Saturday, July 7, 2018

Menjaga Persatuan NKRI bersama TGB


Gelar populernya adalah Tuan Guru Bajang (TGB). Beliau adalah tokoh yang sangat religius. Lulusan Al-Azhar, hafidz Al-Qur'an, tokoh yang sangat berpengaruh dalam tubuh ormas moderat Nahdlatul Wathan (NW) hingga menjabat sebagai Gubernur NTB. Lengkap sudah ketokohannya sebagai sosok ulama sekaligus sebagai negarawan yang tidak semua orang memiliki reputasi ini. Sayapun tidak layak dan sangat jauh untuk menyandang gelar keshalihan dan kealiman jika disandingkan dengan keshalihan dan kealiman beliau.

Nama beliau kian populer karena keberaniannya dalam mengambil sikap yang sangat tidak menguntungkan bagi kelompok-kelompok yang selama ini anti-Pemerintah. Sangat mengagetkan dan mencengangkan publik karena dibalik ketokohannya yang sangat agamis memberikan dukungan dan apresiasi pemerintahan Jokowi. Bagaimana tidak mencengangkan? Ketokohannya yang selama ini digadang-gadang menjadi idola kelompok anti Jokowi bahkan didukung menjadi Capres untuk mengalahkan Jokowi malah mendukung pemerintahan Jokowi. Beliau mengapresiasi penuh keberhasilan dan keseriusan Jokowi dalam membangun bangsa sehingga sangat perlu didukung melanjutkan kepemimpinannya.

Ada apa dengan beliau ini? Logika politiknya,  seharusnya beliau ini menjadi batu sandungan bagi Jokowi bahkan bisa saja mengalahkan Jokowi jika dilihat dari sisi religiusitasnya. Pendukung Jokowi yang dalam kacamata kelompok anti-Jokowi dianggap sebagai perwujudan dari kelompok 'Partai Setan', abangan, pro-asing dan aseng, berbau PKI sehingga anti-Jokowi menyematkan julukan sebagai Poros Beijing.

Menurut logika kelompok anti-Jokowi, seharusnya beliau ini turut serta menjatuhkan wibawa presiden atau paling tidak, ikut nyinyir atau menjadi sponsor taggar ganti presiden. Apalagi basis keilmuan agamanya yang sangat mumpuni, bisa dijadikan aji mumpung memanipulasi ayat suci untuk menjatuhkan presiden sebagaimana lazimnya kelompok mereka. Kelompok super suci yang mengklaim sebagai pengikut 'Partai Allah' dan mengakui identitas mereka sebagai poros Mekah. Sebuah simbolisasi manusia-manusia suci tanpa dosa dan paling layak untuk masuk surga. Tidak salah jika saya sematkan mereka ini sebagai kelompok 'Pemilik Kapling Surga'.

Tapi nyatanya, TGB tidak demikian. Sikapnya berlawanan arus dengan kelompok yang selama ini pendukung setianya. Tentu hal ini menjadi pukulan telak dan membuat semaput kelompok manusia suci tersebut. Akhirnya, serangan balik pun mengarah kepadanya. Yang semula menjadi pendukung setia kini menjadi penista dan pencela. Mulai tuduhan penjilat, munafik hingga keimanan yang tergadaikan.

Bagi saya, sikap beliau ini menarik untuk diapresiasi. Beliau telah memberikan sebuah keteladanan dalam merawat persatuan bangsa. Walau resikonya teramat berat, akan dikucilkan dan dinistakan seburuk-buruknya, beliau menanggapinya dengan sikap kesantunan sebagai simbolisasi ulama sejati.

Beliau mengajarkan kita bahwa persatuan bangsa harus diutamakan diatas semua kepentingan. Kita adalah bersaudara dalam ikatan tanah air. Wajib untuk menghormati jerih payah pemimpinnya terlepas dari segala sisi kekurangannya. Apapun hasilnya yang telah diberikan pemimpin untuk negeri ini, patut dihargai secara proporsional dan objektif, bukan dicela apalagi dijatuhkan martabatnya.

