Dulu agama mengajarkan kasih sayang. Kini agama jadi alat menyerang. Tak kenal Tuhannya, yang penting kegarangannya.
Dulu orang saling mencintai karena agama. Sekarang orang saling membenci karena agama. Dulu orang saling menghormati karena agama. Sekarang orang saling mengkafirkan karena agama.
Agama tak berubah dari dulu, manusianya pun tak berubah dari dulu. Lalu yang berubah apanya? Gurunya. Dulu belajar agama dari mbah kiai sedangkan sekarang banyak yang belajar agama dari mbah google.
Dulu belajar agama untuk menebar rahmat dan kasih sayang. Sekarang belajar agama untuk menghujat, menebar hoax dan menebar virus kebencian. Ketika hoax menjadi pencaharian, tidak hoax tidak makan, sungguh sangat menyedihkan.
Dulu pemimpin agama benar-benar cukup ilmunya, matang intelektualnya, pengalaman ilmu sosialnya. Sekarang, modal copas, sepotong ayat, sepenggal sabda mengaku paling ahli agama. Mengaku paling bertuhan bahkan memberhalakan hawa nafsunya.
Dulu siswa diajarkan untuk selalu ikhlas dalam menimba ilmu. Istiqamah, sabar dan waktu yang panjang. Sekarang, siswa semakin ugal-ugalan, serba instan bahkan belajar agama tidak lama. Tiba-tiba bim salabim mendadak ustadz dan mendadak ngaku ulama.
Dulu agama menjunjung tinggi kemanusiaan. Ngewongke wong. Memanusiakan manusia. Semakin dalam beragama maka semakin dalam pula rasa welas asihnya kepada sesama. Sekarang agama menjadi bahan pertengkaran, peperangan dan bahan peledak yang membinasakan.
Dulu agama ditempuh untuk dekat kepada Tuhan. Menghamba dengan penuh rasa iba dan penuh cela. Sekarang, agama menjadi kebanggaan untuk mencela mereka yang berbeda.
Benar kata Gus Mus, esensi beragama telah dilupakan. Agama tidak lagi menjadi pendekatan kepada Tuhan dan penghormatan rasa kemanusiaan. Agama kini hilang sakralitasnya. Ditukar dengan nasi bungkus, recehan dan alat politik saat kampanye Pilkada dan Pilpres.
Agama kini semakin menjauh dari kesucian. Karena diobral untuk menghujat sesama hamba Tuhan. Karena agama, manusia tak lagi dihargai, perbedaan tak lagi dihormati. Yang terjadi, menghalalkan darah manusia kemudian mengklaim sebagai abdi Tuhan. Padahal sejatinya adalah abdi setan.
Tuhan kita adalah Tuhan yang tak gemar berperang. Tuhan kita adalah Tuhan yang tak suka menghunus pedang. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang hobinya marah-marah dan ngambekan namun Tuhan kita adalah Tuhan yang melimpahkan rahmat dan kasih sayang untuk semesta raya kepada seluruh ciptaan-Nya dengan cinta kasih tanpa pilih kasih.
Akan tiba masa dimana agama dijadikan komoditas yang murah. Kalimat takbir menjadi simbol pertumpahan darah. Tuhan dianggap tak lagi pemurah. Ayat-ayat dan aturan agama dicampur aduk dengan kalimat sumpah serapah.
No comments:
Post a Comment