Sunday, September 30, 2018

Mengenal Jejak Soeharto


Soeharto Lahir  di Kemusuk,
Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921.
Ia lahir dari keluarga petani yang menganut Kejawen. Keyakinan keluarganya ini kelak terus dipeliharanya hingga hari tua. Karir Suharto diawali sebagai karyawan
di sebuah bank pedesaan, walau tidak lama.

Dia sempat juga menjadi buruh dan kemudian menempuh karir militer pertama kali sebagai prajurit KNIL yang berada di bawah kesatuan tentara penjajah Belanda.

KNIL adalah singkatan dari bahasa Belanda; het Koninklijke Nederlands(ch)- Indische Leger, atau secara harafiah: Tentara Kerajaan Hindia Belanda, saat Jepang masuk di tahun 1942, Suharto bergabung dengan PETA, yaitu singakatan dari tentara sukarela Pembela Tanah Air (kyōdo bōei giyūgun) adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang.

Ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat atau biasa disingkat dengan TKR, adalah sebuah nama angkatan perang pertama yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

TKR dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 berdasarkan maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. TKR dibentuk dari hasil peningkatan fungsi Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah ada sebelumnya dan tentara intinya diambil dari bekas PETA.

Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949

Sejarah ditulis ulang oleh para pemenang dan penguasa. Salah satu ‘prestasi’ kemiliteran Suharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia berkuasa adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta

Bahkan ‘prestasi’ ini sengaja difilmkan dengan judul ‘Janur Kuning’ pada tahun 1979, yang memperlihatkan jika serangan umum itu diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol Suharto.

Padahal, sesungguhnya serangan umum itu diprakarsai oleh Sultan Hamengkubuwono IX.
Sultan Hamengkubuwono IX lah yang memimpin serangan umum melawan Belanda, bukan Soeharto.

Hamengkubuwono IX adalah seorang nasionalis yang memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu ia tidak mau untuk di jajah. Kedepannya, Sultan Hamengkubuwono IX menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia.

Nasution Pecat Suharto Secara Tak Hormat Dari Pangdam Diponegoro

Pada 1959, Suharto yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Jenderal Abdul Haris Nasution dengan tidak hormat, karena Suharto telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.
Suharto kala itu juga ketahuan ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong. Untuk memperlancar penyelundupan ini, didirikan perusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan.

Konon, dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal ‘Indonesian Overseas’ milik C.M. Chow. Mungkin, sejarah nyata pemecatan dengan tidak hormat inilah yang bisa jadi mirip “kutukan” jika suatu saat dinastinya masuk kembali ke dalam kemiliteran, akan dipecat dengan tidak hormat pula.

Suharto, Berkomplot lakukan penyelundupan

Pada tahun 1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang yang bertugas di Shanghai, Cina. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao Tse Tung atau dikenal pula sebagai Mao Zedong, adalah seorang tokoh filsuf dan pendiri negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Mao Tse Tung atau Mao Zedong, adalah salah satu tokoh terpenting dalam sejarah modern Tiongkok. Kala itu C.M. Chow merupakan kepanjangan tangan Mao dalam merekrut Cina perantauan dari orang Jepang, ke dalam jaringan komunis Asia.

Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang dari Indonesia, Chow tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan pertama di negeri ini.

Chow bukan saja membina warga negara Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi, salah satu binaannya adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan.

Kemudian pada pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja dan Liem Sioe Liong mendirikan sejumlah pabrik di Fujian, Cina. (dari: Siapa Sebenarnya Suharto; Eros Djarot; 2006).

Jenderal A.H. Nasution yang akrab disapa “Pak Nas”, pada kala itu sangat marah sehingga ingin memecat Suharto dari Angkatan Darat dan menyeretnya ke Mahkamah Militer, namun atas desakan Gatot Subroto, Suharto dibebaskan dan akhirnya dikirim ke SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat).

