Wednesday, April 11, 2018

Benarkah Kembar Mayang Tradisi Agama Hindu?


Satu persatu, khazanah tradisi Nusantara khususnya Jawa ditelanjangi. Hanya ingin menunjukkan bahwa semuanya adalah sesat, tidak ada ajarannya dalam Islam. Hingga menyasar kepada saudara kita yang beragama Hindu dan Buddha, yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali.

Seperti yang sudah-sudah, ketika berhasil dijelaskan maksudnya, mereka segera ngeles sambil berlenggang seakan tidak merasa bersalah setelah mengatakan orang menjadi sesat, murtad dan kafir. Ini sudah menjadi ciri khas mereka. Mungkin belum pernah mengaji hadits bahwa siapa saja yang menuduh seseorang sebagai orang kafir, kalau tidak terbukti, maka tuduhan itu akan berbalik ke dirinya sendiri.

Kita ambil hikmahnya saja. Selama ini generasi kita sudah terkesan abai. Sudah terkesan cuek dengan tradisi kita bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang ketinggalan jaman. Mudah-mudahan dengan dicaci maki dan direndahkannya tradisi tersebut,  bisa membangkitkan semangat hubbul wathon minal iman. Tidak sebatas jargon atau lagu-lagu yang membahana saja.

Setelah menyasar ke TUMPENG kali ini merangsek ke KEMBAR MAYANG. Kembar Mayang adalah hiasan dekorasi dari janur yang disusun sedemikian rupa ditempatkan di kanan kiri pengantin.  Maka seperti biasanya, tudingan langsung terarah pada agama Hindu, dan satu dalil sakti dikeluarkan: barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum tersebut.

Penulis pernah bertanya kepada sahabat yang beragama Hindu di Bali. Beliau menjelaskan bahwa membuat hiasan dari janur bukan tradisi Hindu tapi tradisi asli setempat. Sebenarnya perintah dari ajarannya simpel saja. Tapi karena orang Bali mengenal seni maka diasimilasikan dan diakulturasikan antara ajaran agamanya dengan khazanah yang ada pada masa itu sehingga menjadi indah mempesona dunia. Bahkan di negara asalnya tidak akan dijumpai khazanah serupa itu.

Intinya, tuduhan bahwa janur adalah ajaran Hindu jelas sebuah fitnah yang salah sasaran. Demikian juga bentuknya, hiasan di Bali dengan di Jawa juga berbeda sama sekali. Ternyata filosofi dan kandungan maknanya juga tidak bisa disamakan.

Dalam khazanah Jawa, Ulama terdahulu berpedoman berdasarkan Hadits Qudsi, "Gusti Allah SWT berfirman: Aku berserta prasangka hambaKu". Karena tradisi Jawa pra-Islam sudah sangat tinggi, maka Ulama mengawinkan dan mengislamkan tradisi-tradisi yang sudah ada tanpa memberangusnya. Dimaknai  ulang sesuai syariat sehingga bisa dijadikan media syiar agama Gusti Allah.

Janur dimaknai JA-a NUR (datangnya cahaya), dimaknai pula seJAtine NUR (cahaya sejati).  Dibentuk sedemikian rupa mengandung doa dan harapan yang baik bagi pengantin dan keluarganya. Setiap simbol yang diberikan baik bunga maupun buah-buahan memiliki makna simbolisnya masing-masing.

Demikian juga yang belum dibahas dalam daftar fiitnahan adalah hiasan gapura di pintu masuk area. Biasanya diberi bunga kelapa (manggar), pisang dan tebu.  Mengandung makna, bunga kelapa itu akan tumbuh bersama-sama dalam semusim. Mengandung makna semoga keluarga yang dibangun menjadi keluarga yang rukun kompak selalu.

Pada bunga manggar, biasanya ada bagian calon buah kelapa yang masih kecil, disebut CENGKIR, jarwo dhosok dari "wis tak kenCENGke piKIR" (Sudah diendapkan dalam pikiran/hati).

Ada juga  pisang yang disebut GEDHANG, jarwo dhosok dari "wis tak geGED lan tak gaDHANG-gadhang" (sudah digigit dengan geraham dan dielu-elukan dalam hati).

Ada juga TEBU, jarwo dhosok dari "wis manTEB ning jero kalBU" (telah mantap menjadi pilihan hati).  Simbol ketiganya adalah pernyataan bahwa semua telah siap lahir batin untuk mengarungi sebuah mitsaqon gholidzon (perjanjian luhur) yakni pernikahan yang berlangsung seumur hidup. Semoga dikaruniai keluarga yang rukun kompak, damai dan penuh cinta kasih.

Terlepas dari itu semua, ada hal yang wajib kita waspadai yakni, kita diserang dari dua kubu sekaligus. Dari mereka yang sekuler sejati, yang menghubungkan semuanya dengan rasionalitas. Dengan berbagai argumennya, sehingga menjadi legalitas untuk meninggalkan budaya kita atas nama modernitas dan update.

Di sisi lain, ada gerakan yang mengaku memurnikan ajaran agama serta membersihkan agama dari pengarus bid'ah syirik, khurofat, tahayyul yang ujung-ujungmnya memberangus tradisi. apapun argumennya intinya hanya satu: meniadakan tradisi lokal kita.

Dua gerakan ini memiliki pangkal gerak dan wilayah yang berbeda. memiliki cara penyampaian yang berbeda. namun, memiliki tujuan yang sama. karena itu berhati-hatilah. Bangga menjadi Indonesia.

Salam Islam Nusantara untuk Dunia.

Shuniyya Ruhama

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...