Masa kecil Nawawi tak jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya, namun berkat peran ayahnya, yaitu KH. Abdul Aziz yang memberikan kasih sayangnya dengan tulus kepada Nawawi membuat Nawawi kecil tumbuh menjadi seorang yang selalu semangat dan haus akan ilmu pengetahuan. Di saat usia tujuh tahun, Nawawi memulai karir belajarnya dengan masuk ke Sekolah Rakyat (SR) pada pagi hari, dan ketika sore masuk ke Madrasah Diniyah Al-Islam Jono, sedangkan malam harinya dimanfaatkan untuk mengaji Al-Qur’an bersama ayahnya dan ditambah pula beberapa kitab dalam disiplin ilmu fiqh dan ushuludin. Pada saat usianya mencapai 13 tahun, ia mulai mengkaji kitab-kitab yang membahas ilmu Alat (nahwu, sharaf, sampai balaghoh) kepada seorang guru yang bernama KH. Ansori selama empat tahun.
Dengan kesabaran dan keuletan selama empat tahun belajar, akhirnya kemampuan dibidang ilmu Alat sudah dipandang cukup oleh Sang Guru. Kemudian perjalanan keilmuaannya berlanjut, Nawawi pun bersama kakak kandungnya, Muhamad Hasyim dikirim orang tuanya untuk belajar di Pondok Pesantren Lirab, Kebumen, yang di asuh oleh kyai Luqman. Setelah beberapa tahun belajar di pesantren ini, mereka pun dijemput untuk pulang. Tetapi bukan pulang untuk bersantai-santai, melainkan pulang untuk kembali lagi berkelana dalam menambah wawasan keilmuan mereka. Maka dari itu, ayah mereka mengantar ke pondok pesantren Tugung Banyuwangi di bawah asuhan KH. Abas yang pada saat itu Indonesia dalam masa penjajahan Jepang.
Pada saat Indonesia mencapai kemerdekaanya, Nawawi dan kakaknya masih dalam tahap belajar di pondok tersebut. Setelah beberapa bulan hidup dalam kemerdekaan, Nawawi pulang ke kampung halamannya untuk melepas kerinduan seorang anak kepada orang tuanya. Tetapi siapa yang tahu apa yang dikehendaki yang Maha Kuasa, sebelum ia sempat kembali ke pondok, serdadu Belanda yang membonceng pasukan Inggris mendarat di Surabaya dan menyerang daerah Jawa Timur. Nawawi mengalami kesedihan yang sangat memilukan, pertama karena tidak pernah kembali ke pondok tersebut, kedua karena berpisah dengan kakak yang menemaninya belajar selama ini. Sang kakak pun juga demikian, tidak bisa menemui dan tidak lagi bisa menerima kiriman dari rumah. Akibatnya, terpaksa sang kakak menjual kitab-kitabnya dari pondok ke pondok, dari kampung ke kampung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hingga pada waktunya, sang kakak menemui nasib baiknya dengan memperistri Masfufah putri H. Faqih dan bertempat tinggal di Banyuwangi bersama keluarga dan para santri santrinya.
Nawawi yang sedang pupus harapan karena kitab kitabnya tertinggal di pondok mulai bangkit untuk kembali menuntut ilmu, semangat belajarnya tidak pernah padam. Ia berpikir bagaimana mencari ilmu yang tidak membutuhkan biaya banyak karena membeli kitab-kitab. Kemudian ia pun memutuskan untuk menghafal Al Qur’an yang di masa mendatang akan menjadi jalan hidupnya sampai sekarang. Maka dengan meminta restu kedua orang tuanya, ia menuju sebuah pondok di Yogyakarta, yaitu pondok pesantren Krapyak di bawah asuhan KHR. Abdul Qodir Munawwir, putra KH.Munawwir pendiri pondok pesantren tersebut. Berkat kepatuhan dan ketaatan tentang apa yang dinasehatkan gurunya dalam tata cara menghafal Al Qur’an (yaitu antara menambah hafalan dan mengulang materi atau ayat yang sudah dihafalkan) maka dalam waktu tiga bulan ia sudah menghafal setengah juz dengan hafalan yang baik. Namun, jalan untuk mencapai sebuah cita-cita tidaklah selalu mudah tanpa hambatan apapun. Ketika Nawawi sedang menikmati masa menghafal Al Qur’an dengan keistiqomahannya dan semangatnya yang luar biasa, tanpa disangka berondongan peluru belanda terdengar dengan gemuruhnya serta pesawat perang belanda yang menurunkan pasukannya di lapangan Maguwo (sekarang Adi Sucipto) sebagai tanda dimulainya class kedua (duurstud). Maka suasana yang tenang dan syahdu tidak lagi ada di bumi Yogyakarta, akhirnya dengan berat hati dan untuk menyelamatkan diri, ia kembali ke kampung halamannya dengan jalan kaki bersama kawan-kawannya. Di kampung halamannya ia membantu para pejuang, walau selalu diawasi oleh musuh ia selalu mengulang hafalannya bahkan bisa menambah dengan kondisi keamanan yang kritis sebagai tabungan suatu saat disetorkan kepada gurunya.