Ahmad Yani Juga Marah Kepada Suharto

Selain Nasution, Yani juga marah atas ulah Suharto dan di kemudian hari mencoret nama Suharto dari daftar peserta pelatihan di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), yang mana hal ini membuat Suharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.

Kemudian, Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan Suharto.

Pranoto, sang perwira ‘santri’, menarik kembali semua fasilitas milik Kodam Diponegoro yang dipinjamkan Suharto kepada para pengusaha Cina untuk kepentingan pribadinya.
Suharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga terhadap Nasution dan Yani.

Lalu di sekolah SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), Suharto dicalonkan untuk menjadi Ketua Senat.

Namun D.I. Panjaitan menolak keras dengan menyatakan dirinya tidak percaya dengan Suharto yang dinilainya tidak bisa dipercaya karena mempunyai banyak catatan kotor dalam karir militernya, antara lain penyelundupan bersama para pengusaha Cina dengan dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi adalah untuk memperkaya dirinya.

Suharto Dendam Kepada Para Jenderal

Atas kejadian itu maka Harto, panggilan Suharto marah. Bertambah lagi dendam Suharto, selain kepada Nasution, Yani, Pranoto, dan kini kepada D.I. Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965,

musuh-musuh Suharto terutama Nasution, Yani, dan Panjaitan, menjadi target pembunuhan, sedangkan Suharto sendiri yang merupakan orang kedua di Angkatan Darat ini, tidak masuk dalam daftar kematian.

Setelah Ahmad Yani terbunuh pada peristiwa 30 September 1965, Bung Karno mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), namun Pranoto dijegal oleh Suharto sehingga Suharto-lah yang justru mengambil-alih kepemimpinan Angkatan Darat, dan untuk menghindari pertumpahan darah oleh kemungkinan perang saudara, maka Soekarno melantik Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965.

Perang saudara yang diyakini akan terjadi itu, karena Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO (kini Marinir) di Jawa Timur, telah bersumpah untuk selalu berada di belakang Soekarno. Dan, jika Soekarno memerintahkan untuk ‘menyapu’ kekuatan Suharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap juga untuk berperang.

Itulah yang akhirnya dihindari oleh Soekarno, agar Angkatan Darat tidak pecah dan justru dapat membuat Indonesia yang baru merdeka ini, dapat kembali pecah oleh kekuasaan dan harta yang hanya dapat dinikmati di dunia yang sementara ini.

Kronologi Soeharto dendam Pranoto bongkar kasus korupsinya di Jawa Tengah

Pranoto Reksosamodra sejatinya teman karib Soeharto. Saat Jepang membuka pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), kedua pemuda tersebut terpanggil untuk mendaftar. Pranoto dan Soeharto sama-sama lulus dengan hasil memuaskan sebagai kompandan peleton.
Sebentar bertugas, keduanya dipanggil mengikuti pendidikan lanjutan sebagai komandan kompi di Bogor. Karir Pranoto dan Soeharto juga maju beriringan. Tahun 1948, Letkol Pranoto diangkat menjadi Komandan Brigade IX/Divisi III/Diponegoro di Muntilan, sementara Letkol Soeharto menjadi Komandan Brigade X di Yogyakarta.

Saat Soeharto sebagai komandan serangan Umum 1 Maret, Pranoto dan pasukannya kebagian tugas menyerang Yogyakarta dari Utara lewat Kali Code. Kolonel Pranoto juga yang menggantikan Kolonel Soeharto menjadi Panglima Tentara & Teritorium IV/Diponegoro. Pada saat itu Panglima menjabat penguasa perang daerah (Paperda). (baca juga: [Sejarah Singkat] Awal Kasus Korupsi Di Indonesia).

Di sinilah hubungan kedua perwira Angkatan Darat ini memburuk. Penyebabnya saat tim pemberantasan korupsi Angkatan Darat turun ke daerah-daerah menyelidiki dugaan korupsi para panglima. Tim ini diketuai oleh Brigjen Soengkono.

