Sunday, November 25, 2018

Benarkah "Ijeh Penak Jamanku"?


Sumardi, nama asli tenger waris (pemberian) dari bapaknya pada tanggal 13 Juli 1953 di Purwodadi. Bapaknya seorang petani dan bahu desa (Kepala Dusun) di suatu wilayah yang mayoritas warganya bekerja sebagai petani. Sejak menikah hingga saat ini, Sumardi tinggal di Dusun Ngablak pada RT.03 RW.03, Desa Ngraji. Seperti desa lainnya, Ngraji adalah desa agraris di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Sejak lama Sumardi aktif sebagai anggota Banser (Barisan Ansor Serba Guna) - Gerakan Pemuda (GP) Ansor, salah satu badan otonom di bawah Nahdlatul Ulama Cabang Purwodadi, sebuah organisasi pemuda yang memiliki keterkaitan erat dengan peristiwa sejarah kelam pada masa lalu.

Ketika peristiwa 1965 terjadi, Sumardi baru berumur 12 tahun, masih duduk di bangku kelas 5 SD. Meskipun masih kecil Sumardi pun ikut mengalami masa paling kelam dalam hidup keluarganya di desa. Bapaknya bernama Kamsuri ketika itu usia 70 tahun, cukup tua untuk bekerja sebagai Kepala Dusun Ngablak, salah satu pedukuhan di Desa Ngraji. Beliau lebih dari sebagai tokoh adat ketimbang pegiat politik. Dan bukan pula anggota PKI, selain hanya sebagai perangkat bahu desa pendukung pemerintahan Soekarno.

Pada bulan November 1965, tepat 53 tahun yang lalu, banyak orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dan pendukung Presiden RI Ir. Soekarno ditangkapi, ditahan dan diinterogasi. Ini hampir terjadi di seluruh kampung di wilayah Kabupaten Grobogan. Tidak terkecuali, di kampung dimana bapaknya Sumardi tinggal.

Pada suatu pagi Kamsuri (bapaknya Sumadi) diperintah harus menghadap ke kantor Polisi  Resort Grobogan. Meski ini mengherankan tapi karena merasa tidak bersalah dan tidak pernah melakukan kegiatan yang melanggar hukum, Kamsuri dengan tenang tanpa prasangka buruk mendatangi kantor polisi tersebut. Tidak tahunya, sejak saat itu Kamsuri langsung ditahan dan tidak boleh pulang.

Kejadian penahanan Kamsuri ini bermakna statusnya sebagai tapol (tahanan politik), ini membuat goncang pikiran ibunya Sumadi. Tiap hari Sumadi sering melihat ibunya tengah menangis. Ibunya sangat khawatir kalau suami tercinta ditapolkan itu bakal disiksa, atau bahkan pada akhirnya harus dibunuh. Ditangkap, disiksa, ditahan atau dibuang ke Nusakambangan maupun diasingkan ke Pulau Buru adalah bayangan momok yang mengerikan. Karena banyak diantara penduduk pedukuhan di mana Sumadi tinggal adalah orang-orang yang diciduk, ditahan yang akhirnya hilang dan tidak pernah kembali ke kampung lagi.

Hampir tiap 3-4 hari sekali istri Kamsuri membezoek dengan mengirimi sekedar makanan untuk sang suami karena memang dalam tahanan kondisi makanan sangat memprihatinkan, terkadang tidak diberi makan dan minum. Sumadi seringkali diajaknya. Dan pasti mengetahui keadaan sang bapak. Tubuhnya kurus, wajah pucat dengan mata cekung dan nampak lemah tak bertenaga. Keadaan ini membuat ibu Sumadi menjadi bertambah sedih.

Pernah di suatu hari pada bulan ketiga masa penahanan Kamsuri yang saat itu penahanan sudah dipindah ke Kodim Purwodadi, Sumadi membezoek sendirian dan bisa bertemu dengan sang bapak. Karena hari sudah malam dan rumah Sumadi jauh dari lokasi penahanan di markas Kodim, maka Sumadi harus menginap di kamar tahanan bersama sang Bapak.

Dari pembicaraannya dengan sang bapak, diketahui bahwa bapaknya ditawari bisa bebas dari tahanan asalkan ada uang tebusan. Akhirnya sang bapak menyuruh ibunya Sumadi untuk menjual sawah yang dimiliki seluas 4 bahu (-/+ 3 hektar). Bila dinilai dengan mata uang sekarang, silakan isi sendiri taksiran harganya.

Ini semacam pemerasan berdalih tawaran uang tebusan bagi pembebasan sang bapak sebagai tapol yang dipenjara tanpa ada proses hukum. Pembebasan adalah impian semua tapol kala itu. Dan uang tebusan itu harus diberikan kepada kuasa penahanan tapol yang dalam hal ini diberikan pada Komandan Kodim Purwodadi yang masa itu dijabat oleh Tedjo Suwarno. Jika tidak, maka bayangan momok tentang pulau buangan Nusakambangan atau Pulau Buru bakal kesampaian.

Memang, dengan segala daya keluarga, sang bapak akhirnya dibebaskan. Tetapi sekarang  tidak memiliki sawah lagi sebagai sandaran hidupnya dan keturunannya. Sumadi akhirnya juga tidak bisa meneruskan sekolah karena tidak ada biaya. Juga stigma sebagai anak tapol yang diindikasikan sebagai PKI, selalu menjadi cemoohan masyarakat sekitar.

“Mardi anak PKI…”, begitu orang sering mengolok.

Namun Sumardi tidak bisa berbuat apa-apa dan berusaha tetap tabah.

Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa penangkapan orang-orang yang dituduh PKI  berlatar belakang pemerasan. Ada teman dari Kamsuri yang harus menjual apa saja yang dimiliki: sapi, kambing, rumah, sawah, ladang  atau harta lainnya yang hasilnya dipakai sebagai uang tebusan. Tak heran bila Tedjo Suwarno ketika itu berlimpah hartanya. Sang Komandan yang dijuluki “alap-alap sambernyowo” ini pernah mengancam,

“Bila tidak ingin dibunuh atau pun dibuang, harus ada uang tebusan”, begitu kalimat yang masih Sumardi ingat dari mulut sang Komandan.

Kini sang “alap-alap” sudah tiada, sehingga sudah tak bisa dimintai keterangan atau pun pertanggunganjawabannya setelah memperkaya diri dengan uang tebusan yang diperas dari para tapol 65 dan keluarganya. Dan Sumardi hanya bisa mengenang dan meneteskan airmata saat teringat kejadian tersebut.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...