Setelah enam bulan lamanya menunggu terdengar bahwa Yoyakarta telah aman dan belanda sudah pergi serta kembalinya presiden dari pengasingannya, maka Nawawi muda cepat-cepat kembali ke Krapyak dengan melewati jalur selatan guna menghindari dari patroli belanda untuk melanjutkan menghafal Al Qur’an yang sempat tertunda karena keamanan yang tidak memungkinkan. Dengan rahmat Allah swt, proses menghafal akhirnya dapat ia selesaikan berkat ketekunan dan istiqomahnya, bahkan mendapat nilai yang baik serta mendapatkan tempat di hati guru yang sangat sayang kepadanya. Dan sebagai puncak curahan kasih sayang gurunya maka gurunya KHR.Abdul Qodir menikahkan Nawawi muda dengan adiknya yang bernama Walidah. Namun sebenarnya Nawawi muda masih ingin melanjutkan belajarnya ke pondok pesantren Yanba ul Ulum di bawah asuhan KH.Arawni Amin guna mengaji Al Qur an dengan qiro ‘ah sab’ ah maka setelah membicarakan masalah tersebut dengan gurunya, ia diberi pengarahan bahwa setelah menikah ia diperkenankan untuk melanjutkan belajarnya ke Kudus, akhirnya dilangsungkanlah akad nikah antara Walidah binti KH. Munawwir yang hafidzoh dengan seorang Nawawi muda dari desa putra KH. Abdul Aziz yang hafidz juga pada tanggal 28 agustus 1952.
Setelah tujuh puluh hari kelahiran putra pertamanya, keinginan untuk belajar ke Kudus benar-benar terwujud, dengan meminta restu dari seluruh keluarga dan bekal yang cukup berngkatlah Nawawi yang sudah menjadi seorang ayah dengan meninggalkan istri dan anak yang amat dicintainya. Pada tahun 1955 beliau talah berhasil meyelesaikan belajarnya dengan baik dan menerima syahadah atau ijazah Qira’ah Sab’ah secara hafalan dari guru besar KH.Arwani Amin kudus, pada acara penyarahan syahadah K.H.R Abdul Qadir Munawir bersama Ny Walidah istri K.H Nawawi juga datang sekaligus penjemputan untuk pulang ke Krapyak. Setelah beberapa bulan beliau tinggal bersama keluarganya maka K.H Nawawi bekeinginan untuk membawa anak dan istrinya kembali ke kampung halamannya di Tulus Rejo, setelah meminta restu dari keluarga Krapyak pulanglah K.H Nawawi ke desanya dengan harapan dapat menyalurkan ilmu-ilmunya di daerahnya sekaligus menemani kedua orang tuanya yang sekarang sudah usia yang sudah senja. Di kampung halamannya beliau yang sudah menjadi kiyai muda lansung membuka pengajian-pengajian Al Qur an serta membuka Madrasah Ibtidaiyah kelas satu, dengan semangat tinggi menjadi guru sekaligus pengurus. Akhirnya sebagian muridnya itu dapat menyelesaikan belajarnya hingga kelas enam dan diproyeksikan menjadi tenaga pengajar bagi adik-adik kelasnya. Itulah cara yang ditempuh beliau untuk memajukan proses KBM di daerahnya dengan dana seadanya dan tenaganya sendiri mampu mendirikan sebuah madrasah.
Ketika K.H.R Abdul Qadir pemegang kepemimpinan Krapyak wafat dan digantikan oleh K.H.R Abdulloh Afandi salah seorang putra K.H Munawir juga, saat itulah dibentuk pengadilan agama Bantul , sehubungan dengan itu dipanggilah K.H Nawawi untuk ikut mendaftarkan menjadi hakim agama agar lebih terjmin kebutuhan hidupnya sekaligus membantu mengajar di Krapyak dan akhirnya beliau diterima menjadi hakim keagamaan di Bantul bahkan menjadi ketuanya. Karena jarak tempat bekerja yang lumayan jauh maka beliau mengayuh sepada ketika berangkat ke kantor, dan sepulang dari kantor beliau sering mampir di sebuah masjid yang terletak di dusun Ngrukem ,Sewon, Bantul. Karena keseringan beliau mampir di masjid itu, masyarakat mulai menganal sosok K.H Nawawi adalah orang pintar, maka masyarakat menyarankan beliau untuk tinggal di dusun itu, memang suatu jalan yang sudah digariskan yang Maha Kuasa beliau meminta restu dari keluarga untuk tinggal di dusun Ngrukem, setelah mendapat restu, beliau tinggal di dusun Ngrukem, Pendowoharjo, Sewon, Bantul bersama anak dan istrinya. Dengan tinggal di dusun Ngrukem beliau mendapat dua keuntungan pertama dekat dengan kantor kerjanya dan yang kedua sesuai dengan keiinginan untuk membuka pondok pesantren sendiri.
Di dusun Ngrukem beliau disambut baik olah masyarakat terutama anak cucu Mbah Shalih, dalam mengembangkan podok pesantrennya, beliau dibantu oleh H. Anwar hingga diberi rumah komplit dengan pekarangan dan sawah secara hibah oleh orang tua H. Anwar yang bernama Ibu Hj. Dahlan dan didukung olah putra-putri beliau. Pada akhirnya di tahun 1978 berdirilah pondok pesantren putra-putri An Nur Ngrukem, hingga dikala umur simbah Yai yang sudah sepuh beliau masih membimbing para santri dengan istiqomahnya walau sekarang hanya bisa menamani menjadi imam sholat lima waktu dan deresan subuh tiga juz serta para santri yang belajar Qiro’ah Sab’ah, namun semangat beliau dan keistiqomahan beliau dalam mengajar santri-santrinya tidak pernah luntur.
Baca berikutnya: Riwayat Hidup KH. Nawawk Abdul Aziz Al-Hafidz5
Pondok Pesantren An Nur terus berkembang tiap tahunnya. Hingga saat ini Pondok Pesantren An Nur memiliki pendidikan formal dari tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) sampai Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an (STIQ) An-Nur dan pada tahun 2017 beralih menjadi Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) An-Nur.
KH. Nawawi Abdul Aziz wafat pada tanggal 24 Desember 2014 di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta pada usia 89 tahun. Dimakamkan dikomplek Pondok Pesantren An-Nur.
No comments:
Post a Comment