Saturday, March 31, 2018

Mengenal Syeikh Maulana Syamsudin: Sang Manusia Sakti dari Kediri



Syekh Maulana Samsujen di dalam sejarah Kediri, pada tahun 1135 tertulis sebagai manusia sakti mandraguna yang sangat tinggi ilmu kedigdayaannya. Karena ilmu Meniti Angin yang dikembangkannya, Syekh Maulana Samsujen mampu berlayar dengan perahu kecilnya hanya dua jam perjalanan dari pesisir utara Jawa ke negeri Rum, negeri asalnya sekitar daerah Irak bagian tengah. Sampeyan bisa bayangkan, pesawat terbang saja tentu kalah cepat.

Syahdan, pada tahun 1135 Syekh Maulana Samsujen yang dikenal juga sebagai Mbah Wasil dipanggil oleh Prabu Aji Jayabaya ke kerajaannya, yakni Daha (Kediri). Raja Kediri yang berkuasa dari tahun 1135 sampai 1157 itu awalnya mendengar dari para prajurit kerajaan, bahwa ada manusia sakti yang mempunyai ilmu terbang dan mampu mengobati ragam penyakit berat. Baik penyakit medis maupun penyakit akibat santet atau teluh. Hampir semua penyakit diakibatkan persoalan gaib, dengan sukses mampu diobati oleh Maulana Samsujen. Hal itu dialami oleh masyarakat pesisir utara Jawa timur, seperti daerah Tuban, Gresik, dan Surabaya sekarang ini.

Mendengar ada manusia sakti mandraguna dan berilmu tinggi melebihinya, Prabu Jayabaya, cucu Prabu Airlangga, membuatnya penasaran. Dia lalu berniat bertemu dengan mengundangnya datang ke istana Kediri. Seratus prajurit berkuda lalu diutusnya menjemput sang syekh di pinggir laut utara.

Mendengar dirinya diundang oleh raja, Maulana Samsujen menyiapkan diri berangkat ke istana. Karena sifatnya yang tidak sombong dan rendah hati dengan prisip siapapun yang mengundang dan membutuhkan dirinya, kalau dia bisa, dia akan bersedia datang, maka berangkatlah dia dengan 100 prajurit tersebut.

Begitu seratus kuda dengan seratus prajurit berangkat meninggalkan pesisir utara, sang syekh berkata pada pemimpin rombongan, bahwa dia pasti akan datang dan pasukan dipersilahkan berangkat duluan. Karena percaya sang Syekh pasti akan datang, maka berangkatlah pasukan ke selatan menuju kerajaan menempuh perjalanan selama tiga hari tiga malam. Sesampai di kerajaan, seratus prajurit itu terkejut. Sebab sudah tiga hari sebelumnya sang Syekh telah tiba di istana berdampingan dengan sang Prabu Aji Jayabaya.

Konon dengan ilmu hikmahnya, Syekh Maulana Samsujen mampu terbang dalam hitungan menit dari pesisir utara Jawa tersebut ke pedalaman Jawa, atau lebih tepatnya ke Kediri. Ia mempunyai ilmu Meniti Angin. Konon kecepatannya melebihi pesawat terbang komersial yang rata-rata 800 km/jam itu.

Entah apa yang disaksikan oleh Prabu Aji Jayabaya mengenai kehebatan ilmu Maulana Samsujen. Yang jelas konon pada pertemua pertama itu sang raja langsung jatuh hati dan langsung pula berguru ilmu kelinuwihan pada orang mancanagari itu. Ilmu yang dipelajari sang prabu adalah ilmu hikmah, ilmu kepekaan indera keenam melihat yang gaib dan Ilmu Meniti Angin. Selain sang prabu, Pandita Ajar Subrata, besan Jayabaya, mertua Prabu Anom anaknya, juga belajar Ilmu Hikmah kepada Syekh Maulana Samsujen. Ternyata, mereka tunggal guru selain berbesanan.

Selanjutnya pada tahun 1139 Syekh Maulana Samsujen pulang ke negerinya, Rum. Walau berat, Prabu Aji Jayabaya terpaksa merelakan guru tercintanya tersebut pulang kampung. Bahkan, Prabu Aji Jayabaya mengantarkan Syekh Maulana Samsujen ke pesisir utara dan menyusuri laut Jawa. Dalam hitungan detik, Syekh Maulana Samsujen yang membujang sampai akhir hayat itu, menghulang dari pandangan prabu. Prabu Jayabaya yakin bahwa saat itu gurunya tersebut sudah sampai di negerinya.

Pada tahun 1156 Maulana Samsujen kembali lagi ke Kediri. Ia wafat di Istana Gedong dan dimakamkan di pusat selatan kerajaan yang sekarang bernama Istana Gedong. Sementara Prabu Aji Jayabaya, muksa di Desa Menang, Kecamatan Pagu, 12 kilometer utara kota Kediri. Selengkapnya baca Misteri Moksanya Sri Aji Jayabaya.

Dalam banyak artikel yang beredar saat ini, nama Syekh Samsujen banyak dikaitkan sebagai penyebar Islam di tanah Jawa, yang mana pada masa itu agama yang dominan adalah Budha dan Hindu. Sejatinya, Syekh Samsujen datang dari Timur Tengah ke tanah Jawa bukanlah hendak menyebarkan Islam. Lajang seumur hidup dan berilmu tinggi ini adalah seorang pengembara, atau dalam bahasa saat ini adalah seorang petualang. Kebetulan saja ketika sampai di tanah Jawa ia langsung jatuh hati akan keindahannya.

Kehadirannya di tanah Jawa bukan untuk menyebarkan ajaran Islam. Misinya hanya untuk pengalaman pribadinya berhubungan dengan masyarakat timur. Kebetulan ia berhubungan dengan masyarakat Hindu, Budha, dan anismisme di Jawa. Ketika bertemu dengan Jayabaya mereka tidak membincang tentang keyakinan, tetapi membahas suatu hal yang universal semata.

Dan memang, nama Syekh Maulana Samsujen tidak pernah tertulis sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa atau Nusantara. Sebab ia datang memang bukan untuk itu. Seperti yang sudah saya singgung di atas, ia adalah seorang penjelajah tunggal dan sangat mungkin ia adalah orang Timur Tengah pertama yang beragama Islam datang ke tanah Jawa ini. Jika dibahas sebagai penyebar agama Islam, bahasan itu akan melenceng. Sebab, Syekh Samsujen memanglah bukan seorang ahli ilmu agama yang datang untuk mengajar di luar Islam untuk menjadi muslim. Tapi soal keimanan, tentu saja ia seorang muslim yang kedekatannya dengan Gusti Allah tidak perlu kita ragukan lagi. Sementara sampai di sini dulu kisanak, semoga menambah wawasan buat kita semua. Nuwun.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...