Dalam hal ini, terdapat dua perbedaan pendapat antaralain:
Pertama, orang kafir diharamkan menyentuh mushaf. Ini adalah pendapat Abu Yusuf yakni seorang faqih mazhab Hanafi begitu juga fuqaha mazhab Maliki, fuqaha mazhab Syafi’i, dan fuqaha Hambali berpendapat, tidak boleh membacakan Al-Qur’an untuk mereka. Dalil yang mereka pakai adalah firman Allah ta’ala:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ ، فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ ، لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 77-79).
Hadits Nabi yang diriwayatkan dari kakek Amru bin Hazm bahwa Nabi mengirim surat kepada penduduk Yaman. Di antara isinya berbunyi: Jangan menyentuh Al-Qur’an selain orang yang dalam keadaan suci.” (Sunan Ad-Daruquthni: 1/122 dan Sunan Al-Baihaqi: 1/87, 88)
Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW melarang bepergian ke negeri musuh dengan membawa Al-Qur’an. (Shahih Al-Bukhari: 4/15 dan Shahih Muslim: 3/1490-1491)
Penjelasannya, ayat ke-77-79 dari surat Al-Waqi’ah memberi petunjuk bahwa orang-orang kafir tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an lantaran mereka tidak suci. Mereka kotor atau najis oleh karena kekafiran dan kemusyrikannya.
Hadits kakek Amru bin Hazm tegas melarang orang-orang yang tidak dalam keadaan suci menyentuh mushaf. Suci dari kekafiran dan kemusyrikan lebih penting daripada suci dari hadats.
Para ulama menganalisis, alasan dilarangnya bepergian ke negeri musuh yang diterangkan dalam hadits Abdullah bin Umar adalah supaya tidak sampai dipegang oleh musuh.
Kedua, orang kafir setelah mandi dibolehkan menyentuh mushaf. Ini adalah pendapat Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi. Dalil yang dijadikan pijakan adalah hadits yang menerangkan bahwa Nabi saw mengirim surat kepada Heraclius, hal mana surat beliau memuat firman Allah surat Ali ‘Imran: 64. (HR Al-Bukhari).
Nabi SAW mengirim surat yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an kepada orang-orang kafir. Beliau pasti yakin, surat itu akan mereka sentuh atau pegang. Ini membuktikan bahwa orang kafir boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama.
Jika Muslim yang tidak dalam keadaan suci saja tidak boleh menyentuh mushaf, lantas bagaimana seorang kafir dibolehkan menyentuhnya? Mengenai surat Nabi SAW kepada Heraclius yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an, hal itu dapat didudukkan sebagai berikut:
Pemuatan satu atau dua ayat dikategorikan sebagai kasus khusus. Dibolehkan memberi kesempatan kepada orang-orang musyrik untuk membacanya (dan menyentuhnya) dalam rangka menyeru mereka kepada Islam.
Keberadaan surat Nabi di atas sama dengan kitab-kitab tafsir atau buku-buku yang memuat beberapa ayat Al-Qur’an yang tidak diharamkan menyentuhnya. (Lihat: Nailul Authar, Asy-Syawkaniy: 1/207)
Ar-Ramli rahimahullah mengatakan: Orang kafir dilarang meletakkan tangannya di mushaf untuk menjilidnya sebagaimana pendapat Ibnu Abdussalam meskipun ada harapan untuk masuk Islam. Berbeda dengan diberi kesempatan untuk membacanya. Karena memberikan kesempatan (memegang) dapat membuatnya menguasainya dan menistakannya." (Nihayatul Muhtaj, 3/389)
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al–Majmu, 2/85. Ia berkata: Ulama kalangan kami mengatakan, orang kafir tidak dilarang mendengarkan Al-Qur’an, tapi dilarang memegang mushaf.
