Monday, September 3, 2018

Benarkah Makan Daging Onta Membatalkan Wudhu?


Oleh Ustadz Musa Muhammad

Dalam bahasan ilmu fiqih tentang wudhu, para ulama juga membahas pembatal² wudhu. Di antara perkara yg membatalkan wudhu yg dibahas itu ada yg disepakati bahwa perkara itu membatalkan wudhu dan ada perkara yg masih diperselisihkan oleh mereka apakah membatalkan wudhu atau tidak.

Di antara yg para ulama masih berbeda pendapat mengenai apakah perkara itu membatalkal wudhu atau tidak adalah: Apakah memakan daging unta membatalkan wudhu orang yg memakannya atau tidak? Banyak para fuqafa (bc- ahli fiqh) tidak mau menjalankan isi Hadis yg nyata² merupakan Hadis sahih? Bisa jadi Hadis yg dimaksud itu ternyata dalam pandangan ahli fiqh sudah dimansukh oleh Hadis lainnya.

Contoh hadis sahih yg diriwayatkan oleh Imam Muslim :

عن جابر بن سمرة رضي الله عنه
( “أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم أأتوضأ من لحوم الغنم؟ قال إن شئت فتوضأ وإن شئت فلا توضأ قال أتوضأ من لحوم الإبل؟ قال نعم فتوضأ من لحوم الإبل”

Dari Jabir bin Samrah (semoga Allah meridhainya) bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah. “Apakah kami harus berwudhu setelah makan daging kambing?” Rasulullah menjawab, “Jika kau mau, silakan berwudhu. Dan jika kau mau, tidak usah berwudhu”. Lalu orang itu bertanya lagi, “Apakah kami (harus) berwudhu setelah makan daging unta?” Rasulullah menjawab, “Ya, berwudhulah setelah (makan) daging unta”.

bahwa setelah memakan daging unta Nabi menyuruh kita berwudhu kembali kalau hendak shalat. Ini mengindikasikan bahwa memakan daging unta itu membatalkan wudhu.”

Imam Ahmad (pengagas Madzhab Hambaliyyah) dan beliau meriwayatkan Hadis senada mengenai keharusan berwudhu setelah mengonsumsi daging unta. Tetapi beliau juga mencantumkan dalam kitabnya Musnad Ahmad bahwa Siti Aisyah menceritakan Nabi makan daging unta dari panci di rumahnya dan tanpa wudhu lagi Nabi langsung shalat.”

Bertentangankah? Inilah kejujuran ilmiah. Riwayat yg berbeda tetap dicantumkan dalam kitabnya, meksipun beliau sendiri berpegang pada Hadis lain yg berkebalikan dengan kisah Siti Aisyah.

Hadits lain yang dijadikan argumentasi diriwayatkan ibnu Majjah dari sahabat Al Bara bin ‘Azib, beliau berkata:

سئل رسول الله - صلى الله عليه وسلم - عن الوضوء من لحوم الإبل، فقال: توضؤوا منها

”Rasulullah ditanya tentang berwudhu dari makan daging unta, beliau menjawab: berwudhulah dari memakannya”
(Hr bnu Majah).

Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya saat beliau di Baghdad juga berpendapat batalnya wudhu akibat makan daging unta. Namun saat beliau pindah ke Mesir, beliau mengubah pendapatnya dan bergabung bersama pendapat mazhab Hanafi dan Maliki yg menyatakan tidak batal makan daging unta. Bahkan diriwayatkan khulafa alrasyidin pun tidak mengulang berwudhu setelah makan daging unta. Jadi lebih banyak yg berpandangan tidak batal.

Namun dalam fiqh, kebenaran itu tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah pendukung, sebagaimana postingan di facebook tidak otomatis jadi benar gara-gara banyak yg like. Kebenaran ditentukan oleh kekuatan argumen dan dalil.

Ketiga mazhab di atas bukannya tidak menjalankan isi Hadis sahih di atas, tapi mereka berpegang pada Hadis sahih lainnya :

كان آخر الأمرين من رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ترك الوضوء مما مست النار

“perkara terakhir dari Rasulullah saw mengenai memakan sesuatu yg bersentuhan dengan api adalah tidak wajib berwudhu karena memakan yg bersentuhan api tersebut”

Dalam riwayat Abu Daud dan An Nasa’i
Jelas kan, para ulama fiqh tidak menafikan hadis Sahih. Mereka paham kok.
Tapi bukankah status Sahih Muslim lebih tinggi daripada Sunan Abu Dawud dan Nasa’i? Secara umum benar, tapi para ulama akan meneliti satu per satu Hadisnya dan tidak serta merta menganggap semua Hadis dalam Sahih Muslim itu lebih tinggi dibanding yg lain.

