Tuesday, March 13, 2018

Mengapa Harus Memilih Aswaja An-Nahdliyah?


Oleh Suryono Zakka

Aswaja merujuk pada istilah Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu kelompok atau komunitas yang mengikuti sunnah nabi, sunnah Khulafa'ur Rasyidin dan ulama setelahnya. Jadi Aswaja bukan hanya mengikuti nabi namun juga mengikuti pendapat sahabat nabi. Hal ini merujuk pada salah satu hadits nabi yang berbunyi:"maa ana alaihi wa ashabih" yaitu mengikuti pendapatku dan pendapat sahabatku.

Istilah Aswaja kini menjadi rebutan sekte-sekte Islam. Mayoritas sekte Islam mengklaim mereka sebagai Aswaja. Hal ini karena golongan Aswaja diyakni sebagai kelompok selamat atau firqah najiyah disaat umat Islam terbagi kedalam 73 golongan sebagaimana hadits.

Klaim sebagai Aswaja boleh-boleh saja. Setiap kelompok boleh-boleh saja menganggap kelompoknya sebagai Aswaja yakni pewaris tunggal golongan selamat diakhir zaman. Ada sebagian kelompok mengklaim sebagai Aswaja bertujuan untuk mencari massa dan pengikut agar kelompoknya laku dan laris dipasaran. Namun kita perlu tahu bahwa Aswaja bukan hanya klain semata dan bukan hanya sekedar pengakuan namun bukti yang akurat dan otentik.

NU sebagai ormas moderat juga mengklaim sebagai ormas yang berhaluan Aswaja. Untuk membedakan dari Aswaja-Aswaja lain yang bukan NU maka NU menamakan dirinya sebagai Aswaja An-Nahdliyah yakni Aswaja NU yaitu konsep-konsep Aswaja yang dipahami dan ditafsiri dalam sudut pandang ke-NU-an. Eksistensi Aswaja An-Nahdliyah versi NU sebagai benteng dan karakter khas yang tak dimiliki oleh Aswaja-Aswaja palsu lainnya.

Dengan konsep Aswaja An-Nahdliyah ini, NU tak perlu gusar dan terganggu klaim-klaim Aswaja kelompok tentangga sebelah. NU akan tetap optimis dan konsisten memegang teguh keaswajaan dalam menjaga warga NU dari ideologi yang menyimpang dan menjaga NKRI dari kelompok pemecah belah.

Dari banyak kelompok yang mengklaim sebagai Aswaja, lantas siapakah yang layak untuk menyandang sebagai Aswaja asli dan otentik? Berikut ini karakter dan ciri-ciri Aswaja original yang dipahami oleh NU atau Aswaja versi An-Nahdliyah.

1. Tasamuhiyah

Tasamuh berarti toleran. Aswaja NU sangat toleran baik toleran sesama muslim maupun antar pemeluk agama. Toleransi NU tidak pernah menganggap agama lain sebagai musuh melainkan sebagai relasi persaudaraan antar iman.

Dengan konsep tasamuh, NU senantiasa berdamai dengan ormas apapun dan agama manapun. NU selalu adem ayem karena banyak sahabat, banyak saudara baik seiman maupun antar iman. Dengan konsep toleransi ini, NU akan senantiasa melindungi agama lain dari kekerasan dan ketidakadilan. Apapun agamanya, jika bagian dari NKRI maka NU akan menjaga dan melindunginya hingga tetes darah penghabisan.

2. Tawasuthiyah

Tawasuth berarti tengah-tengah (wasathan) sehingga NU adalah ormas moderat. Ormas yang mengembangkan Islam ramah, damai dan anti kekerasan. Tidak anti terhadap budaya, adat dan tradisi selagi senafas dengan ajaran Islam.

Tradisi bagi NU perlu dilastarikan untuk memupuk kekayaan budaya bangsa. Bangsa yang beradab, maju dan modern adalah bangsa yang berbudaya. Bangsa yang tertinggal adalah bangsa yang belum mengenal budaya dan anti terhadap budaya. Budaya tidak semuanya harus dimusuhi karena tidak semua budaya itu buruk. NU akan senantiasa menyerap dan mempertahankan tradisi dan budaya yang baik dan selaras dengan ajaran Islam.

3. Tawazuniyah

Tawazun berarti mizan atau seimbang. NU selalu mengakomodasi asas keseimbangan yakni seimbang dalam mengambil dalil baik aqli maupun naqli. Selalu bersifat kontekstual walau tidak mengabaikan teks. Orientasi dalil bagi NU bersifat kontekstual sehingga NU bersifat substansi dan isi dibandingkan tekstual dan simbol-simbol.

