Tuesday, April 10, 2018

Melihat Tanda Kebesaran Allah dalam Peristiwa Isra' dan Mi'raj


Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam seorang rasul yang diutus Allah sebagai seorang dai, yaitu orang yang menyeru dan mengajak umat manusia agar menuju kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Ajakan atau seruan itu disebut “dakwah”, suatu istilah yang dikenal luas dikalangan masyarakat. Disebut dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا،  وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (QS. al-Ahzab, 33: 45-46)

Sebagai seorang Rasul dan dai, Nabi besar Muhammad dibekali oleh Allah dengan petunjuk-petunjuk kebenaran yang mengantarkan umat manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Petunjuk kebenaran itu adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang kita jadikan sebagai pedoman dalam segala kehidupan. Selain dibekali dengan wahyu Ilahi berupa Al-Qur’an, Nabi dibekali juga dengan berbagai pengalaman kehidupan dan berbagai mukjizat atau keistemewaan. Sebagian dari mukjizat-mukjizat beliau adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang senantiasa kita peringati.

Isra’ pengertiannya menurut etimologi adalah perjalanan malam, sedangkan Mi’raj adalah naik ke atas dengan tangga. Yang dimaksud dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad adalah diperjalankannya Nabi Muhammad oleh Allah di malam hari dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Yerussalem). Sedangkan Mi’raj adalah dinaikkannya Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha (suatu tempat ghaib yang tidak mungkin ditangkap oleh pancaindra). Peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, merupakan peristiwa yang luar biasa, yang hanya dapat dipercaya oleh mereka yang beriman, karena peristiwa itu berada di luar jangkauan kemampuan akal manusia. Karena itu dalam Al-Qur’an ayat yang menjelaskan Isra’ dan Mi’raj dimulai dengan lafadz “subhâna”, yang artinya Maha Suci Allah. Kalimat itu biasa digunakan dalam bahasa Al-Qur’an untuk menyebutkan hal-hal yang luar biasa dan sangat menakjubkan. Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini Nabi Muhammad dilepaskan dari hukum alam dengan kehendak Allah .

Untuk mempelajari dengan jelas, marilah kita memperhatikan salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan peristiwa ini, yaitu:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Isra’, 17:1)

Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa di antara tujuan dari Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad adalah Allah memperlihatkan kepadanya (Nabi Muhammad ) tanda-tanda kebesaran dan keagungan-Nya. Karena itu dalam peristiwa tersebut Nabi Muhammad melihat berbagai macam tanda-tanda keagungan Allah dalam alam semesta ini, termasuk segala rahasia-rahasia angkasa luar dan rahasia-rahasia alam ghaib. Disertai juga dengan pengalaman-pengalaman pribadi dan pengalaman rohani dengan berjumpa Nabi-Nabi terdahulu seperti Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa.

Di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan yang diperlihatkan kepada beliau terdapat pelajaran-pelajaran bagi kehidupan umat manusia. Agar mereka dapat membentuk dirinya menjadi manusia yang bertakwa, gemar berbuat baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela.

Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 27 Rajab, menjelang Nabi hijrah ke Madinah, sekitar tahun 621 M (usia + 51-52). Ada hal yang sangat penting bagi semua umat Islam, yaitu ditugaskannya Nabi Muhammad dan umatnya untuk mengerjakan shalat lima waktu. Perintah itu adalah perintah yang langsung dari Allah . Karena itu dalam memperingati Isra’ Mi’raj ini, marilah kita meningkatkan shalat kita dengan sebaik-baiknya. Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah Dua Kalimah Syahadat, yang diperintahkan berkali-kali dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka yang mengerjakan shalat dengan khusyu’ serta diikuti dengan gerakan-gerakan kejiwaan akan dapat mencegah dirinya dari perbuatan-perbuatan yang keji dan munkar. Begitu besarnya pengaruh shalat dalam perkembangan kejiwaan seseorang sehingga dapat mengantarkan pada terbentuknya insan kamil. Imam al-Munawi dalam “Faidhul Qodir” menyebutnya: “al-Shalatu Mi’raj al- Mu’minin”, shalat itu merupakan mi’rajnya orang-orang mukmin.

Allah secara berulang kali memerintahkan kepada kita agar mengerjakan shalat dengan baik, memperhatikan syarat dan rukunnya, serta ketentuan-ketentuan lain yang diajarkan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Banyak sekali hikmah dan mafaat yang diperoleh orang-orang yang mengerjakan shalat, disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain: (1) Mereka yang mengerjakan shalat secara khusyu’, sesuai denga tuntunan Al-Qur’an dan al-Sunnah, akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akhirat. dijelaskan dalam Al-Qur’an:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sholatnya”. (QS. al-Mu’minun, 23: 1-2).

Selain mengerjakan shalat yang khusyu’, mereka juga meninggalkan segala sesuatu yang bersifat sia-sia dan tidak berfaidah bagi dirinya, maupun bagi orang lain. Mereka menunaikan zakat, baik zakat fitrah, maupun zakat mal, yang ketentuannya telah ditetapkan dan diatur oleh tuntunan Rasulullah . Allah berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS. al-Mu’minun, 23: 3-4).

Mereka yang mendapat kebahagian dan kemuliaan, sebagaimana disebutkan di atas, juga harus mampu mengendalikan dorongan seksualnya. Tidak melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya. Libido seksual hanya disalurkan kepada istri yang sah, sesuai dengan ketentuan syariat.

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ، إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ، فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,  Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. al-Mu’minun, 23: 5-7).

Bagi mereka yang tidak bisa mengendalikan libido seksualnya, sehingga melakukan perzinahan atau melakukan deviasi seksual (kelainan seks), seperti homo seksual, lesbian, sodomi, dan deviasi lainnya, termasuk orang-orang yang berdosa sangat besar dan melakukan kesalahan yang melampaui batas.

Selanjutnya, meraka yang melaksanakan shalat dengan khusyu’, akan mewarisi surga firdaus, yaitu mereka yang menjaga amanat dan janjinya, yang disampaikan kepada mereka, dan menjaga serta melestarikan shalatnya dengan baik.

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ، أُولَٰئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ، الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang ditugaskan kepadanya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya”. (QS. al-Mu’minun, 23: 8-11).

Hikmah berikutnya (2) bahwa orang yang mengerjakan shalat akan terhindar dari sikap keluh kesah, resah, gelisah dan terhindar dari kegoncangan jiwa. Yaitu. Mereka yang terus menerus melestarikan shalatnya. Mereka juga menginfakkan sebagian hartanya kepada mereka yang miskin, baik mereka yang meminta, ataupun orang-orang miskin yang memiliki harga diri, sehingga mereka tidak mau meminta atau mengemis kepada orang lain. Orang miskin dalam kategori ini, harus mendapat perhatian yang lebih dari kaum muslimin. Mereka juga mempercayai hari pembalasan.

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا، إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا، وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا، إِلَّا الْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ، وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ، لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ، وَالَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan”. (QS. al-Ma’arij, 70: 19-26).

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...