Jalur sesar darat yang baru diidentifikasi itu disebut sebagai zona Kendeng, memanjang dari Jawa Timur hingga Jawa Tengah. Sesar ini merupakan kelanjutan jalur busur belakang (back arch) dari utara Pulau Flores dan menerus hingga utara Pulau Bali, dan masuk daratan di Jatim.
"Sesar Kendeng ini kemungkinan besar menyambung dengan sesar Baribis di Jawa Barat," kata Irwan Meilano, ahli gempa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Geodesi Tim Revisi Peta Gempa Bumi Nasional, Kamis (25/5).
Sesar Kendeng ini merupakan satu dari ratusan sumber gempa baru yang ditambahkan dalam revisi peta gempa bumi nasional. Pada peta gempa nasional tahun 2010, jumlah sesar di Jawa hanya 4, kini jadi 34. Jumlah sesar baru yang ditemukan kini jadi 295 zona, pada peta gempa bumi nasional 2010 hanya 81 zona.
"Data baru ini menunjukkan bahwa risiko bencana gempa bumi di Indonesia ternyata lebih tinggi dari perhitungan kita selama ini," kata Irwan.
Implikasi penting
Danny Hilman Natawidjaja, ahli gempa bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Ketua Pokja Geologi Tim Revisi Peta Gempa Bumi Nasional mengatakan, penemuan sesar darat di sepanjang pantai utara Jawa ini memiliki implikasi penting bagi mitigasi bencana. Hal ini karena jalur gempa ini melintasi banyak kota besar dengan kepadatan tinggi.
"Beberapa kota besar yang dilintasi sesar ini adalah Surabaya, Semarang, dan Cirebon," ujar Danny. Bahkan, menurut Danny, sesar aktif yang bergerak dengan kecepatan 5 milimeter per tahun ini kemungkinan menerus ke Jakarta.
Sesar Kendeng ini, kata Danny, bisa memicu gempa bumi hingga kekuatan Magnitude 7 di sekitar Kota Surabaya. Sekalipun sudah diidentifikasi bahwa zona Kendeng merupakan sesar naik yang aktif, periode keberulangannya belum diketahui.
"Beberapa gempa kecil sebenarnya terekam di zona ini, misalnya kejadian gempa bumi di Salatiga beberapa waktu lalu. Namun, kami belum bisa memastikan kapan gempa besarnya akan muncul," kata Danny.
Satu hal yang penting, sesar darat yang berada di dekat kota tersebut harus diantisipasi. "Kita tentu ingat dengan gempa M 6 yang menyebabkan ribuan korban jiwa di Yogyakarta pada tahun 2006," katanya.
Guru Besar Teknik Sipil ITB Masyhur Irsyam, yang juga Ketua Tim Revisi Peta Gempa Bumi Nasional, mengatakan, penambahan data baru kegempaan ini menuntut konsekuensi perubahan standar bangunan tahan gempa. Selama ini, sebagian besar korban dan kerugian akibat gempa disebabkan oleh kerusakan dan kegagalan struktur bangunan dan infrastruktur.
"Minimal, untuk bangunan baru yang akan dibangun harusnya mengikuti peta gempa nasional yang baru ini, yang otomatis standar kekuatannya akan naik, dan berarti juga menaikkan biaya konstruksi," katanya.
Selain penambahan data sesar di Jawa, kata Irwan, ada sumber gempa baru di busur belakang Sumatera. Sumber gempa ini berada di antara zona subduksi dan sesar Sumatera. "Sebelumnya, kita hanya mengenal sumber ancaman gempa di Sumatera hanya dari zona subduksi dan sesar darat," katanya. Perubahan ini meningkatkan ancaman bencana di Sumatera. (AIK)
Sumber : Kompas, edisi 26 Mei 2017. Hal: 14
Civitas Terkait : Dr. Danny Hilman Natawidjaja M.Sc.
No comments:
Post a Comment