Islam yang dipahami NU adalah Islam yang membumi yang selalu dinamis dengan konteks. Walau Islam tidak lahir di Nusantara namun Islam dapat hidup dan tumbuh besar dalam masyarakat Nusantara meskipun berbeda budaya dan teritorialnya.

Menjadi Islam tidak harus menjadi bangsa Arab. Demikian konsep Aswaja An-Nahdliyah. Islam bersifat adabtable dan applicable. Islam dapat beradabtasi dengan budaya lokal tanpa harus merusak budaya lokal dan Islam bersifat aplikatif sehingga bersifat simpel dan tidak rumit.

Umat Islam non-Arab akan tetap dapat ber-Islam dengan menyerap ajaran Islamnya bukan serta merta adat istiadatnya. Umat Islam non-Arab boleh saja menyerap budaya Arab selagi memang penting dan bersifat dharuriyat. Al-Qur'an berbahasa Arab maka umat Islam manapun perlu belajar bahasa Arab agar dapat memahami bahasa Al-Qur'an sehingga mampu menerapkan ajaran Al-Qur'an dengan benar. Umat Islam non-Arab bersorban atau bergamis sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan nabi. Karena unsur kecintaan kepada nabi bukan semata-mata ingin menjadi bangsa Arab.

4. I'tidaliyah

Aswaja An-Nahdliyah bersifat i'tidal yaitu keadilan sosial. Apapun agamanya wajib dibela jika dalam kebenaran dan apapun agamanya wajib untuk dihukum jika melakukan kejahatan.

Karena Aswaja An-Nahdliyah bersifat substansi maka tidak akan pernah tertipu dengan simbol-simbol Islam namun bertujuan untuk melakukan kejahatan. Maraknya hari ini dengan simbol-simbol Islam dipakai oleh kelompok penebar kebencian, teror dan permusuhan. NU tidak akan silau dan gentar dengan kelompok-kelompok perusak Islam tersebut. Kejahatan tetaplah kejahatan walau dipoles dan didesain dengan simbol-simbol suci.

5. Amar Ma'ruf Nahi Mungkar

Aswaja An-Nahdliyah juga bermisi menegakkan kebajikan (ma'ruf) dan mencegah kemungkaran. NU memang terlihat tidak lantang dan garang sebagaimana ormas-ormas tetangga sebelah dalam mencegah kemungkaran karena NU mengutamakan hal yang ma'ruf dalam mencegah kemungkaran. Prinsipnya adalah mencegah kemungkaran dengan syarat tidak menambah kemungkaran.

Mencegah kemungkaran namun hanya menambah kemungkaran yang lain yang lebih besar sangat dihindari oleh NU. Pedomannya adalah dar'ul mafasid muqaddam 'ala jalbil mashalih yaitu mencegah kemungkaran perlu didahulukan daripada mencari kemaslahatan namun hanya menambah kejahatan.

6. Tathawwuriyah

Tathawwur berarti dinamis dan responsible. Aswaja An-Nahdliyah ala NU akan selalu berfikir dinamis dan merespon setiap perkembangan jaman dengan tetap berpegang pada asas Aswaja. Berpegang pada teks namun tidak akan pernah kehilangan konteks.

NU akan selalu akomodatif dengan kondisi zaman. Jam'iyah Aswaja An-Nahdliyah ibarat sebuah tali panjang yang pangkalnya sudah ada dimasa nabi dan akan selalu terulur panjang sebagai pegangan bagi umat Islam diakhir zaman.

Dinamisasi Aswaja An-Nahdliyah terlihat dari pola pikirnya yang tidak kaku dalam merespon gelombang modernisasi. NU juga tidak gila dan membabibuta dalam merespon modernisasi. NU bersifat selektif adaptatif. Jika budaya leluhur memiliki substansi yang baik maka tetap akan dipertahankan dan jika hal yang modern memiliki unsur yang negatif maka perlu ditolak. Menerima modernisasi dalam hal-hal yang memiliki aspek kemanfaatan.

7. Maslahah

Aswaja An-Nahdliyah bersifat islah dan maslahah. Membawa kemaslahatan sebanyak-banyaknya. Kemanfaatan NU tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Apapun agamanya dan dimanapun berada diseantero dunia, NU akan selalu bersahabat dan menjadi mitra yang baik menuju peradaban yang maju.

