Saturday, November 24, 2018

Mengenal Gus Muwafiq, Sang Orator NU Zaman Now


Oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun

Di tengah banjir media, yang menurut Presiden Jokowi karena kita memasuki revolusi 4.0 yang ditandai dengan maraknya informasi digital, muncul berbagai pendakwah Islam yang populer di sosial media.

Youtube, twitter, instagram, facebook dll, menjadi arena baru media informasi yang belum ada pada generasi sebelumnya.

Banyak keuntungan dari kemudahan akses teknologi informasi ini. Orang bicara di mana saja bisa diunggah dan disaksikan dimanapun berada.

Namun kelemahannya adalah, tak ada yang mengontrol siapa yang berhak bicara dan mengunggah kontennya seperti apa. Sehingga kadang yang kurang bahkan tak layak bicara pun malah menjadi rujukan masyarakat dalam mengambil keputusan. Ibarat sisi mata uang, media menyajikan informasi yang cepat, namun juga berdampak sulitnya mengontrol konten negatif.

Tak terkecuali dakwah Islam, yang sebelumnya sudah mengakar di Indonesia dari panggung ke panggung, dari pengajian ke pengajian, pun kini berpindah ke media sosial. Hal ini, tentu menggembirakan karena dakwah Islam dapat diakses dengan mudah, tanpa jarak dan waktu yang berbelit. Netizen, user atau followers dapat dengan mudah belajar Islam dari para kiai, dai, ustaz dan tokoh agama.

Namun demikian, ada hal yang harus diwaspadai, yaitu maraknya penceramah yang datang tiba-tiba, tanpa latar belakang yang jelas. Mereka tidak pernah nyantri, belajar agama di pesantren, atau lembaga Islam yang otoritatif, namun sudah terlanjur mendapat “panggung” dan diikuti oleh banyak orang. Bisa dipastikan, dakwah mereka bukannya menyejukkan, malah justeru meresahkan.

Mereka banyak membid’ahkan, menyesatkan, memprovokasi dan bahkan mengkafirkan sesama muslim sendiri. Dan yang jadi korban adalah, mereka yang masih awam dalam soal agama.

Di tengah maraknya ustad-ustad ini, angin segar datang dari sebuah kota Istimewa, tepatnya dari Sleman Yogyakarta, yaitu dengan tampilnya seorang pendakwah yang menyejukkan dan mendudukkan kembali logika keagamaan dan kebangsaan kita. Pendakwah itu bernama Gus Muwafiq, atau Kiai Muwafiq.

Di kalangan aktivis dan mahasiswa Nahdlatul Ulama, namanya sudah tak asing lagi. Ia merupakan pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, yang kemudian melanglang-buana menuntut ilmu dari pesantren satu ke pesantren lain. Setelah itu, ia kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan aktif di organisasi kemahasiswaan. Puncaknya, adalah ketika ia di daulat menjadi Sekjend Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara.

Di akhir Orde Baru, Gus Muwafiq bersama aktivis lain juga terlibat dalam berbagai aksi, sampai kemudian Presiden Soeharto tersungkur dari tahtanya. Kemudian ia juga dipercaya oleh KH Abdurrahman Wahid untuk mengikuti sang presiden berkunjung kemana-mana, dan dari sinilah beliau banyak menyerap ilmu dari Sang Guru Bangsa.

Ketika saya berkunjung ke kediamannya untuk menanyakan profil lengkapnya, karena memang banyak yang meminta, beliau enggan.


“Sudah, yang kau ketahui saja,” tuturnya. Memang, beliau adalah sosok yang low profile. Bahkan, di kediamannya, beliau selalu makan bersama dengan beberapa santri dan aktivis NU yang sering mengungjunginya. Hampir tak ada sekat.

Kiai Muhammad Imdad Zuhri, salah satu yunior dan santrinya di dunia pergerakan kampus di Yogyakarta, memiliki pandangan tersendiri atas seniornya.

“Setahu saya, beliau belajar di pesantren satu ke pesantren lain. Di Lirboyo pun beliau tidak ikut madrasah, namun beliau sering memijat Sang Kiai,” terang mursyid Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah Wonosobo yang pernah disuruh untuk puasa selama delapan tahun oleh Gus Muwafiq ini.

Selain kebal dan sedikit menguasai ilmu kanuragan, Gus Muwafiq adalah sosok yang rajin menjalankan kesunnahan, seperti shalat sunnah dan puasa.

“Untuk memperbaiki jiwa manusia, hampir tak ada yang seefektif puasa,” tuturnya suatu ketika kepada Kiai Imdad.

Kekebalan dan kedigdayaan Gus Muwafiq – hal yang hari ini mulai langka ditelan modernitas – pernah dipaparkan beliau kepada kami, dalam suatu pelatihan. Ketika panas-panasnya aksi penggulingan Gus Dur dari kursi kepresidenan, konon Gus Muwafiq mengangkat mobil panser TNI dengan hanya memakai tangan kiri di depan Istana.

Hal ini karena mobil yang awalnya moncong meriamnya menghadap ke rakyat (berarti masih membela Gus Dur) kemudian menghadap istana. Menurut Gus Muwafiq, kemudian kejadian itu difoto dan menjadi headline di Kompas. Namun sayang, sampai hari ini saya cari, foto itu belum juga ketemu.

Sebagai sosok kiai dan pendakwah NU, Gus Muwafiq tergolong memiliki instrumen yang lengkap untuk mendudukkan persoalan pada rel syariat dalam bingkai Indonesia.

Beliau, menurut saya, adalah sosok kiai yang langka. Beliau paham teks klasik (kitab kuning), dari nahwu-shorof, balaghoh, fiqh, ushul fiqh, sampai tafsir, tauhid dan juga isu kontemporer.

Beliau paham bagaimana sejarah Islam (Indonesia maupun dunia) terbentuk dari semenjak penciptaan semesta sampai hari ini. Agama Islam, jadi tak berdiri sendiri dalam pandangannya, namun dikelilingi oleh konteks, sejarah, ekonomi, politik dan budaya.

Terakhir, masih menurut Kiai Imdad, suatu ketika Gus Muwafiq sowan kepada Habib Luthfi Pekalongan. Di sana ada banyak tamu. Salah satu tamu itu, memanggil Gus Muwafiq dengan dialeg Jawa Timuran: “Cak”. Maka, kemudian si tamu di “marahi” oleh Habib Luthfi, dengan mengatakan: “Ini itu mutiaranya Nahdlatul Ulama, kamu jangan memanggil sembarangan!” Panggillah Gus atau Kiai,” dawuh-nya, kurang lebih.

Di media sosial, khususnya Youtube, kini banyak pengajian-pengajian beliau yang diunggah oleh youtubers. Ia menjadi rujukan perbagai persoalan fiqh, ubudiyah, sejarah, keislaman, sampai kebangsaan.

Pemahamannya yang luas serta daya ingatnya yang di atas rata-rata, membuat pengajian maupun kajian yang disampaikannya menjadi berbobot dan mencerahkan. Jika anda, muslim Indonesia, khususnya warga Nahdlatul Ulama ingin menyimak pengajian via online, sebaiknya tak lupa untuk menuliskan nama pendakwah zaman now ini di kolom pencarian. [NU Online]

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...