Tuesday, September 4, 2018

Khilafah antara Hidup dan Mati


Muslim moderat Se-Nusantara boleh blingsatan meladeni ajakan debat kusir soal ini barang; tapi tidak Nahdliyin. Nahdliyin hanya perlu sodorkan Fatwa menolak khilafah dari Nahdhlotul Ulama, sedjak 1954.

Para kyai pesantren sudah menolak format khilafah sedjak pendirian NU tahun 1926. Waktu itu ada dibentuk Central Comite Chilafah (CCC) oleh gabungan organisasi seperti Syarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan lain-lain. Tapi para Kyai pesantren ndak ikut ngurusi komite itu; melainkan bikin komite sendiri yaitu Komite Hijaz. Komite inilah yang menjadi cikal-bakal Nahdlotul Ulama.
Tujuan awalnya memang cuma buat mengirim utusan ke Hijaz alias wilayah Mekah dan Madinah, untuk menego kebijakan Bani Saud dalam Muktamar Khilafah di Mekah, untuk lebih mengakomodir mazhab 4, mengurangi monopoli mazhab Wahabi. Seiring perjalanannya NU kemudian menjadi jam'iyah yang paling aktif menolak gagasan khilafah di Indonesia.

Sikap NU terhadap ideolohi khilafah disampaikan secara konkrit dan eksplisit oleh Kyai *Wahab Chasbullah* pada tahun 1954, lewat fatwanya saat berpidato di hadapan DPR, yang berjudul "Waliyyul Amri Bissyaukah".
Fatwa Mbah Wahab menyatakan bahwa opsi imamah tidak bisa diambil di zaman akhir ini, berhubung tidak terpenuhinya syarat-syarat imamah.

Syarat paling utama, seorang Imam A'zhom atau Imam Besar haruslah seorang dengan pengetahuan agama yang mencapai level Mujtahid Muthlaq. Orang seperti itu tidak ada di tahun 1954. Apalagi sekarang, lebih blangsak lagi. Atas ketiadaan calon Khalifah dengan kriteria mujtahid mutlak itu, maka wajib atas umat mengangkat imam-imam darurat, alias Imam Dhoruri; yaitu para pemimpin negara yang dipilih berdasarkan kesepakatan seluruh warga negara. Maka saat itu NU memberi gelar "Waliyyul Amri adh-Dhoruri bis-Syaukah" kepada Bung Karno; "pemimpin darurat yang harus dipatuhi".

Jadi bukan sistemnya dulu yang dibikin, melainkan orangnya dulu yang dicari. Siapa orangnya, si calon Khalifah itu? Datangkan dia, uji pengetahuan agamanya, sudah sampai level mana, kalau semua ulama sekujur bumi sudah puas terhadapnya, barulah orang itu didaulat menjadi Imam Besar umat muslim sedunia. Di situ khilafah otomatis tegak; karena segenap umat ikhlas kepada orang itu.

Apa persisnya ukuran mujtahid mutlak? Contoh konkritnya para imam mazhab dan ulama salafush-sholihin. Mereka ini berjilid-jilid kitab yang ditulisnya, bukan berjilid-jilid demonya. Bukan cuma nulis tesis sebiji itupun salah semua isinya.

Ukuran mujtahid juga bukan cuma tingkat pengetahuan, tapi juga pengamalan. Seorang mujtahid adalah wujud rahmatan lil 'alamin, seorang pewaris sejati akhlak Rasulullah SAW. Mirip kriteria habib : seorang yang dikasihi umat.

Pendeknya, kalau masih ada diantara kaum muslimin yang mencerca orang itu, maka dia belum mujtahid. Karena seorang mujtahid mutlak berada di dalam lindungan Allah. Tidaklah seorang bani Adam mampu menggerakkan lidahnya mencerca orang itu, karena Allahu Muqollibul Quluub niscaya membolak-balik hatinya, mengurungkan niatnya. 

Dilemanya begini : kalau memang ada di zaman akhir ini seorang mujtahid mutlak, maka sikap tawadhu'nya akan lebih mendominasi daripada keinginannya memimpin umat. Maka orang itu insyaAllah bakal menolak ditunjuk menjadi khalifah. Kalau ndak ada yang nunjuk lalu ngaku-ngaku sendiri sebagai khalifah, macam Abubakar al-Baghdadi dulu itu, ya preketek.

Lebih-lebih kalau khilafahnya mau dipusatkan di Indonesia, dengan calon khalifah orang Indonesia. Ya mbelgedes.

Sebab syarat khalifah itu bukan cuma harus mujtahid mutlak saja. Dia harus keturunan dari nasab suku Quraish, suku Rasulullah Muhammad SAW. Dalam tubuh NU banyak Habaib sedemikian, namun seperti disebut di atas, dilemanya beliau sekalian sikap tawadhu'nya melebihi hasrat memimpin umat.
Inilah justru Habaib sejati. Bukan habib jadi-jadian hasil perkosaan TKW oleh majikan sembarang Arab badui yang ndak jelas sanadnya.

Jadi bagi Nahdliyin, gampang sekali kita menolak khilafahnya HTI yang dibangkitkan lagi oleh PKS itu. Nyatakan saja bahwa kita sami'na watho'na kepada fatwa 1954 dari Mbah Yai Wahab Chasbullah seperti diuraikan di atas. Kalau mau mementahkan fatwa itu, silahkan bawa ke sini calon khalifahnya, supaya kita uji dulu jalur nasabnya, sanad keilmuannya, amaliahnya. Beres.

Ndak perlu ladeni rengekan mereka buat mbahas definisi lah, dolal-dalil lah, Turki Asmuni lah, dan segala macam gimmick yang malah ikut membantu mendongkrak eksistensi mereka.

Sebab Hizbut Tahrir itu nggaji kadernya hanya untuk eksis belaka. Tidak perlu menang debat; sepanjang debatnya diladeni, biar kalah pun mereka tetap dapat fulus.

Lagipula rengekan balita kan tidak selalu harus dituruti. Sebagai kakak sulung, Nahdliyin harus tau kapan waktunya sabar mendengar, dan kapan waktunya tidak ambil pusing. Kalau si dedek teriak-teriak, ya tutup kuping saja pake headset. Kalau teriaknya mengganggu tetangga, ya tempeleng saja. Ndak usah pake peringatan segala macam. Langsung mak sepluok, wis. Masih rewel? Barangkali belum mimik susu. Sumpel mulutnya pake pentil bekantan.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...