Thursday, October 18, 2018

Jokowi Menurut Kiai Kampung


Berawal dari teman yg memposting tentang KH  Abdul Kareem atau yg sering disapa Gus Karim,  seorang hafidzul Qur'an dan juga pengasuh ponpes Az Zayyady, Laweyan, Solo, yg sedang memasang sendiri bendera TOSKY (Tour Sowan Kyai), saya jadi penasaran dan pengin mencari tahu tentang beliau dan TOSKY. Kebetulan saya ada acara di  Solo selama 3 hari mulai 15-17 Oktober, klop sudah. Terlebih  saya dapat informasi bahwa beliau adalah kyai dan pimpinan pondok, yang salah satu murid beliau sekarang menjadi presiden. Ketertarikan yg sama perihal sosok JOKOWI, bagaimana keislamannya dan kiprah dia sewaktu menjadi Wali Kota Solo.

Untuk masyarakat Solo dan sekitarnya pasti tahu siapa beliau. Beliau juga sahabat sekaligus mentor JOKOWI.
“Pak, keislaman Jokowi niku pripun?” tanyaku langsung ke masalah.

“Islam-imanipun Jokowi miturut kulo sae, saestu sae. Saya kenal Jokowi jauh sebelum dia menjadi walikota, ketika dia menjadi ketua ASMINDO, Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia, dia punya perusahaan mebel namanya ‘Rakabu’. Dia aktif mengikuti pengajian-pengajian saya. Dan dikemudian hari membentuk majlis pengajian Pengusaha Islam Muda yang namanya Bening Ati, pengasuhnya kulo kiyambak, *Pak Yai Nahar*, *Pengasuh* *PP* *Ta’mirul Islam* waktu itu dan juga PakYai Rozaq, (Pengasuh PP Al Muayyad).

Tapi beberapa tahun majelis pengajian berlangsung, kemudian goyah, karena beberapa anggotanya sama mencalonkan dirimenjadi Wali Kota, Pak Jokowi sendiri, Pak Purnomo, (sekarang menjadi Wakil WaliKota Solo) dan Pak Hardono.

Lah kulo ‘kebagian’ mendukung Pak Jokowi, dan pada saat itulah saya tahu betul bagaimana Pak Jokowi, sebab renteng-renteng bareng kemana-mana, puasa senin kemisnya tidak pernah ketinggalan, tahajudnya juga luar biasa, sama sekali tidak pernah tinggal Jum’atan, apalagi cuma sholat lima waktu yang memang dah kewajiban.

Keluarga Jokowi juga Islamnya taat, adik-adiknya putri semua berjilbab itu juga sejak dulu, dan juga diambil mantu oleh orang-orang yang Islamnya baik semua, Jenengan ngertos kiyambak tho Gus?” jawab beliau lugas.

“Tapi kulo gih mboten habis pikir, kenapa orang yang jelas-jelas keislamannya kok diisukan kafir, keturunan nasrani, cina dan lain-lain, hanya karena perbedaan politik, tur itu yang mengisukan yo wong islam dewe…

Kulo ape meneng wae opo yo trimo, opo yo pantes, dulur Islam dikafir-kafirke kok meneng ora mbelani, opo yo pantes…” ucap beliau dengan berusaha keras menahan air mata sehingga mata beliau memerah. Suara beliau sengau menahan isak.

Melihat pemandangan seperti itu, hatiku rasanya ngilu, seperti diremas-remas oleh kekuatan dunia lain, betapa ringannya orang mempolitisasi agama untuk kekuasaan,

Aku terdiam lama, untuk meneruskan pertanyaan rasanya tidak mampu.Terbawa suasana yang tiba-tiba mengiris-ngiris kalbu.

“Ya memang Pak Jokowi bukanlah santri ndeles kados Jenengan Gus, bacaannya tidak sebagus santri-santri Muayyad, tapi opo terus kekurangan seperti itu menjadikan dia pantas dicap abangan, gak ngerti agomo…apalagi kafir?”

Mungkin juga, JOKOWI dianggap orang abangan karena dia diusung oleh PDIP yang identik dengan abang-abang, padahal PDIP Solo, sangat agamis, punya masjid sendiri di depan Kantor PDIP di Brengosan, dan masjidnya makmur, setiap minggu ada kegiatan semaan Al Qur’an bil ghoib dan pengajian rutin.

