Tuesday, August 7, 2018

Kriteria Memilih Pemimpin Menurut Aswaja-NU


Nahdlatul Ulama, setiap berijtima’ dalam soal kepemimpinan selalu membincang soal kriteria. Misalnya, pemimpin yang ideal dengan beberapa kriteria yang telah disepakati berdasarkan beberapa pertimbangan. Termasuk pertimbangan agama, tentunya. Ini karena para ulama NU sepenuhnya menyadari, dengan hanya menetapkan kriteria maka semua warga negara yang memenuhi kriteria berhak menjadi pemimpin. Dan juga dengan kesadaran sepenuhnya bahwa tidak ada satu pun orang yang terbebas dari kekurangan dan cela. Dengan menunjuk sosok, alih-alih kriteria, maka kita akan meletakkan seseorang lebih di atas yang lain. Bisa jadi menganggap sosok itu tanpa cela sama sekali.

Hal itu juga selaras dengan yang dilakukan oleh para ulama-ulama salaf. Imam al Mawardi dalam al Ahkam al Sulthaniyah, misalnya. Memberikan kriteria pemimpin yang ideal menurutnya. Setidaknya ada 7 kriteria pemimpin dalam pandangan al Mawardi. Yaitu:
1. Rasa keadilan (‘adalah);
2. Pengetahuan (‘ilm);
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
4. Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;
5. Berwawasan luas dalam hal administrasi negara
6. Punya keberanian untuk melindungi wilayah Islam dan melaksanakan jihad;
7. Punya garis keturunan dari Quraisy

Kemudian, Al Ghazali juga mengemukakan kriteria pemimpin dalam sudut pandang dan penafsirannya atas beberapa teks agama. Syarat pemimpin menurut Abul Hamid al Ghazali adalah:
1. Baligh;
2. Berakal (tidak gila);
3. Merdeka (bukan budak);
4. Lelaki;
5. Keturunan suku Quraisy;
6. Sehat panca indera;
7. Keberanian untuk perang;
8. Punya kompetensi (kifayah);
9. Punya pengetahuan;
10. Wara’.

Masih menurut al Ghazali, akar keadilan pemimpin bersumber dari 10 hal, yakni:. 1). Tahu manfaat dan bahaya kekuasaan. 2). Selalu rindu nasehat ulama, jadi andai ada pemimpin mengundang ulama, jangan selalu anggap pencitraan. Begitupun ketika ulama hadir di Istana dalam rangka tawashau bil haq, jangan selalu disalah fahami. 3). Tidak terima dengan segala bentuk kezaliman. 4). Tidak sombong. 5). Empati terhadap rakyat. Empati ini penting. Bagi yang tak punya empati, bahkan bencana rakyat akan menjadi senjata dan komoditas politik belaka. 6). Tidak pernah meremehkan kebutuhan rakyat. Jadi kalau ada kelangkaan makanan, jangan rakyat disalahkan. Atau malah jika ada kelangkaan telur, rakyat disuruh bertelur. 7). Hidup sederhana. Ini juga tak kalah penting. Tunjukkan sikap dan gaya hidup sederhana. Janganlah kemana-mana dengan pakaian bagus, mobil mewah tapi malah minta sumbangan kepada rakyat. Rakyat butuh contoh, butuh teladan. 8). Lemah lembut kepada siapa saja. 9). Membahagiakan rakyat dengan hal-hal yang tak melanggar agama. Dan terakhir. 10). Tidak menjual agama untuk mendapatkan simpati rakyat. Menjual agama itu diantaranya adalah menggunakan isu-isu agama untuk menarik simpati.

Ibnu Khaldun pun tak kalah mengemukakan kriterianya tentang pemimpin. Dalam kitabnya, Muqadimah, Ibnu Khaldun menuliskan kriteria pemimpin sebagai berikut:
1. Berilmu
2. Adil
3. Kompeten
4. Sehat panca indera
5. Memiliki sifat suku quraisy

Nah, diantara kebaikan ketika mengemukakan kriteria pemimpin (bukan sosok) adalah kriteria mudah diterima dan semua berhak mengemukakan sosok. Bukankah sedemikian fungsi ulama, “momong” tapi juga meluruskan. Kriteria juga memberikan umat pilihan untuk berimprovisasi, sehingga semua berhak mengajukan calon. Dengan begini, ulama mendudukkan semua selaras. Sekali lagi, tak ada yang tanpa cacat dan tak ada yang tanpa kebaikan sama sekali. Tak ada yang makshum, selain para rasul. Dengan penyebutan kriteria akan memunculkan perlombaan kebaikan, sementara pemunculan sosok berpotensi menimbulkan friksi, gejolak.

Ulama juga tidak harus menempatkan dirinya vis a vis dengan pemerintah untuk menjadikan dirinya kredibel. Al Ghazali membela pemimpinnya, al Mustahdhir Billah dari kritikan golongan batiniyah dengan menerbitkan karangan, Fada’ih al-Batiniyyah wa Fada’il al-Mustazhiriyyah atau yang disebut sebagai kitab Mustazhiriyah. Tentu kitab tak bisa menyangkal kredibilitas al Ghazali dan menganggapnya ulama su’, hubbud dunya hanya karena kedekatan dengan pemimpin. Kedekatan dengan pemimpin, hanya harus tidak menggoyahkan semangatnya untuk tetap tawashau bil haq, menasehati demi kebaikan dengan cara yang baik. Tidak pula dengan mengkritik keras dan menjauhi pemimpin, menjadikan ulama tersebut otomatis kredibel. Bukankah Khawarij dulu juga berisi ulama yang menentang keras Ali, tapi tidak lantas khawarij benar dan sayyidina Ammar bin Yasir yang membela Ali salah bukan?.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...