Imam al-Baji dalam kitabnya al-Muntaqa syarh Muwatta`menjelaskan, jika ada seorang kafir meminta untuk dikirimkan mushaf untuk ditadabburinya maka tidak boleh dikirimkan kepadanya karena ia adalah najis yang tidak pernah mandi dari junubnya dan tidak boleh bagi orang kafir untuk memegang mushaf serta tidak boleh bagi seorang Muslim untuk memberikannya kepadanya.
Terdapat dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah tentang orang kafir yang menyentuh mushaf dan pekerjaannya mengkopi dan membuat mushaf: Orang kafir dilarang menyentuh mushaf, sebagaimana halnya orang muslim yang sedang jnub. Bahkan orang kafir lebih utama untuk dilarang secara mutlak. Maksudnya, baik dia mandi maupun tidak mandi."
Dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah (dinyatakan), “Bahwa Abu Hanifah mengatakan, ‘Kalau dia mandi, maka dibolehkan menyentuhnya."
Orang kafir dilarang bekerja dalam pembuatan mushaf, hal itu dikatakan oleh Al-Qolyubi: "Orang kafir dilarang menjilid dan menghiasi mushaf." Akan tetapi Al-Bahuti mengatkan, “Orang kafir dibolehkan mengkopi mushaf tanpa disentuh atau dibawanya.” (Mushaf, fakroh 30). Di dalamnya juga dikatakan, “Malikiyah, Syafiiyyah, Hanabilah dan Abu Yusuf dari hanafiyah berpendapat bahwa orang kafir tidak dibolehkan menyentuh mushaf karena hal itu termasuk pelecehan terhadap mushaf.
Muhammad bin Hasan mengatakan, “Orang kafir tidak mengapa menyentuh mushaf kalau dia mandi. Karena (sebab) pelarangannya adalah hadats, dan hal itu (dapat hilang) dengan mandi. Yang tersisa adalah najis keyakinannya, dan hal itu ada di hatinya bukan di tangannya.” (Kufur, faqrah 16).
Di samping hadis di atas, para ulama juga berdalilkan kepada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW melarang untuk membawa Al-Qur'an ke wilayah musuh. (HR Bukhari dan Muslim). Dibolehkan memberikan Al-Qur'an terjemahan atau kitab tafsir sebagai hadiah kepada tetangga atau teman non-Muslim dengan harapan mereka mempelajari Islam dan mendapat hidayah Allah disertai kuat dugaan kita bahwa mereka tidak akan menghinakan Al-Qur'an terjemahan atau kitab tafsir tersebut.
Bahkan, hal itu dianjurkan demi mengenalkan Islam serta mengajak manusia menuju hidayah Allah melalui sumbernya yang asli. Sebab, Al-Qur'an terjemahan merupakan perkataan manusia yang bertujuan untuk memudahkan pemahaman Al-Qur'an bagi mereka yang tidak berbahasa Arab, maka hukumnya sama dengan kitab tafsir. Dan, kitab tafsir itu boleh bagi non-Muslim untuk memegangnya karena ia bukan mushaf.
Hal itu berdasarkan ijma para ulama yang menyatakan boleh menulis beberapa ayat dalam surat atau buku sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan menulis surat kepada raja dan para pemimpin dunia pada masanya yang di dalamnya ada lafadz bismillahirrahmanirrahim dan ayat 64 dari surah Ali Imran yang berbunyi, “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS Ali ‘Imran [3]: 64).
Apakah dibolehkan mengajarkannya Al-Qur’an?
Dilihat, kalau tidak ada harapan masuk Islam, maka tidak dibolehkan. Kalau ada harapan, maka dibolehkan (mengajarkannya) menurut pendapat terkuat dari dua pendapat yang ada.
Menurut pendapat penulis, karena dilarang menyentuh mushaf Al-Qur'an bagi non muslim, sebaiknya diberikan Al-Qur'an tafsir atau terjemahan atau boleh juga dipinjami buku-buku fikih agar mengetahui hukum-hukum dalam ajaran Islam dengan harapan dapat mendapat hidayah Islam.
No comments:
Post a Comment