Sunday, April 1, 2018

Benarkah Tumpeng sebagai Simbol Kesyirikan?


Kata Tumpeng adalah istilah yang berasal dari khazanah agama Kapitayan yang oleh orang barat disalahfahami sebagai animisme-dinamisme, yakni dari Tu-mpeng, seperti juga kata Tu-kung (ayam yg dimasak dan disajikan utuh), Tu-mbu (anyaman bambu untuk wadah makanan sesaji), Tu-nggal, wa-Tu (batu), Tu-ban (sumber air), Tu-rumbuk (beringin)Tu-mbak (tombak) dan seterusnya.  "Tu" dalam berbagai kata tersebut bukan sebuah kebetulan. Istilah2 tersebut berhubungan dengan cara orang-orang Kapitayan melakukan peribadatan kepada sesembahan mereka yang dikenali sebagai Sang Hyang Taya, yang tidak dapat didefinisikan atau yang digambarkan sebagai 'tan keno kinoyo ngopo' (tak bisa diapa-apakan) atau bisa disamakan dengan arti "laisa kamitsilihi syai'un", tak terserupakan dengan apapun. "Tu" berhubungan erat dengan kekuatan adikodrati dalam keyakinan Kapitayan serta berbagai elemen yang tampak yang berkaitan dengan cara-cara peribadatan atau berhubungan dengan dzat adikodrati yang mempribadi dalam bentuk benda-benda yang nyata tersebut.

Tumpeng bukan hanya sekedar makanan dengan tampilan yang menarik dan rasa yang lezat. Kehadiran nasi berbentuk kerucut yang disertai lauk pauk pilihan ini begitu sarat makna filosofis yang indah.

Secara etimologi dalam masyarakat Jawa, ditemukan bahwa kata tumpeng merupakan akronim dari kalimat yen meTu kudu meMPENG,  yang berarti ketika keluar untuk berusaha maka harus bersungguh-sungguh dan semangat.

Selain tumpeng ada juga berkat,  hidangan yang biasanya disuguhkan untuk para tamu selepas berkumpul,  berdzikir dan doa bersama.

Berkat berasal dari bahasa Arab, barkatun bentuk jamaknya adalah barokaat yang artinya kebaikan yang terus bertambah.
Penamaan tersebut berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW:

اِجْتَمِعْوا عَلى طَعَامٍ وَاذْكُروا اللّهَ يُباَرَكُ لَكُمْ فِيهِ

“Berkumpullah pada jamuan makan, dan sebutlah asma Allah ketika hendak memakannya, niscaya Allah akan memberkati kalian pada makanan itu”. (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim).

Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda:

أَثِيبُوا أَخَاكُمْ. قَالُوا، يَا رَسُولَ اللهِ فَأَيَّ شَيْءٍ نُثِيبُهُ؟ قَالَ ادْعُوا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا أُكِلَ طَعَامُهُ، وَشُرِبَ شَرَابُهُ، ثُمَّ دُعِيَ لَهُ بِالْبَرَكَةِ فَذَلِكَ ثَوَابُهُ مِنْهُمْ 

“Balaslah kebaikan saudara kalian!". Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, dengan apa kami membalasnya?”. Rasulullah menjawab, “Jika kamu telah memakan dan meminum hidangan saudaramu maka berdoalah untuknya agar ia senantiasa mendapatkan kebaikan”. [HR. al-Baihaqi & Abu Daud]

Subhanallah,  betapa hebat dan arifnya para pendahulu kita,  beliau-beliau sukses mengenalkan berbagai macam sunnah Nabi dalam kemasan adat istiadat yang terbukti efektif sebagai media edukasi dan merekatkan tali persaudaraan.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...