Sunday, April 1, 2018

Kita Butuh Islamisasi atau Arabisasi?



Oleh Suryono Zakka

Tulisan ini bukan bermaksud mendiskreditkan bangsa Arab dan bukan pula memuja bangsa Nusantara namun mencoba melihat bagaimana perbedaan antara Islam dengan Arab. Melihat bagaimana antara budaya dan Islam saling terkait dan perannya tidak untuk saling menjatuhkan. Arab dengan Islam, serupa tapi tak sama, beda-beda tipis atau tipis-tipis beda.

Islam muncul di Arab bukan berarti Arab lebih unggul dari segalanya. Walau tidak salah jika Allah menurunkan Islam bermula di Arab dengan segala kelebihan-kelebihannya seperti keberadaan Ka'bah yang fondasinya sudah ditanamkan oleh nabi-nabi pendahulu. Namun ada alasan lain yang justru menampakkan kemunduran bangsa Arab sehingga kemudian Islam sebagai agama terakhir memberikan banyak kritik terhadap bangsa Arab.

Bangsa Arab pra-Islam adalah bangsa Pagan yang mengalami kemerosotan pengetahuan ketuhanan. Pemahaman yang semula meyakini tentang konsep monotheisme bertuhan satu beralih menjadi politheisme bertuhan banyak. Justru semakin menampakkan kebodohan saat bangsa Arab terheran-heran dengan konsep satu Tuhan yang diperkenalkan kembali oleh kanjeng Nabi.

Bangsa Arab pra-Islam sangat rusak moralitasnya. Kerusakan sosial budaya yang akut yang sangat banyak dan tidak akan selesai untuk dibicarakan. Mulai predikat sebagai bangsa pemabuk, perjudian, prostitusi, pembunuhan bayi perempuan hingga pergundikan.

Dengan mengetahui fakta demikian maka kita tidak perlu mendewakan bangsa Arab. Budaya Arab yang baik setelah cahaya Islam menyinari sama baiknya dengan budaya Nusantara yang baik setelah cahaya Islam menerangi masyarakat Nusantara. Budaya Arab yang buruk sebelum Islam datang sama buruknya dengan budaya Nusantara yang buruk sebelum datangnya Islam.

Sebagai agama universal sekalian alam, tentu Islam akan dapat beradabtasi (adabtable) dengan budaya yang melingkupinya diluar budaya Arab. Karena Islam untuk seluruh jagat raya maka bangsa Nusantarapun menerima Islam dengan penuh suka cita, tanpa dipaksa dan tanpa peperangan.

Walau Islam menyinari dan diserap oleh bangsa Nusantara bukan berarti bangsa Nusantara harus kehilangan budaya kenusantaraannya. Identitas kenusantaraannya tidak perlu seluruhnya dihilangkan karena datangnya Islam bukan untuk menyerang dan merusak budaya, tradisi dan adat bangsa manapun.

Fungsi Islam adalah sebagai jalan damai, mengoreksi budaya yang buruk dan menerima budaya yang baik yang berasal dari budaya manapun. Karena Islam bukan budaya Arab yang tak terikat oleh ruang dan waktu. Menjadi Islam bukan berarti menjadi Arab dan menolak budaya Arab bukan berarti menolak Islam.

Mengapa Al-Qur'an berbahasa Arab? Karena Al-Qur'an diturunkan di jazirah Arab. Mengapa nabinya berasal dari bangsa Arab? Karena untuk mengoreksi dan memberikan teguran kepada bangsa Arab, diperlukan tokoh sang penyambung lidah dan komunikator tentang pesan-pesan ketuhanan. Jika Al-Qur'an diturunkan di Arab namun berbahasa Sansekerta (Jawa) tentu bangsa Arab tidak akan memahaminya. Begitupun jika yang terpilih nabinya adalah orang Jawa tentu mereka tidak akan bisa nyambung?

Akan berbeda konteksnya jika Al-Qur'an diturunkan di Jawa maka belum tentu bahasanya menggunakan bahasa Arab dan nabinya belum pasti berbangsa Arab. Jadi kitab suci dan kenabian bersifat kontekstual dan kondisional.

Ketika Al-Qur'an menggunakan narasi bahasa Arab bukan berarti Allah itu hanya mengerti bahasa Arab. Bukan berarti Allah berasal dari bangsa Arab dan bukan berarti Allah hanya untuk orang Arab. Allah adalah Tuhan semua ciptaan-Nya dan Dia boleh diakui sebagai Tuhan bangsa manapun.

Ketika Al-Qur'an membahas tentang sejarah bukan berarti sejarah yang terjadi hanya melulu sejarah kearaban. Bukan melulu sejarah bangsa Arab dan bukan berarti nabi-nabi semua berbangsa Arab. Bukan berarti kisah-kisah mereka benar-benar menggunakan dialog bahasa Arab dan tidak bermaksud medok bahasa Arab. Jadi Al-Qur'an hanya meminjam bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi sesuai konteks masyarakatnya.