Kolonel Pranoto menuliskan peristiwa ini dalam catatan pribadinya. Buku catatan ini kemudian disunting Imelda Bachtiar dan diterbitkan Kompas tahun 2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya. Pranoto mengaku memberikan fasilitas dan keleluasaan untuk tim audit tersebut selama bergerak di wilayah militernya.

Tim ini menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Kolonel Soeharto saat menjabat Panglima di Jawa Tengah. Antara lain barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan pabrik rokok kretek Jawa Tengah. Ada juga penjualan besi tua yang disponsori sejumlah pengusaha Tionghoa seperti Lim Sioe Liong.

Brigjen Soengkono melaporkan hal ini pada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution yang. Soeharto sempat malu dan berniat mengundurkan diri karena kasus ini. Namun Nasution menolaknya. Nasution pula yang kemudian menyelesaikan kasus ini. Soeharto akan diberi sanksi administrasi sedangkan Pranoto diperintahkan menertibkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Jawa Tengah.

Masalah rupanya belum selesai. Soeharto sudah menaruh dendam pada Pranoto. Dia termakan kasak kusuk yang menyebut Pranotolah yang meminta tim Angkatan Darat menyelidiki masalah ini.

Wakil Kasad Letjen Gatot Soebroto memanggil kedua anak buahnya ini. Dia meminta keduanya berbaikan. Namun Soeharto sempat menolak.

“Bagaimanapun aku merasa dipermalukan dan dicoreng-moreng oleh sebab perbuatannya,” kata Soeharto. Pranoto membela diri. “Demi Allah, laporan-laporan itu bukanlah aku yang melakukan dan aku pun tak perlu menuduh dari mana ataupun dari siapa laporan itu dibuat. Hal itu tidak benar dan kalau perlu kolonel dapat menuntutnya.”

Letjen Gatot Subroto menyela perdebatan itu dengan gayanya yang kebapakan. Dia meminta Pranoto dan Soeharto berdamai.
“Kalian seperti anak kecil. Di hadapanku jangan pada bertengkar. Sudah bubar. Ayo pada salaman,” kata Gatot.

“Kami terpaksa bersalaman. Betapapun di hati masing-masing terasa hambar,” kenang Pranoto melukiskan peristiwa tahun 1960 itu.

Persahabatan dua perwira TNI ini pun berakhir

Kelak setelah G30S meletus, Mayor Jenderal Soeharto menahan Mayjen Pranoto dengan tuduhan terlibat aksi militer G30S yang didalangi PKI. Tanpa pengadilan, Pranoto menjalani penahanan selama 15 tahun!
Sejumlah pihak menyangka dendam Soeharto yang melatarbelakangi penangkapan tersebut. Namun rupanya Pranoto tak mau berburuk sangka.

“Dari catatan Pak Pran, beliau juga tidak tahu apakah karena masalah itu atau yang lain. Karena itu Pak Pran selalu berharap ada pengadilan sehingga bisa menjawab semua tuduhan. Tapi pengadilan tersebut tak pernah ada,” kata Imelda Bachtiar saat berbincang dengan wartawan

Sejarawan Asvi Warman Adam menilai cara-cara Soeharto menggandeng konglomerat dan mendirikan aneka yayasan terus dipertahankan saat dia menjadi presiden RI. Sama dengan di Jawa Tengah dulu, yayasan yang didirikan Soeharto selalu diklaim untuk mensejahterakan anggota TNI atau masyarakat. Namun tentunya Soeharto dan koleganya pun dapat keuntungan.

“Menarik apa yang disampaikan dalam biografi Liem Sioe Liong. Apa yang dia peroleh dari monopoli. Di sisi lain jika Soeharto butuh, dia tinggal minta dana ke Liem. Ini mutualisme,” kata Asvi.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...