Tuesday, April 10, 2018

Benarkah Cium Tangan Orang Shalih adalah Bid'ah dan Musyrik?


Belakangan kelompok yang mengaku membawa jargon Kembali Ke Al Quran Dan Sunnah  “basmi TBC” semakin menyebar di masyarakat kita.

Mereka tidak sadar, sebenarnya meraka sendiri yang terkena “TBC”. Label mereka “Salafiyyah”, padahal sebenarnya mereka “Talafiyyah” (kaum perusak).

Di antara masalah yang mereka pandang sebagai bid’ah sesat, bahkan sebagian mereka menyebutnya sebagai perbuatan syirik, adalah masalah “cium tangan”.

Tanpa alasan yang jelas mereka mengatakan bahwa mencium tangan seseorang adalah perbuatan bid’ah, bahkan mendekati syirik. A’udzu Billah.

Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara mustahabb (sunnah) yang disukai Allah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para sahabat berikut ini. Di antaranya;

Hadits riwayat al-Imam at-Tirmidzi dan lainnya, bahwa ada dua orang Yahudi sepakat menghadap Rasulullah. Salah seorang dari mereka berkata:

“Mari kita pergi menghadap -orang yang mengaku- Nabi ini untuk menanyainya tentang
sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa”.

Tujuan kedua orang Yahudi ini adalah hendak mencari kelemahan Rasulullah, karena beliau adalah seorang yang Ummi (tidak membaca dan tidak menulis). Mereka menganggap bahwa Rasulullah tidak mengetahui tentang sembilan ayat tersebut.

Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullah dan menanyakan prihal sembilan ayat yang diturunkan kepada Nabi Musa tersebut, maka Rasulullah menjelaskan kepada keduanya secara rinci tidak kurang suatu apapun.

Kedua orang Yahudi ini sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan penjelasan Rasulullah. Kedua orang Yahudi ini kemudian langsung mencium kedua tangan Rasulullah dan kakinya.

📖 Al-Imam at-Tarmidzi berkata bahwa kulitas hadits ini Hasan Shahih

(Lihat Jami’ at-Tirmidzi, Kitab al-Isti’dzan, Bab Ma Ja’a Fi Qublah al-Yad Wa ar-Rijl).

Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari sahabat Ka’ab ibn Malik,
bahwa ia berkata:

“Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua lututnya”

📖 Lihat ad-Durr al-Mantsur, j.4, h. 314

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib telah mencium tangan al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththalib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali lebih tinggi derajatnya dari pada al-‘Abbas.

Namun karena al-‘Abbas adalah pamannya sendiri dan seorang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya tersebut

📖 Lihat al-Adab al-Mufrad, h. 328

Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, salah seorang dari kalangan sahabat yang masih muda ketika Rasulullah meninggal.

‘Abdullah ibn ‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka.

Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya.

Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas
memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit.

‘Abdullah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga Rasulullah. Zaid ibn Tsabit berkata:

“Seperti inilah kami memperlakukan keluarga Rasulullah”.

Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas.

Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu
Bakar ibn al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.

Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam kitab Thabaqat dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi, bahwa ia berkata:

 “Kami telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata:

“Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya”

📖 Lihat Thabaqat Ibn Sa’d, j. 4, h. 229

Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa al-Imam Muslim
mencium tangan al-Imam al-Bukhari. Al-Imam Muslim berkata kepadanya:

ﻭَﻟَﻮْ ﺃَﺫِﻧْﺖَ ﻟِﻲْ ﻟَﻘَﺒَّﻠْﺖُ ﺭِﺟْﻠَﻚَ .

“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”

📖 Lihat at-Taqyid Li Ma’rifah as-Sunan Wa al-Masanid, h. 33

Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:

“Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz penuh.

Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di
masa Rasulullah, beliau berkata:

ﻓَﺪَﻧَﻮْﻧَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻘَﺒَّﻠْﻨَﺎ ﻳَﺪَﻩُ ﻭَﺭِﺟْﻠَﻪُ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ )

“Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan kakinya”.

📖 HR. Abu Dawud

Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi
berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad).

Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini
disebutkan:

ﻓَﻘَﺒَّﻼَ ﻳَﺪَﻩُ ﻭَﺭِﺟْﻠَﻪُ ﻭَﻗَﺎﻻَ : ﻧَﺸْـﻬَﺪُ ﺃَﻧَّﻚَ ﻧَﺒِﻲٌّ .

“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”. Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan

(al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud)
dengan sanad yang kuat.

Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk rombongan utusan ‘Abd al-Qais,
bahwa ia berkata:

ﻓَﺠَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻧَﺘَﺒَﺎﺩَﺭُ ﻣِﻦْ ﺭَﻭَﺍﺣِﻠِﻨَﺎ ﻓَﻨُﻘَﺒِّﻞُ ﻳَﺪَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ .

“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan
Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”.

(HR. Abu Dawud)

Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa as-
Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar
berkata kepadaku:

ﻗُﻮْﻣِﻲْ ﻓَﻘَﺒِّﻠِﻲْ ﺭَﺃْﺳَﻪُ .

“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullah)”.
(HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, j. 23, h. 108-114). Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)

dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:

ﻣَﺎ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺃَﺣَﺪًﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﺷْﺒَﻪَ ﺳُﻤْﺘًﺎ ﻭَﻫَﺪْﻳَﺎ ﻭَﺩَﻻًّ ﺑِﺮَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﻓَﺎﻃِﻤَﺔَ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﺧَﻠَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻗَﺎﻡَ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻓَﺄَﺧَﺬَ ﺑِﻴَﺪِﻫَﺎ ﻓَﻘَﺒَّﻠَﻬَﺎ
ﻭَﺃَﺟْﻠَﺴَﻬَﺎ ﻓِﻲْ ﻣَﺠْﻠِﺴِﻪِ، ﻭَﻛَﺎﻧَﺖْ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻗَﺎﻣَﺖْ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻓَﺄَﺧَﺬَﺕْ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﻘَﺒَّﻠَﺘْﻪُ، ﻭَﺃَﺟْﻠَﺴَﺘْﻪُ ﻓِﻲْ ﻣَﺠْﻠِﺴِﻬَﺎ .

“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya.

Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu
mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau.

Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan
Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau
duduk di tempatnya”.

Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.

Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan.

Membongkar Salah Paham Wahabi

Hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati.

Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat.

Dengan demikian, Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.

Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia
menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:

ﻣَﻦْ ﺃَﺣَﺐَّ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻤَﺜَّﻞَ ﻟَﻪُ ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ ﻓَﻠْﻴَﺘَﺒَﻮَّﺃْ ﻣَﻘْﻌَﺪَﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ) ﺭَﻭَﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩَﺍﻭُﺩ ﻭﺍﻟﺘّﺮﻣﺬﻱّ )

berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka.

Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul;

artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam
bahasa Arab.

Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits

(Ibn Hibban meriwayatkannya dalam Kitab adl-Dlu’afa’, j. 2, h. 51, al-Hafizh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir menganggapnya dla’if.

Demikian pula dinyatakan dla’if oleh al-Hafizh al-‘Iraqi, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh Ibn Hajar, dan lainnya. Bahkan al-Hafizh Ibn al-Jauzi mengklaimnya sebagai hadits Maudlu’.

📖 Lihat al-Maudlu’at, j. 3, h. 46-47).

Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits dla’if ini
dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan.

Bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!?

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...