Dan juga, partai yang terkuat di Solo adalah PDIP, partai-partai lain yang berbasis Islam seperti PPP, dan PKB sama sekali gak ada baunya, kecuali PAN dan PKS.

Sedangkan pada PILKADA 2005 Jokowi diusung oleh PDIP dan PKB dan pada PILKADA Solo 2010 yang lalu, ada tambahan selain PDIP yang mengusung Jokowi adalah PAN juga PKS.

Sebetulnya obrolan tersebut sangat panjang dan beragam masalah yang didawuhkan oleh Pak Dul Kareem, tapi karena terbatasnya halaman, aku singkat semua obrolan tersebut dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana kepemimpinan JOKOWI selama menjadi wali kota Solo, ketegasannya dan juga kebijakannya, terutamapada umat Islam?”

“Kebijakan Pak Jokowi selama di Solo, sama sekali tidak ada yang merugikan umat Islam, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah agama selalu dikonsultasikan dulu pada ulama Solo, terutamanya pada Kyai Durrohim, Mustasyar NU waktu itu.

Dan kebijakan Pak Jokowi itu bersifat Islam subtantif Gus, tur yo merakyat tenan, umat Islam di Solo itu kan mayoritas dan juga kalangan bawah, jadi Pak Jokowi untuk mengangkat ekonomi rakyat kecil dengan menbangun banyak pasar-pasar tradisional, minimarket tidak boleh buka 24 jam, tidak mengizinkan mall-mall ada lagi..

Jarene Pak Jokowi, kalo umat Islam sejahtera maka masjid dengan sendirinya akan dipenuhi jama’ah, gitu Gus.” jelas Pak Dul Kareem padaku.

Bahkan JOKOWI berani menentang kebijakan Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah yang mengizinkan dibangunnya mall di Sari Petojo, sebab memang tanah Sari Petojo adalah milik propinsi, dan berhubung itu berada di daerah Solo, pembangunan tersebut tidak diizinkan oleh JOKOWI, karena tidak berpihak pada ekonomi rakyat kecil di sekitarnya.

“Contoh lain, lokalisasi Shilir yang ada di Semanggi setahun menjadi Wali Kota, ditutup oleh Pak Jokowi, dan kemudian dibangun sebuah pasar untuk menghidupkan perekonomian warga sekitar.

Dan yang mengisi pasar tersebut adalah para pedagang loak yang di Banjarsari, di sana itu ada sebuah monument yang menjadi cagar budaya, kumuh dan kotor karena di tempati oleh PKL-PKL yang tidak teratur.

Dan cara memindahkannya pun, Masya Alloh, sangat manusiawi, nguwongke uwong tenan, perwakilan PKL di undang makan di Lodji Gandrung sampai puluhan kali kalau tidak salah untuk berdiplomasi dengan para pedagang, dan ketika para pedagang menerima dipindah, mindahnya pun tidak dengan kekerasan, dipawaikan… dikirab dengan marak… podo ditumpakke jaran, seneng tenan… podo diuwongke mbek Wali Kotane…” cerita Gus Kareem panjang lebar.

Aku membayangkan kemeriahan tersebut dan kegembiraan warganya yang merasa dimanusiakan oleh pemimpinnya. Selama sebelum JOKOWI, Solo kumuh dan semrawut, dan sekarang terlihat lebih hijau dan rapi, meskipun tidak semuanya, tapi itu jauh lebih baik dari pada masa-masa sebelum Wali Kota JOKOWI.

Dan ketika Shilir di tutup, Habib Syekh yang memang tinggal di Semanggi mendirikan majelis “Shilir Berdzikir” yang menjadi cikal bakal Ahbabul Musthofa saat ini.