Apalagi riwayat Abu Dawud itu didukung Hadis lainnya seperti dari Imam Ad Daruquthni dalam kitab sunannya dari Ibnu Abbas :

الوضوء مما يخرج وليس مما يدخل

“Wudhu itu (dilakukan karena) ada sesuatu yg keluar (dari dalam tubuh) dan bukan karena sesuatu yg masuk”

Gimana? Masuk akal juga kan?
Ada juga ulama yg mengatakan bahwa yg dimaksud berwudhu dalam hadis riwayat Muslim itu maksudnya makna harfiahnya yaitu cuci tangan dan mulut setelah makan daging unta, bukan berwudhu dalam makna ritual. Nah, sampai di sini makin seru kan karena apa yg dimaksud dalam sebuah hadis pun bisa dipahami berbeda-beda termasuk dari aspek kebahasaan.

Imam Nawawi mufti fatwa mazhab Syafiyyah punya pendapat yg berbeda dengan qaul jadidnya Imam Syafi’i (pendapat Safei di Mesir). Dalam Syarh Sahih Muslim, beliau berpandangan yg lebih kuat itu adalah harus berwudhu setelah makan daging unta. Karena kalau alasannya hadis riwayat Muslim telah dimansukh oleh Hadis Abu Dawud, maka itu bertentangan dengan kaidah karena tidak bisa dalil' am menghapus ketentuan dalil khas.

Imam Nawawi mulai berargumen dengan kaidah fiqh tidak lagi berpatokan pada status atau kekuatan hadis. Itulah sebabnya membaca kitab Hadis saja tidak cukup untuk kita ber-istinbath, kita juga harus paham kaidah fiqh dan kaidah ushul. Seru kan diskusi para ulama klasik itu? Lebih seru lagi Imam Nawawi gak sungkan tuh berbeda pandangan dengan pendiri mazhabnya.

Ulama yg mengatakan tidak batal wudhu karena makan unta punya kisah menarik. Sebenarnya konteks dalam hadis Muslim di atas seperti ini: Suatu saat setelah menghdiri jamuan makan malam dengan daging unta, Nabi dan para sahabat mau shalat, terciumlah bau kentut. Nabi menunggu siapa sahabat yg akan mengulang wudhunya, tapi tidak ada yg keluar dari barisan jamaah shalat. Mungkin karena malu. Lantas untuk menutupi aib orang itu, Nabi mengatakan, “Siapa yang tadi makan daging unta? Ayo kita wudhu lagi semua.

Inilah ketinggian akhlak Nabi yg tidak mau membuka aib orang lain. Kalau benar kisahnya seperti itu, maka sebenarnya apa yg tercantum dalam hadis Muslim itu bukan hadis hukum hanya moral saja. Para sahabat dan khulafa rasyidin dan penduduk Madinah paham konteks moral pernyataan Rasul, itu sebabnya mayoritas sahabat termasuk tabi’in spt Imam Malik yg tinggal di Madinah dan menggunakan tradisi penduduk Madinah sebagai salah satu rujukan beliau berfatwa ternyata tidak mengatakan makan daging unta batal wudhunya.

Kisah diatas ada dasarnya, yaitu riwayat dari Mujahid yg dicantumkan oleh Ibn Asakir (ulama besar mazhab Syafi’i), dan juga riwayat senada yg melibatkan Ibn Abbas dan Umar dalam konteks yg mirip diriwayatkan oleh Thabrani.

Tapi gimana ada yg menganggap kisah² tersebut hadis mursal dan hadis mauqufz dianggap dhaif oleh albani yg mati th 1999 tokoh wahabi khibar heee....tokoh Wahabi ini mengatakan bahwa kisah di atas tidak ada asalnya dan tidak terdapat dalam kitab2² hadis, fiqh maupun tafsir. “Itu kisah batil”, kata albani heee.... utsaimin tokoh Wahabi yg hidup sejaman dengan albani bilang bahwa itu semua rekaan saja. Tidak penting untuk tahu apa hikmahnya, pokoknya kata Nabi seperti itu ya lakukan saja ???

Bagaimana dengan orang Indonesia? Alhamdulillah masih banyak yg itibba pd ulama² madzhab dibanding yg taklid pd tokoh² wahabi.

Baca: Doa Wirid Agar Terhindar dari Bencana

Apa relevansinya hadist² diatas dgn kita yg nga makan danging unta ?
Hee kita sih aman² saja. Kita kan bukan Islam arab yg doyan makan daging unta. Kita Islam nusantara yg makan rendang, sayur kangkungz lele bakar, ayam geprek, ayam lpas dll... Dengan demikian, memakan makanan Islam Nusantara tidak membatalkan wudhu kita.
Wallahu a'lam.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...