Monday, March 26, 2018

Hukum Makan Daging Buaya


Umumnya para ulama empat mazhab sepanjang sejarah Islam hingga hari ini telah sampai pada titik sepakat menghukumi bahwa buaya itu hewan yang haram dimakan. Ada dua alasan utama mengapa diharamkan. Pertama karena buaya itu termasuk jenis hewan buas yang bertaring. Kedua karena buaya dianggap bukan termasuk jenis hewan air, sehingga tidak membuat bangkainya boleh dimakan.

Namun yang menarik untuk dikaji disini ternyata ada dua orang tokoh di masa sekarang ini yang menghalalkan buaya untuk dimakan, yaitu Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan juga Syeikh Abdullah bin Baz. Keduanya pernah menjadi mufti resmi Kerajaan Saudi Arabia. Dan oleh karena itulah maka fatwa halalnya daging buaya juga termasuk fatwa milik Lajnah Daimah di Saudi Arabia.

1. Yang Mengharamkan

Berikut ini adalah rincian fatwa para ulama yang mewakili mazhab besar :

Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Mughni tentang hukum memakan buaya sebagai berikut :                       

فأمَّا التمْسَاحُ فقدْ نقِلَ عَنهُ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنهُ لا يُؤكَل

Buaya itu hukumnya sebagai dinukil dari beliau tidak boleh dimakan.[1]

Di dalam kitab yang lain, yaitu Al-Kafi fi Fiqhi Al-Imam Ahmad, beliau juga menuliskan hal yang senada :

وكره أحمد  التمساح لأنه ذو ناب فيحتمل أنه محرم لأنه سبع

Imam Ahmad memakruhkan buaya kerena bertaring sehingga dimungkinkan haram hukumnya karena termasuk hewan buas.[2]

Al-Mardawi (w. 885 H), seorang ulama besar lainnya dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan tentang hukum memakan buaya ini di dalam kitabnya, Al-Inshaf fi Ma'rifatirrajih Minal Khilaf sebagai berikut:

وَأَمَّا التمْسَاحُ: فجَزَمَ المُصَنفُ هُنَا: أنهُ مُحَرَّمٌ وَهُوَ الصَّحِيحُ مِنْ المَذهَبِ

Adapun buaya maka mushannif menetapkan hukumnya haram dan itu adalah fatwa shahih dari mazhab (Hambali).[3]                       

Al-Buhuti (w. 1051 H), yang juga merupakan ulama besar dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya yang terkenal, Ar-Raudh Al-Murbi' Syarah Zadul Mustaqni' tentang hukum memakan buaya sebagai berikut :

ويباح حيوان البحر كله) لِقَوْلِهِ تَعَالَى أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ (إلا الضفدع) لأنها مستخبثة (و) إلا (التمساح) لأنه ذو ناب يفترس به

Dan dihalalkan seluruh hewan laut berdasarkan firman Allah  SWT : (dihalalkan hasil tangkapan laut), kecuali katak karena dianggap khabats (jorok/menjijikkan) dan buaya karena punya taring untuk mengoyak mangsanya.[4]                 

2. Pendapat Yang Menghalalkan

Tercatat dua tokoh menghalalkan daging buaya, yaitu Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syeikh Bin Bas, serta Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia.

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (w. 1421 H) berfatwa bahwa memakan buaya itu halal hukumnya. Di dalam banyak kitab dan juga kaset rekaman, beliau termasuk orang yang setia pada pendapat halalnya buaya.