Solo saat ini jadi lebih hijau dhohiron wa bathinan, peringatan hari besar Islam juga lebih semarak, ada Parade Hadrah setiap Rajab, Festival Sholawat, kegiatan dzikir tahlil dan barzanji semakin marak, ada setiap saat, tidak hanya di masjid-masjid tapi juga di hotel-hotel mewah. Itu semua sebab kebijakan-kebijakan JOKOWI dalam membangun Solo sebagai Kota Sholawat dan juga Spirit of Java. Sholawat Barzanji yang awalnya sesuatu yang jarang, karena NU di Solo adalah minoritas, sekarang menjadi hal yang seakan harus hadir dalam setiap moment, iya, sejak Jokowi menjadikan Majelis Dzikir dan Sholawatan sebagai tamu rutin di Balai Kota setiap Rabiul Awwal.

Tidak hanya itu, di Rumah Dinas beliau, Lodji Gandrung dijadikan tempat rutin taraweh ala Masjidil Haram, 23 rakaat beserta witir dan mengkhatamkan Al Qur’an.
“Ketika JAMURO pertama kali diundang di Balai Kota, Pak Jokowi memberi kenang-kenangan, dalam bungkusan yang sangat tebal, kulo ngiro niku isinya arto Gus, tapi jebule stiker bertuliskan,“JAMURO, DENGAN BERSHALAWAT KITA SELAMAT DUNIA AKHERAT.”

Aku tertawa mendengar cerita tersebut, sebab kenang-kenangan tumpukan 5000 stiker sebesar uang kertas, dibungkus dengan rapi kertas coklat, yang dibuka di depan umum, bisa menjadikan orang menyangka itu adalah uang puluhan juta. Jebule cuma stiker.
JAMURO, singkatan dari Jam’ah Muji Rosul, awalnya hanya majlis dzikir tahlil dan pembacaan Barjanji yang menjadi rutinan segelintir jamaah, tapi sekarang jama’ahnya puluhan ribu dari Solo dan sekitarnya.

Dan Pak Jokowi adalah salah satu pembinanya.
“Lah ndilalah, Pak Jokowi satu tahun jadi wali kota, kulo kebetulan dados ketua PCNU Solo, jadi gih saget bersinergi dengan Pak Wali, dan Pak Jokowilah yang mengusulkan dan yang ngobrak-ngobrakki agar di bentuk Ranting NU di seluruh Solo, ada 51 Ranting, dan ini baru pertama kalinya PCNU Solo punya ranting, itu berkat Pak Jokowi dan Pak Jokowi juga yang membuatkan 51 papan nama untuk ranting NU tersebut.” cerita Pak Dul Kareem dengan antusias.

“Di antaranya juga, sholat Idul Fitri bisa terlaksana di Balai Kota, itu juga kebijakan Pak Jokowi dan Pak Jokowi sendiri yang menutupi dua arca yang di depan balai kota itu, pakai kain mori, ditutup sendiri, padahal untuk hal seperti itu, nyuruh ajudan kan bisa.”

Pak Kyai Dul Kareem, memang tidak semasyhur poro masyayih maupun poro mursyid, tapi beliau adalah orang yang ikhlas, dan juga salah satu tokoh yang nasehatnya di dengar JOKOWI.

Dan JOKOWI pun tidak pernah menarik Pak Dul Kareem dalam ranah politik dia.
“Gus Kareem, saya minta dikawal sampai saya selesai, tapi Panjenengan hanya bisa menasehati kulo atau memberi usul, tidak bisa merubah kebijakan saya dalam hal pemerintahan. Kalo dalam hal wudhu, atau sholat, atau ibadah kulo yang salah, kulo menawi mboten nurut Jenengan, kulo monggo Jenengan sampluk,itu perkataan Jokowi sendiri ketika dia menjadi Wali Kota Solo,
Ya begitu itu sosok Pak Jokowi Gus, tegas, semua bawahannya pasti tahu itu.” Akhir cerita PakDul Kareem, allohu yarham.

Terlepas dari penuturan di atas, JOKOWI juga mempunyai banyak kekurangan, dalam pemerintahannya maupun perilaku.

Dan itu kalau ditulis bisa jauh berlampir-lampir, beredisi-edisi, sebab mengurai kekurangan orang lain tidak akan habisnya.

JOKOWI hanyalah manusia biasa. Tapi yang jelas rasa penasaran di hati sudah sedikit terobati.

Wallohu a’lam bishowab

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...