Friday, August 24, 2018

17 Tingkatan Dzikir dalam Thariqah Naqsyabandiyah


Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (jahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.

Dzikir dapat dilakukan baik secara berjama’ah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syaikh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjama’ah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.

Secara keseluruhan, ajaran tarekat Naqsyabandiyah terdiri dari 17 tingkat mata pelajaran. Ke-17 tingkat mata pelajaran tersebut adalah;

1. Dzikir Ismu Dzat: “mengingat yang Haqiqi”

Pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Allah semata.

2. Dzikir Latha’if: “mengingat Asma Allah pada tujuh titik halus pada tubuh”

Seseorang yang berdzikir memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha’if), adalah;

- qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri

- ruh (jiwa), selebar dua jari di bawah puting susu kanan

- sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas puting susu kiri

– khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan

– akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada

– nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama

– kullu jasad, luasnya meliputi seluruh tubuh, bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam Asma Allah.

3. Dzikir Nafi Itsbat: “mengingat keesaan”

Bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat La Ilaha Illallah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi La permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, Illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.

4. Dzikir Wuquf: “diam dengan semata-mata mengingat Allah”

Mengingat Dzat Allah yang bersifat dengan segala sifat sempurna dan suci, atau jauh dari segala sifat kekurangan. Dzikir Wuquf ini dirangkaikan setelah selesai melaksanakan dzikir Ismu Dzat atau dzikir Latha’if, atau dzikir Nafi Itsbat. Pelaksanaan dzikir Wuquf ini sebelum menutup dzikir-dzikir tersebut.

5. Dzikir Muraqabah Ithla’

Seseorang berdzikir dan ingat kepada Allah SWT bahwa Ia mengetahui keadaan-keadaannya dan melihat perbuatan-perbuatannya, serta mendengar perkataan-perkataannya.

5. Dzikir Muraqabah Ahadiyatul Af’al

Berkekalannya seorang hamba menghadap serta memandang Allah SWT yang memiliki sifat sempurna serta bersih dari segala kekurangan, serta Maha Berkehendak.

6. Dzikir Muraqabah Ma’iyah

Berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta memandang kepada Allah SWT yang mengintai di mana saja hamba itu berada.

7. Dzikir Muraqabah Aqrabiyah

Keadaan mengingat betapa dekatnya Allah dengan hamba-Nya.

8. Dzikir Muraqabah Ahadiyatuzzati

Mengingat sifat Allah yan g esa dan menjadi tempat bergantungnya segala sesuatu.

9. Dzikir Muraqabah Zatissyarfi wal Bahti

B eraitan dengan sumber timbulnya kesempurnaan kenabian, kerasulan dan ‘ulul azmi, yakni dari Allah semata.

10. Maqam Musyahadah

Kondisi di mana seseorang berdzikir seolah-olah dalam tahap berpandang-pandangan dengan Allah.

11. Maqam Mukasyafah

Kondisi di mana seolah terbuka rahasia ketuhanan bagi seseorang yang berdzikir. Bila berdzikir pada maqam ini dilaksanakan dengan baik, sempurna, dan ikhlas, maka seorang hamba akan memperoleh hakikat kasyaf dan rahasia-Nya.

12. Maqam Muqabalah

Dalam tahap berhadap-hadapan dengan wajah Allah yang wajibul wujud.

13. Maqam Mukafahah

Tahap ruhaniah seseorang yang berdzikir berkasih sayang dengan Allah. Dalam maqam ini, kecintaan pada selain Allah telah hilang sama sekali.

Baca berikutnya: Shalawat Penebus Hutang

14. Maqam Fana’ Fillah

Kondisi di mana rasa keinsanan seseorang melebur ke dalam rasa ketuhanan, serta secara fana melebur dalam keabadian Allah.

15. Maqam Baqa’ Billah

Pencapaian tahap dzikir, di mana kehadiran hati seorang hamba hanya bersama Allah semata.

16. Tahlil Lisan

Melaksanakan dzikir Nafi Itsbat yang diucapkan secara kedengaran, atau jahar. Dzikir Tahlil Lisan ini dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditetapkan oleh syaikh mursyid.

17. Wirid/aurad

Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad Saw., dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syaikhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Syaikh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...