Friday, February 2, 2018
Selamat Jalan Guru Budi: Guruku Sayang, Guruku Malang
Baru-baru ini, dunia pendidikan kembali tercoreng dengan adanya kasus penganiayaan seorang siswa terhadap guru Kesenian yang bernama Ahmadi Budi Cahyono. Ia adalah seorang guru Seni di SMA Sampang, Madura.
Guru Budi meninggal karena luka memar dipukuli oleh siswanya sendiri yang suka tidur dan berbuat onar disaat pelajaran Kesenian. Bukannya insyaf saat ditegur namun kalap dan memuncak amarahnya yang kemudian nalar bejatnya dilampiaskan dengan menghabisi nyawa gurunya sendiri.
Kejadian ini merupakan potret betapa buruknya moralitas pendidikan nasional kita. Walau tidak semua siswa demikian namun ada banyak fakta yang sangat miris dimana hak-hak seorang guru telah dirampas oleh siswanya dengan alasan melanggar HAM.
Menjadi guru formal dizaman ini memang dilematis dan simalakama. Jika tegas akan dipidana dengan berbagai dakwaan pasal-pasal HAM hingga pidana dan jika lemah akan semakin tidak dihormati dan dihargai anak didiknya.
Tulisan ini bukan untuk membela satu pihak yaitu guru atau pendidik melainkan sekedar sebuah catatan dan koreksi bagaimana memperbaiki pendidikan kita.
Mengapa ini bisa terjadi? Seberapa besar rusaknya moralitas anak yang lazim dikatakan zaman now ini? Bagaimana menyelesaikan kasus kekerasan ini?
Pastinya, tindakan melawan guru dan tidak memiliki sopan santun terhadap guru yang kian semakian bertambah hari ini merupakan isyarat kerusakan moral. Rusaknya moral ini bisa saja karena salahnya dalam mendidik atau kurangnya nilai keagamaan dan akhlak dalam pendidikan.
Kalaupun ada pendidikan agama dan nilai akhlak dilembaga pendidikan formal SMA, tentu masih sangat minim. Hal ini tidak akan mampu membendung dan menangkal laju globalisasi yang kian parah. Anak menjadi apatis, tidak menghormati yang lebih tua, tidak punya sopan santun kepada siapapun dan tentunya sangat jauh dari nilai-nilai agama.
Kerusakan moral siswa yang semakin parah juga disebabkan karena imbas dari globalisasi yang tak kenal lagi dengan norma-norma dan etika. Sosialita yang semakin tidak jelas karena tanpa batas memberi andil besar kerusakan perkembangan kepribadian anak. Anak-anak zaman milenial ini semakin jauh dari budi pekerti untuk tidak mengatakan sangat parah dan kronik.
Mengingat betapa rusaknya moralitas anak-anak era ini, upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan generasi kita adalah memberikan porsi pendidikan moral yang lebih banyak. Pendidikan moral itu dapat melalui Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila.
Selain Pendidikan Agama, dahulu ada Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang kemudian beralih menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan akhirnya menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pendidikan ini bukan hanya mengajarkan kecintaan terhadap Pancasila dan Tanah Air namun juga pendidikan moral sebagai warga negara. Pendidikan moral ini bersinergi dengan pendidikan agama karena Pancasila dan agama merupakan pendidikan moral yang saling mendukung dan menguatkan. Jika moral agama bersumber dari pesan-pesan agama sedangkan pendidikan moral Pancasila bersumber dari jatidiri bangsa sebagai bangsa yang bermoral dan beradab.
Jika di Pesantren sudah lumrah untuk diajarkan moral melalui pendidikan akhlak dan adab yang sudah terjamin kualitasnya, sedangkan di pendidikan non Pesantren masih sangat minim dan terbatas. Sedikitnya muatan pendidikan moral ini berdampak serius terhadap masa depan anak bangsa. Sekarang saja generasi mudanya semakin merosot moralnya tambah-tambah dimas mendatang.