Menjadi muslim Nusantara atau bangsa Ajam yang berarti bangsa non-Arab memang perlu selektif. Memilah dan memilih mana yang harus diserap, mana yang tidak harus diterima tapi boleh diserap dan mana yang harus ditolak mentah-mentah. Sebagaimana judul diatas, kita perlu membedakan antara Islamisasi dan Arabisasi.

Praktik shalat dan ibadah mahdhah misalnya, maka wajib untuk kita serap keseluruhan baik bacaan maupun gerakan. Kita tidak boleh ngarang bacaan sendiri dengan gerakan gaya sendiri suka-suka gue. Semua sudah ada tuntunannya. Dalam kondisi ini, mau tidak mau kita wajib mencontoh nabi baik bacaan maupun gerakan walau nabi bukan bangsa kita melainkan bangsa Arab.

Ada pula budaya yang boleh untuk diserap namun tidak wajib untuk dipakai. Gamis dan jenggot panjang misalnya, boleh-boleh saja dipraktikkan dalam rangka menghormati nabi sebagai bangsa Arab. Niatnya bukan semata-mata karena tergila-gila dengan budaya Arab sehingga merendahkan budaya lokal. Namun jika mantap dengan budaya sendiri. Tidak bergamis dan tidak berjenggot panjang maka juga tidak salah.

Ada pula budaya Arab yang wajib ditolak mentah-mentah sebagaimana Al-Qur'an juga memberikan kritikan kepada bangsa Arab pra-Islam. Budaya korup, rusaknya moral dan kriminalitas maka wajib ditumpas dan tidak perlu dipraktikkan oleh bangsa lain.

Dengan mengetahui perbedaan antara Islamisasi dan Arabisasi maka kita tidak perlu lagi ribut, panik dan gusar sehingga kampanye untuk menghanguskan budaya lokal. Masing-masinh budaya punya karakteritiknya sendiri dan Islam yang akan memfilternya. Budaya manapun baik budaya Arab maupun non-Arab jika bertentangan dengan Islam maka harus ditolak atau diusahakan selaras dengan ajaran Islam dan jika tidak bertentangan dengan ajaran Islam maka tidak ada alasan untuk dibumihanguskan.

Cintailah budaya manapun yang baik secara proporsional. Terlalu mencintai budaya sendiri sehingga tidak selektif memilih mana budaya yang baik dan mana yang buruk adalah kurang baik dan terlalu membenci budaya asing tanpa mengidentifikasi baik dan buruknya adalah kurang bijak.

Yang sangat dan wajib kita serap adalah nilai-nilai Islamnya. Nilai-nilai yang terkandung secara substansial dari ruh Islam bukan cover, label, merk atau sampulnya. Bahasa Arab pada Al-Qur'an adalah bungkus dan kemasan, sedangkan isinya dapat dinikmati oleh siapapun dan bangsa manapun. Isi atau substansinya tidak terkait dengan budaya manapun dan tidak bercitarasa dengan budaya tertentu sehingga isi dan substansi Islam bisa masuk dalam budaya manapun. Tidak terbatas dalam cengkeraman budaya Arab.

Menjadilah muslim yang benar, baik dan bijak karen menjadi muslim tak cukup hanya mengejar kebenaran semata. Perlu menjadi baik dan juga bijak. Mengejar kebenaran dengan cara tidak baik dan tidak bijak maka hanya menyisakan ketidakbenaran.

Dalam Islam, amar ma'ruf nahi munkar itu wajib namun juga wajib dengan cara yang ma'ruf. Amar ma'ruf nahi munkar dengan cara yang tidak ma'ruf maka hanya akan membawa kepada kemungkaran. Kaidahnya, dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih yakni mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengejar kebaikan atau nilai positif.

Cita-cita baik harus diimbangi dengan strategi dan kemampuan. Jika belum kuasa mwngatur strategi dan belum memiliki kemampuan maka urunhkanlah cita-cita yang baik tersebut.

Mari cintai budaya kita sendiri dengan tidak membenci budaya bangsa lain. Budaya Arab dan budaya Barat sama-sama bangsa asing yang perlu kita respon secara selektif. Bedanya hanya terletak pada konotasinya. Jika Arab identik dan berkonotasi baik seolah-olah (hanya seolah-olah yang bukan berarti sesungguhnya) semuanya mengandung nilai Islami dan budaya Barat berkonotasi negatif seolah-olah (bukan sejatinya) semuanya buruk dan jauh dari nilai Islami.

Ambillah yang baik dan buanglah yang buruk darimana saja berada. Ulama pun telah mengajarkan kita tentang prinsip budaya yakni al-muhafadzatu 'alal qadimisshalih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Merawat dan mencintai sesuatu yang lama yang memberi kemanfaatan dan mengambil sesuatu yang mutakhir untuk pembaruan yang lebih baik. Sayangnya, diantara kita justru terjebak dengan hal-hal yang baru. Sayang dengan teman yang baru dan melupakan bahkan membuang teman yang lama. Sungguh terlalu.






No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...