Beliau mengajarkan kepada kita tentang politik yang sehat. Politik yang tidak menghalalkan segala cara untuk merampas kekuasaan. Tidak perlu membawa atau mengutip ayat-ayat perang untuk menjatuhkan lawan politik. Justru mengutip ayat-ayat perang dalam konteks tidak berperang alias damai hanya akan merusak dan menistakan ayat-ayat dari Yang Maha Suci.

Apalagi, menjatuhkan lawan politik dengan tuduhan simbol-simbol kekafiran sebagaimana kafir Quraisy dan sebagainya sangatlah tidak etis dan merusak etika politik. Begitu mudahnya, mengklaim kelompoknya atau parpolnya sebagai simbolisasi Tuhan dan menuduh lawan politiknya sebagai simbolisasi setan. Sangat tidak dewasa dan super kekanak-kanakan.

Beliau mengatakan, negara ini bisa dibangun bukan hanya membutuhkan satu orang tapi keseluruhan punya tanggungjawab yang besar. Perlunya saling mengisi dengan semangat fastabiqul khairat yakni berlomba-lomba dalam kebaikan dan spirit lita'arafu yakni saling mengenal satu sama lain.

Sikap beliau yang sangat luarbiasa ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semuanya. Beliau telah mencontohkan banyak hal yakni selalu berprasangka baik kepada siapapun termasuk kepada pemimpin,  menghargai kerja keras pemimpin, mengutamakan persatuan dan memajukan bangsa ini sesuai dengan kompetensi kita masing-masing. Persaudaraan dan persatuan adalah aset yang tak terlihat yang harus terus dipertahankan.

Sikap beliau ini memberikan efek positif dari berbagai aspek. Sebagai pemimpin mampu memberikan contoh dalam semangat persatuan, sebagai ulama mampu menempatkan ayat-ayat suci sebagaimana tempatnya sehingga tidak asal comot untuk memuaskan syahwat politik sebagaimana kelompok radikal dan sebagai rakyat selalu memberikan semangat positif kepada pemimpin untuk terus berkarya. Apapun partainya, apapun posisinya dan apapun agamanya hendaknya semua anak bangsa selalu bergandengan erat untuk membangun bangsa agar lebih baik. Menjauhkan sikap-sikap yang hanya akan menciderai simbol-simbol agama dan merusak kehidupan berbangsa.

Alangkah damainya negeri ini jika tokoh-tokohnya memiliki andil dan sikap bijaksana sebagaimana yang telah TGB contohkan. Betapa tenteramnya negeri ini jika kepemimpinan bukan sekedar kontestasi untuk berebut kekuasaan. Alangkah makmurnya jika bangsa ini tidak berebut kursi untuk korupsi massal melainkan sikap amanah dan tanggungjawab bersama, siap dipimpin dan siap memimpin. Sayangnya, sikap semacam ini masih sangat minoritas dan nyaris sulit untuk ditemui. Nyatanya, banyak yang ingin menjadi pemimpin tapi tidak terima untuk dipimpin.

Dengan adanya ormas-ormas moderat seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Nahdlatul Wathan, kita selalu optimis bahwa akan lahir generasi-generasi selanjutnya yang konsisten dan amanah menjaga negeri ini. Menjaga dari tangan-tangan jahat yang bercita-cita merusak kedamaian negeri ini baik bertopeng agama maupun simbol anti agama. Saatnya tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Nahdlatul Wathan menyatukan barisan untuk memperkokoh persatuan bangsa agar tidak disusupi kelompok pemecah belah NKRI yang mengoyak peratuan kita.

Begitupun, rakyat yang nasionalis dan agamis hendaknya selalu bersinergi dan bersatu padu dalam membangun bangsa. Yang nasionalis perlu menumbuhkan sikap agamis agar nilai-nilai agama semakin mengakar dalam kehidupan kita dan begitupun yang agamis perlu menumbuhkan sikap nasionalis agar lahir semangat cinta tanah air dan terhindar dari arogansi beragama yakni memonopoli kebenaran atas nama Tuhan.

Mengutip ungkapan TGB, membuat semua manusia senang kepada kita adalah hal yang mustahil tapi membuat senang kepada yang menciptakan manusia akan lebih menguntungkan dan menenteramkan yakni berharap ridha Tuhan.



No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...