Jika pendidikan moral di sekolah formal memang tidak dapat ditambah lagi karena muatan pelajarannya yang sudah padat, maka alternatifnya adalah bagaimana anak-anak mendapatkan pendidikan moral tambahan non formal yakni dapat melalui pendidikan diniyah, TPA atau komunitas remaja muslim. Dan ini tentunya hal ini wajib mendapat perhatian dan dukungan dari orang tua. Jika tidak, maka tidak akan berarti apa-apa.
Kurikulum 2013 (K 13) yang sebenarnya sudah sangat ideal bagi kemajuan pendidikan ternyata belum sepenuhnya memp
Berikan asas kemanfaatan. Bahkan kini semakin memprihatinkan karena guru dihadapkan dengan pasal-pasal yang menjerat dan mencekik semisal HAM. Guru seakan hilang powernya dan tidak berdaya bahkan menjadi "mainan" bagi siswanya. Dididik secara tegas dan disiplin akan berontak dan dilaporkan, dididik secara lembut akan dilecehkan.
Dulu, ketika kita sekolah, guru benar-benar memiliki kewibawaan. Walau berbeda-beda karakter, ada yang killer dan kalem, semuanya punya power masing-masing sehingga siswa sangat hormat. Kalau ada siswa yang berulah dan macam-macam, guru hanya akan dikenakan dua pasal, pasal pertama yang berbunyi "guru tidak pernah salah" dan pasal kedua berbunyi "jika guru bersalah maka guru dikenakan pasal pertama yaitu guru tidak pernah salah". Dengan model pasal seperti ini, bukan berarti guru semena-mena dan memonopoli dalam mendidik namun punya magis dan kekuatan sehingga dapat meminimalisir kenakalan siswa.
Begitulah pendidikan kita hari ini, tentu semua lembaga pendidikan tidak satupun yang mengajarkan siswa untuk melawan gurunya begitupun tidak satupun orang tua yang mendidik anak-anaknya agar melawan gurunya. Semua kurikulum punya masanya baik kelebihan dan kekurangannya begitupun mata pelajaran punya alurnya masing-masing. Perbedaannya, hanya karena punya power atau tidak atau sudah cukupkah pendidikan moral untuk anak-anak kita hari ini?
Semoga kejadian tragis yang menimpa guru Budi adalah kasus terakhir sebagai potret buruknya pendidikan kita. Kedepan, pendidikan kita baik yang umum maupun keagamaan dapat saling bergandengan tangan sehingga mampu menghasilkan generasi-generasi terbaik, berkualitas dalam keilmuan dan berkualitas dalam moralitas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita
Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...
-
Shalawat Tarhim sudah tidak asing lagi bagi kita semua karena shalawat ini sering dibaca ketika menjelang shalat maghrib atau menjelang s...
-
A. Secara Etimologis (Bahasa) 1. Menurut Al-Lihyani (w. 215 H) Kata Al-Qur'an berasal dari bentuk masdar dari kata kerja (fi...
-
Pada 1925, atau setahun sebelum Nahdlatul Ulama’ (NU) lahir (1926), seorang bayi laki-laki bernama Nawawi lahir di desa Tulusrejo Grab...
-
Ada status yang sering ditulis di medsos oleh beberapa remaja yg baru "nyadar" belajar agama, yang inti statusnya adalah: ...
-
Ketua Umum Pempinan Pusat GP Ansor (Ketum PP Ansor) Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut mengaku siap meng’Gebuk’ gerakan hastag 2019 gant...
-
Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor akan menggelar kirab bendera Merah Putih mengelilingi seluruh wilayah Indonesia dimulai dar...
-
Oleh Ustadz Musa Muhammad Dalam bahasan ilmu fiqih tentang wudhu, para ulama juga membahas pembatal² wudhu. Di antara perkara yg membatal...
-
Namanya Adalah Habib Lutfi bin Yahya. Dikenal dengan Habib lutfi, seorang ulama kharismatik dari kota Batik Pekalongan. Beliau adalah...
-
Di pesantren kita di didik dengan berbagai cara. Ngaji, Mujahadah, makan, tidur dsb. Juga yang berupa dhohir maupun batin. Sering kali pa...
-
Oleh Muhammad Zazuli Mungkin ada sebagian orang yang bingung kenapa tokoh2 NU seolah ikut mendukung dan membela Ahok sementara para ust...
No comments:
Post a Comment