Thursday, September 13, 2018

Menguji Kewalian Gus Miek


Membincang ihwal sosok Gus Miek seakan tidak bisa terlepas dari aura kewaliannya yang begitu terpancar, penuh misteri dan nyentrik. Perilakunya yang khariqul ‘adah, cara dakwahnya yang tidak sama dengan ulama-ulama lainnya, membuat jalan dakwah Gus Miek tidak hanya terbatas pada kaum santri, lebih dari itu kalangan selebriti, orang-orang pinggiran dan bahkan para pecinta gemerlap dunia malam pun tidak lepas dari sentuhan dakwahnya.

Gus Miek kecil lahir dari pasangan KH. Djazuli Ustman dan Nyai Rodhiyah tepat pada tanggal 17 Agustus 1940 di desa Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur. KH. Djazuli pun memberi nama Hamim Tohari Djazuli kepada putra ketiganya itu, yang kemudian lebih sering dipanggil Amiek atau Gus Miek lantaran saudara-saudaranya yang juga masih kecil belum fasih memanggil nama Hamim.

Selama mengandung Gus Miek, Nyai Rodhiyah banyak mengalami peristiwa-peristiwa dan mimpi-mimpi yang luar biasa yang belum pernah ia alami semasa mengandung putra-putra sebelumnya. Sebagaimana keyakinan ulama’ terdahulu bahwa mimpi pada saat-saat tertentu memiliki arti penting dan bisa dijadikan isyarat karena merupakan ilham yang dikaruniakan Allah melalui jalan mimipi.

Konon, ketika melahirkan Gus Miek, Sang Ibu menerima tamu tak dikenal yang menyerahkan gabah (padi) yang sangat banyak untuk persiapan menyambut kelahiran Gus Miek. Jika dirunut ke masa berikutnya, banyak orang di sekeliling Gus Miek yang rela menyerahkan harta bendanya kepada Gus Miek, entah sebatas pemberian biasa atau dengan mengharap berkah darinya, tapi tak semua pemberian itu diterima oleh Gus Miek.

Banyak kalangan Ulama yang menyatakan bahwa Gus Miek sudah terlihat kewaliannya sejak masih dalam kandungan, di antaranya adalah KH. Mubasyir Mundzir (Bandar-Kediri) yang merupakan sahabat sekaligus guru Gus Miek, begitu KH. Dalhar (Watucongol) yang kelak menjadi guru Gus Miek.

Bahkan ayahanda Gus Miek, KH. Djazuli justru boso kepada Gus Miek, satu hal yang tidak pernah dilakukannya kepada anaknya yang lain. Hal ini karena keluasan pandangan KH. Djazuli yang memandang bahwa anaknya memiliki derajat yang lebih tinggi di mata Allah ketimbang dirinya. Menurut salah seorang ulama Madura; dari segi usia, memang KH. Djazuli lebih tua dari Gus Miek (karena beliau adalah ayah Gus Miek), tapi dari segi keilmuan, Gus Miek tampak lebih tua. Sebelum wafat, KH. Djazuli mengakui bahwa tanda-tanda kewalian Gus Miek sudah tampak sejak lahir.

Gus Miek yang hobi sekali melihat orang memancing, pernah suatu ketika dengan ditemani salah satu santri Ploso nyundik ikan di sungai Brantas yang berada tepat di belakang Pondok Pesantren Ploso. Gus Miek yang masih kecil tiba-tiba tenggelam dan membuat santri yang menemaninya itu panik bukan kepalang. Dicarinya di sepanjang sungai, Gus Miek belum juga ketemu. Akhirnya, terpaksa dia melapor kepada KH. Djazuli bahwa Gus Miek tenggelam dan dia belum bisa menemukannya. Si santri pun mendapat kemarahan KH. Djazuli dan disuruhnya mencari Gus Miek lagi. Kembali ke sungai, Gus Miek ternyata sudah berada di tepi sungai dalam keadaan normal seperti sebelumnya, ditanya dari mana saja dia, Gus Miek menjawab; tadi dia dibawa Nabi Khidlir ke dalam sungai.

(bangkitmedia.com)

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...