Saturday, December 15, 2018
Menjawab Wahabi: At-Tark dan Tauqif dalam Kajian Ushul Fiqh
Sering kan wahabi berkata
“Mana dalilnya ?”, “Kalau memang itu baik/benar mengapa Rasulullah dan para sahabat tidak pernah melakukannya ?”,
“Lau Kana Khairan Ma Sabaquna ilaihi ?”, “Apakah Rasulullah dan sahabat pernah melakukannya ?”
apakah “At Tark” adalah jika
Rasulullah meninggalkan atau tidak melakukan sesuatu itu merupakan suatu hukum baru ? Bisakah “At Tark” itu dijadikan alat untuk menghukumi suatu amaliah itu makruh atau bahkan haram ? Ataukah “At Tark” itu hanya dijadikan senjata oleh harakah/sekelompok umat Islam hanya sebagai “jembatan” untuk diarahkan ke bid’ah dhalalah, yang semua tempatnya neraka ?
Mari kita lihat bgmn "At Tark" dari bbrp sudut pandang :
(1). Dari sudut Ushul Fiqh , larangan jelas ditunjukkan dengan tiga hal :
- ada sighat nahi (berupa kalimat larangan) .
Contoh :
ﻭﻻ ﺗﻘﺮﺑﻮﺍ ﺍﻟزنى
(Jangan kalian dekati zina)
- ada Lafadz Tahrim (Lafadz keharaman).
Contoh :
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟْﻤَﻴْﺘَﺔَ
(Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)
- ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman atas suatu perkara/amal)
Contoh :
ﻣﻦ ﻏﺶ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻨﺎ
(Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)
Maka dari ke-3 dasar ushul fiqh tsb tidak ada “At Tark” di salah satunya.
*
*2). Dari Nash Qur’an menyebutkan :
ﻭَﻣَﺎ ﺁَﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﻬَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮﺍ
“Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr : 7)
Disini jelas Qur’an menggunakan lafadz “Naha” (dilarang), bukan “Tark” (ditinggalkan/tidak pernah dilakukan).
*
(3). Dari Hadits menyebutkan :
ﻣَﺎ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻣَﺮْﺗُﻜُﻢْ ﺑِﻪِ ﻓَﺎﻓْﻌَﻠُﻮﺍ ﻣِﻨْﻪُ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺘُﻢْ
“Apa saja yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa² yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari Muslim)
.
Disini Rasulullah juga tidak mengatakan “Tark” tapi “Nahi” (larangan yang jelas).
Jadi jelas sudah bahwa “At Tark” bukan sumber hukum dan tidak bisa secara otomatis menghukumi sesuatu itu makruh atau haram. Hal ini berbeda dengan qaidah yang dipakai oleh
harakah/kelompok wahabi yg mengatakan “at-Tarku Yadullu ‘ala Tahrim”. Jelas ini mengada².
*
Kemudian kalimat LAU KAANA KHAIRAN MA SABAQUUNA ILAIHI juga sering di jadikan senjata abdalan kelompok wahabi utk menjatuhkan vonis bid'ah secara serampangan.
Apakah kalimat itu dpt dijadikan dasar hukum ?
atau adakah sumber dari Ushul Fiqh ?
Dengan tegas harus kita jawab tidak ada hal tsb sbg sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun bid’ah suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui kalimat itu sebenarnya adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam asbabun nuzul ayat itu menyatakan bhw kalimat tsb adalah kalimat “orang kafir quraisy “ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk Islam. Dengan jelas dalam hal ini tidak bisa digunakan sebagai dalil menghukumi suatu amal.
*
Senjata abdalan berikutnya yg sering digunakan kelompik wahabi adalah “Asal Ibadah adalah haram” .
Namun yang ditemui istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah "Asal Ibadah adalah Tauqif” (Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh).
*
Tauqif itu mengikuti :
(1).Tauqif Sifat Ibadah ( ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ) : tidak boleh untuk menambah dan mengurangi. spt sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya”
.
(2).Tauqif Waktu Ibadah ( ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺯﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ : tidak boleh seseorang membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkanny
a.
.
(3). Tauqif Macamnya Ibadah ( ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﻧﻮﻉ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ) : tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah matahari.
.
(4). Tauqif Tempat Ibadah : jika seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf dimina, atau bermalam ( muzdalifah ) di arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’.
.
Dari uraian diatas jelas bhw Ibadah yang dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
Maka jelas disini dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah hal ini tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. Semua sudah dalam batasan yang jelas.
Maka MENGADA² HAL BARU DLM IBADAH MAHDHAH INILAH YG DI MKSD DG BID'AH yg di ancan dg neraka !!!
*
Sedangkan pada Ibadah Ghairu Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan penghubung untuk mencari ridha Allah. Maka secara umum dalam ushul fiqh terdapat suatu ijma’ ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul Maqashid, artinya “Hukum untuk perantara sama dengan hukum tujuannya”.
Sbg contoh , bershalawat adalah perintah (sunnah muakkad) maka mengadakan Maulid Nab untuk mengenal kehidupan Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat didalamnya adalah Sunnah”.
Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati maulid (menurut pendapat sebagian ulama) adalah wasailnya. Dan masih banyak contoh yang bisa kita ambil dalam Ibadah Ghairu Mahdhah.
Maka jelas apa yang tidak dilakukan Rasulullah bukan selalu “bid’ah dhalalah (tersesat)”.
Hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُﻫَﺎ ﻭَﻭِﺯْﺭُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻩِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻲْﺀٌ
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita
Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...
-
Rabithah Alawiyah, organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad, mendata ada 151 marga segaris keturunan Nabi yang masih ada di dunia, t...
-
Suatu ketika, Siti fatimah bertanya kepada Rosulullah. Siapakah Perempuan yang kelak pertama kali masuk surga? Rosulullah menjawab:” Dia ...
-
Kata fitnah berakar dari kata fatana. Ketika seseorang berkata fatantu al-fidhdhah wa al-dzahab, artinya adalah bahwa ia membakar perak...
-
Ijazah dari: Al-Habib Muhammad Lutfi bi Ali bin Hasyim bin Yahya Ra Pekalongan ( Mursyid ThoriQoh Syadyziliyah. Pangeran Muhammad KH.A...
-
Kyai: Tolong buatkan kopi dua gelas untuk kita berdua, tapi gulanya jangan engkau tuang dulu, bawa saja ke mari beserta wadahnya. Santri...
-
Salafi-Wahabi memang lihai dalam mencari simpati. Mengaku sebagai saudara sesama muslim namun itu hanya siasat untuk mencari pengikut da...
-
Oleh Suryono Zakka Sungguh kemuliaan bagi orang yang dikaruniai Allah kemampuan menghafal Al-Qur'an. Mereka akan dimuliakan oleh ...
-
Lima tahun sudah Abdul Mutholib ngangsu kaweruh di Pondok Syubbaniyah Islamiyah Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat. Ia pulang ke rumah...
-
Sayyid Awud adalah keturunan dari Nabi Muhammad Saw. generasi ke-34.berikut ini adalah silsilah beliau,Sayyid Awud bin Husein bin Awud bi...
-
Ibadah dilihat dari segi jenisnya terbagi menjadi dua, pertama adalah Ta’abbudi; yaitu ibadah yang tidak ada alasannya kenapa dilakukan, ...
Dalil maulid sbg sunnah sungguh membingunkan
ReplyDelete