ولا يستثنى مما في البحر شيء  فكل ما فيه حلال لعموم الآية والحديث  واستثنى بعض العلماء الضفدع والتمساح والحية ، والراجح أن كل ما لا يعيش إلا في البحر حلال

Tidak ada pengecualian pada hewan laut bahwa semua yang ada di dalamnya halal, dengan keumuman ayat dan hadits. Meskipun sebagian ulama mengecualikan katak, buaya dan ular namun yang rajih bahwa semua yang hidup di laut itu halal.[5]

وهذا القول هو الصحيح الراجح أن صيد البحر كله حلال لا يستثنى منه شيء واستثنى بعض أهل العلم من ذلك  الضفدع والتمساح والحيَّة وقال : إنه لا يحل أكلها ولكن القول الصحيح العموم ، وأن جميع حيوانات البحر حلال ، حيهُ وميتهُ

Pendapat ini adalah pendapat yang shahih rajih bahwa buruan hewan laut itu halal seluruhnya tanpa ada pengecualian sedikit pun. Sebagian ahli ilmu mengecualikan katak, buaya dan ular dengan mengatakan tidak boleh memakannya. Namun pendapat yang shahih adalah yang umum bahwa seluruh hewan air halal, baik dalam keadaan hidup atau bangkainya.[6]

3. Pembahasan

Pendapat yang mengatakan bahwa buaya itu halal dengan alasan bahwa Allah SWT telah menghalalkan semua hewan laut tanpa terkecuali punya beberapa catatan penting, yaitu :

a. Menyelisihi Pendapat Jumhur Ulama

Umumnya para ulama 4 mazhab sepakat bahwa tidak semua hewan laut itu halal. Ada beberapa yang menjadi pengecualian, seperti karena dia buas atau dianggap menjijikkan.

b. Buaya Bukan Hewan Laut

Buaya sebenarnya bukan hewan laut tetapi hewan reptil yang kadang bisa menyelam ke dalam air, itupun bukan air laut melainkan air tawar. Kalau pun ada yang membolehkan makan daging buaya dengan alasan dibolehkan Al-Quran, sebenarnya kurang tepat. Karena buaya bukan hewan laut tetapi hewan air tawar. Maka yang digunakan sebenarnya bukan ayat Al-Quran secara apa adanya, melainkan menggunakan qiyas, yaitu qiyas antara laut dengan sungai atau rawa-rawa.                   

Perlu dicatat bahwa tidak ada satu pun ayat atau hadir yang secara tegas membolehkan kita makan bangkai air tawar. Yang ada cuma laut saja. Kalau mau tetap pakai nash yang zhahirnya, maka semua bangkai hewan air tawar seharusnya tidak termasuk yang dihalalkan.                       

c. Buaya Bukan Jenis Ikan

Tapi tetap jadi masalah karena sebenarnya buaya itu bukan ikan. Padahal hadits-hadits yang menghalalkan itu bunyinya as-samak yang artinya ikan. Ikan itu beda dengan buaya di dalam banyak hal                       

Ikan bernafas dengan insang sedangkan buaya bernafas dengan paru-paru.
   
Ikan segera mati kalau kelamaan di darat, sedangkan buaya bisa hidup lama di darat seperti sepupunya kadal, komodo dan hewan reptil lainnya. Buaya tidak hanya hidup di air tapi juga bisa hidup di darat dalam waktu yang cukup lama.                     

Maka status buaya sebagai hewan air masih agak disangksikan, apalagi kalau dipaksa bahwa buaya itu termasuk ikan.Oleh karena itu umumnya ulama sepakat bahwa buaya itu hewan yang haram dimakan, dengan beberapa alasan :                       

d. Buaya Termasuk Hewan Buas                   

Dalam hal ini hampir semua ulama sepakat mengharamkan buaya, maksudnya karena wujudnya merupakan hewan buas. Dan hukum hewan buas itu pada dasarnya haram.

Demikian uraian singkat tentang keharaman daging buaya, semoga bermanfaat.


Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Ibnu Qudamah, Al-Muhgni, jilid 9 hal. 425

[2] Ibnu Qudamah, Al-Kafi fi Fiqhi Al-Imam Ahmad, jilid 1 hal. 558

[3] Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma'rifatirrajih Minal Khilaf, jilid 10 hal. 365

[4] Al-Buhuti, Raudh Al-Murbi' Syarah Zadul Mustaqni, jilid hal.

[5] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fatwa Islamiyah, jilid 3 hal. 388

[6] Fatwa Nurun Alad-Darbi

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...