Thursday, September 13, 2018
Abah Guru dan Ulama Banjar Berjuang di NU
Menjelang Pemilu Tahun 1982, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) paling keras mengusung wacana agar NU kembali ke khittah 1926. Dua tahun berikutnya, wacana itu kemudian benar-benar disepakati pada Muktamar NU di Situbondo.
Kembalinya NU pada rel 1926 –tidak terlibat dalam politik praktis-, tentu saja tidak diinginkan sekaligus tidak disukai sebagian orang. Sehingga, banyak gangguan yang dilancarkan, termasuk dari kalangan para dukun yang mengirim pasukan gaib untuk membubarkan Muktamar itu.
KH M As’ad Situbondo selaku tuan rumah tak ingin muktamar itu diganggu-ganggu. Maka beliau kemudian menghubungi KH M Zaini bin Abdul Ghani –sebagaimana cerita Abah Guru- agar mengontak Raja Jin Islam di Abu Dhabi. Sehingga, gangguan gaib dari para jin jahat itu dihadang dari bangsa jin sendiri.
Keterlibatan Abah Guru dengan Nahdlatul Ulama makin intens pada muktamar NU 1994 (lihat tulisan Hairus Salim: Gus Dur dan Guru Sekumpul: Sebuah pertemuan). Beliau diundang oleh KH Abdurrahman Wahid untuk datang pada Muktamar NU tersebut. Namun karena aral melintang (kesehatan) beliau tidak jadi datang.
Kendati Abah Guru tidak bisa berhadir, nama beliau (KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani) tercantum sebagai salah satu dari 9 mustasyar (penasehat) PBNU periode 1994-1999. Dewan penasehat adalah strata tertinggi dalam struktur kepengurusan NU.
Lebih jauh, NU bukanlah organisasi yang baru dikenal Abah Guru, sebab para guru beliau di Ponpes Darussalam adalah pendiri sekaligus pengurus NU di masanya. Sebut saja, KH Abdul Qadir Hasan atau yang dikenal dengan julukan Guru Tuha. Beliau adalah pendiri sekaligus pemimpin pertama NU di Martapura. Kemudian KH Husin Ali (anak dari Syekh Ali Al Banjari) ditunjuk sebagai katibnya (sekretaris).
Tidak hanya Guru Tuha dan KH Husin Ali yang mengurus NU, sejumlah nama ulama besar lainnya juga berkecimpung di dalamnya. Sebut saja, KH Salim Ma’ruf, KH Seman Mulya, KH Salman Jalil, dan didukung para ulama yang menjadi pengajar di Ponpes Darussalam. Bahkan, orang yang menyuruh Guru Tuha menemui Syekh Hasyim Asy’ari (menurut penuturan KH Syaifuddin Zuhri, Banjar Indah) adalah guru ulama Banjar saat itu. Beliau adalah Syekh Kasyful Anwar Al Banjari Pimpinan ketiga Ponpes Darussalam.
Syekh Kasyful Anwar Al Banjari dengan Syekh Hasyim Asy’ari satu “alumni”, yakni sempat menimba ilmu pada ulama di tanah haram. Salah satunya pada Syekh Bakri Satha (pengarang I’anatut Tholibin).
Karena itu, NU kemudian diwarisi para ulama banjar berikutnya. Seperti KH Khalilurrahman bin KH Salim Ma’ruf, KH Hasanuddin bin KH Badruddin, KH M Fadlan (Sepupu Abah Guru), dan KH Muhammad bin KH Husin Ali.
Hampir semua ulama yang mengurusi NU di Martapura ada keterkaitan keluarga (keturunan) dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary (Datuk Kelampayan). Jadi kurang tepat, jika ada orang yang mengaku pengikut Datuk Kelampayan, namun mengabaikan ulama yang menjadi penerus perjuangannya.
Nah, semoga tidak ada lagi orang Banjar yang seolah berkata, “Kami Aswaja Banjar tidak perlu NU.”
Pernyataan-pernyataan yang seperti ini adalah pernyataan dari orang yang kurang mengerti sejarah. Syarif Husin mudah digulingkan King Saud dan Wahabi, karena orang Aswaja tidak memiliki kekuatan organisasi. Padahal Aswaja di tanah haram pada waktu itu mayoritas. Setelah King Saud berkuasa dengan ideology wahabinya, ratalah kubah-kubah makam para istri dan sahabat Rasul SAW, hilanglah peninggalan sejarah yang mengingatkan pada perjuangan mereka, bahkan makam Rasululullah juga mau diratakan.
Menanggapi betapa pentingnya organisasi NU, Habib Abu Bakar Al Masyhur (Kakak Habib Umar bin Hafidz) berkata, “Indonesia beruntung memiliki NU”.
NU itu aswaja. Banyak yang ingin merobohkannya. Dan amat malang, jika dia roboh di tangan orang-orang aswaja yang tidak tahu, bahwa benteng NU itu ditempa dengan darah, keringat, dan air mata ulama pendahulunya.
Penulis :@Muhammad Bulkini. Wartawan rublik religi, muhibbin dan penulis Buku Abah Guru Sekumpul dalam kenangan dan juga beliau anggota PPAGS.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita
Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...
-
Isim dibedakan menjadi dua yakni Isim Ma'rifat dan Isim Nakirah. 1. Isim Ma'rifat Isim Ma'rifat adalah isim yang menunjuk...
-
KH. Muntaha al-Hafizh lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 De...
-
Oleh Suryono Zakka Wahabi dianggap berbahaya karena menebarkan teror berupa ideologi takfiri. Bersifat ekslusif karena menganggap hanya...
-
KH Ma’ruf Amin mengaku dirinya sengaja ditunjuk oleh Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), KH Maimoen Zubair untuk me...
-
Oleh: Dr. KH. Didin Sirojuddin AR Yang dikibarkan dan dikobarkan Rasulullah adalah semangat dan kumandang Tauhid: لاإله إلاّالل...
-
Sering kita dengar jargon-jargon jangan kriminalkan ulama atau jangan kriminalisasi ulama kami! Sayapun sempat bingung dan panik hingga...
-
Diantara jenis karamah Aulya adalah mengetahui datangnya ajal, baik ajal dirinya maupun ajal orang lain. Seperti yang terjadi pada kisa...
-
Dalam akun facebook yang berinisial Moyufe Dhani Jackson membuat status yang berisi tuduhan bahwa Jokowi adalah anak PKI. Terlihat dala...
-
Nama besar Kiai Kholil (1820-1923 M) berkibar di jagat keilmuan Islam Nusantara. Kealiman dan kewaliannya—meminjam istilah ilmu hadis—su...
-
Oleh Rijalul Wathon Al-Madury Sayyid Kamal al-Haydari yg dengan nama lengkap Kamal bin Baqir bin Hassan al-Haydari (السيد كمال بن باقر ...
No comments:
Post a Comment