Dengan konsep maslahah ini, NU diharapkan menjadi benteng perdamaian dunia. Berbagai konflik dalam negeri, luar negeri dan Timur Tengah akan selasai ditangan NU. NU adalah problem solving dari berbagai isu-isu terkini.

Untuk menjawab berbagai problematika keumatan, kebangsaan dan dunia, NU senantiasa menghadirkan referensi yang memadai yang bersumber dari kitab-kitab ulama yang mu'tabar atau kredibel. Khazanah intelektual NU akan senantiasa nyambung dengan keilmuan ulama salaf dan keilmuan yang telah diajaran oleh nabi dan sahabat.

8. Manhajul fikr

Pola pikir Aswaja An-Nahdliyah bersifat manhaji (metodologis). Tidak serampangan dalam mengambil hukum. Tidak tekstual dan tidak pula liberal keluar dari nash syar'i.

Pola pikir yang metodologis dari NU adalah mengakomodasi empat madzhab, menerima konsep tasawuf dan berakidah Asya'irah-Maturidiyah. Pola-pola ini telah diajarkan oleh ulama pendahulu agar NU senantiasa lurus berada diatas rel yang tetap dan tidak menyimpang dari ajaran Rasulullah dan para sahabat.

9. Wathaniyah

Aspek yang sangat unik dari Aswaja An-Nahdliyah yang tidak dimiliki oleh kelompok-kelompok yang mengaku sebagai Aswaja adalah aspek kebangsaan atau wathaniyah. Nasionalisme kebangsaan inilah yang hingga kini NU konsisten dan setia kepada NKRI.

Karena cintanya yang dalam terhadap NKRI, tidak salah jika kemudian pendiri NU, Hadratusy Syeikh KH. Hasyim Asy'ari membuat slogan Hubbul Wathan Minal Iman (HWMI). Kecintaan terhadap negara dan kesetiaan kepada NKRI bagian dari keimanan. Semakin dalam keimanan seseorang maka idealnya juga semakin dalam cintanya kepada tanah air.

Aswaja An-Nahdliyah ala NU akan selalu akomodatif terhadap pemerintah. Menjunjung tinggi kepentingan umat diatas kepentingan kelompok dan golongan. Haram hukumnya bagi NU melawan dan merongrong pemerintahan yang sah.

NU tidak pernah melawan pemerintah apalagi bercita-cita menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi Islam atau ideologi apapun. Karenanya, NU tidak pernah tergiur oleh iming-iming khilafah atau NKRi bersyariah karena NKRI sudah sesuai dengan syariah dan paling nyariah diantara negara-negara muslim lainnya.

Sesuai syariah atau tidak sesuai syariah bagi NU bukan diukur dari banyaknya simbol Islam atau lantangnya jargon-jargon Islam. Syariahnya NKRI dilihat dari warganya yang mayoritas muslim, umat muslim bisa damai dan khusyuk tanpa gangguan saat beribadah, terciptanya suasana kondusif dan terjalinnya sikap toleransi dan saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda.

Dengan memahami syariah model Aswaja An-Nahdliyah ini, NU tidak punya misi lain-lain dan tidak punya agenda muluk-muluk lainnya apalagi bercita-cita mengislamkan NKRI atau mensyariahkan umat Islam Nusantara.

Bagi NU, NKRI sudah final dan sudah selesai jadi tidak perlu lagi ada agenda mengislamkan orang yang sudah Islam atau menyariahkan orang yang sudah bersyariah. Dengan beragama Islam dab menjalankan syariat Islam dengan tenang maka hal itu sudah syar'i.

Berniat mengubah NKRI dengan ideologi lain semacam ideologi syariah ala HTI atau ISIS bukanlah cita-cita NU. Dengan bercita-cita merubah dasar negara yang sudah disepakati oleh pendiri bangsa maka hal itu bagian dari pengkhianatan dan perusakan. NU bukanlah ormas pengkhianat yang mudah tertarik dengan isu syariah.

Demikian beberapa alasan mengapa kita perlu beraswaja dan jika sudah beraswaja maka ikutilah Aswaja yang mengakomodasi semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Tak lain Aswaja yang demikian hanya satu yaitu Aswaja An-Nahdliyah atau Aswaja ala NU. Dengan beraswaja ala NU maka hilanglah semua kebencian, permusuhan, penipuan dan peperangan.



No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...