluatif.

Untuk menutupi politik merasa terzalimi yang dipakai selaku modalitas dalam menjatuhkan elektabilitas Jokowi, maka mereka senantiasa menjelaskan bahwa ummat Islam telah terzalimi semenjak lama dan dimanapun Ada ummat Islam juga terzalimi, walaupun tidak ada hubungannya dengan presiden Jokowi.

Waktu sikap merasa terzalimi ini telah jadi gerakan tertentu dengan mensejajarkan konteks Indonesia layaknya masa awal Islam (antara Nabi dan para sahabat melawan kaum kafir), jadi ditolak oleh bermacam elemen warga. Hal ini dikarenakan beberapa faktor.

Ke-1 , sebagian kalangan warga lain merasa tersinggung dan sakit hati sebab posisi mereka disamakan dengan kaum kafir yang melawan Nabi. Padahal, di antara mereka yang dinilai posisinya sama dengan kaum kafir juga beragama Islam. Sehingga, wajar kalau muncul perasaan tersinggung.
Ke-2 , politik merasa terzalimi yang jadi bermacam gerakan ini seringkali memunculkan pernyataan-pernyataan yang provokatif, menjatuhkan, dan seringkali tidak menyertakan data yang valid. Ketiga , politik merasa terzalimi ini perlahan ditularkan pada generasi anak (bahkan, ada cerita soal orang tua yang menakuti anaknya kalau presiden Jokowi terpilih kembali maka ummat Islam akan disingkirkan dan dibunuh).

walaupun tidak ada gerakan perlawanan fisik, politik merasa terzalimi mempunyai kemungkinan untuk mengarah ke situ. Hal ini bahkan diungkapkan oleh Tengku Zulkarnaen yang beberapa kali menyebut perang selaku jalan penyelesaian. Oleh sebab itu, warga Penting mewaspadainya dengan mengedukasi diri, baik menaikkan pemahamannya kepada agama maupun fenomena sosial secara pas.

Kecuali itu, warga juga Penting mengedukasi diri untuk menyikapi perbedaan dan berhadapan dengan gerakan-gerakan merasa terzalimi dengan cara yang bijak sehingga tidak ada celah bagi kubu yang merasa terzalimi untuk melegalkan perang dan permusuhan.

Politik merasa terzalimi sanggup berkemungkinan menciptakan kegaduhan sosial dan polarisasi yang kian jauh, bahkan pertumpahan darah. Para pemuka agama juga bisa mengambil peran dalam bentuk menampilkan Islam yang full dengan nilai-nilai moderat, menyejukkan, dan agen pembebasan dengan program pemberdayaan bukan dengan perlawanan. Orang tua dan pengajar bisa berperan dalam mendidik generasi muda yang bersedia membangun peradaban dengan ilmu, bukan dengan ucapan kebencian dan perasaan terzalimi. Kecuali itu, juga penting untuk mendidik generasi muda supaya berpolitik secara sehat.

Di sisi lain, fenomena politik merasa terzalimi sesungguhnya sanggup jadi warning bagi pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam bersikap supaya tidak disalahpahami dan dipakai oleh kubu yang merasa terzalimi untuk menjatuhkan pemerintah. Indonesia jadi tanggung jawab berbarengan. Persatuan mesti diutamakan, perselisihan mesti ditinggal, untuk mencapai Indonesia sejahtera.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...