Monday, December 30, 2019

NU-Muhammadiyah, Saudara yang Tak Selalu Mesra


Oleh Suryono Zakka

Memang begitu faktanya. Hubungan kakak adik antara Muhammadiyah dan NU disetiap masa selalu dramatis, kadang dekat kadang jauh. Namanya juga kakak adik. Kalau sang kakak lebih banyak diam, kalau sang adik lebih banyak guyon.

Jika NU lebih sibuk ngopeni Pesantren dan masyarakat tradisionalis maka Muhammadiyah  fokus pada kesehatan dan pendidikan modernis. Mewakili karakter sang pendirinya, mbah Hasyim membangun masyarakat secara kultural sedangkan mbah Dahlan membangun masyarakat urban. Sebuah harmoni hubungan erat kakak dan adik yang patut diteladani dalam membangun negeri ini.

Dikancah politik, Nasib NU dan Muhammadiyah juga berbeda. Di masa Orba, NU digencet dan dipinggirkan oleh rezim seolah anak tiri sedangkan Muhammadiyah menjadi anak emas yang selalu disayang dan ditimang-timang.

Sebaliknya, dimasa sekarang mungkin NU yang dekat dengan pemerintah sehingga mayoritas suara politik NU pro pemerintah. Walau NU dan Muhammadiyah bukan partai politik, rasanya tidak mungkin NU dan Muhammadiyah tidak bersinggungan dengan politik.

Jika Muhammadiyah sebagai kakak muncul karena memiliki misi memberantas Takhayul, Bid'ah dan Churafat (TBC) maka NU sebagai adik lahir sebagai kontrol dari misi sang kakak, artinya tidak semua bid'ah harus diberantas karena tidak semua bid'ah itu sesat. Berantas TBC boleh tapi jangan kebablasan atau overdosis karena tidak baik untuk kesehatan.

Inilah relasi kakak-adik dengan hubungan mutualisme yang sehat, tidak saling mengganggu. Kalaupun ada gesekan, bukan gesekan yang menyakitkan tapi gesekan yang syahdu penuh kerinduan persis kakak-adik yang sedang berkelakar.

Sebagai kakak adik, sah-sah saja jika saling mengkritik dan menasehati. Jika Muhammadiyah boleh mengkritik NU maka NU-pun boleh menasehati Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah sebagai kakak merasa banyak pengalaman dan sukses membangun ekonomi umat bahkan bangga dengan prestasinya yang konon kabarnya sukses memberi pinjaman pada BPJS triliyunan, maka NU-pun boleh bangga karena bisa memajukan bangsa ini dengan akhlak terpuji ala kaum santri.

NU telah sukses mengislamkan masyarakat Nusantara dengan dakwah yang moderat sehingga NU menjadi mayoritas. Apa jadinya NKRI jika tidak ada santri NU. Jika Muhammadiyah boleh bangga dengan pengalamannnya, maka NU boleh bangga dengan mayoritas jamaahnya.

Jika NU dianggap ada minusnya dalam hal pemberdayaan ekonomi bahkan dianggap meminta pamrih pada pemerintah, maka Muhammadiyah-pun juga ada minusnya dalam hal nasionalisme. Muhammadiyah lebih banyak diam dalam mencegah kelompok terorisme kaum Wahabi dan kaum Khilafah. Berbeda dengan NU yang siap mati menjadi garda terdepan membela NKRI, Muhammadiyah lebih banyak diam nderek mawon.

Jika NU dianggap telah masuk dalam lingkaran politik, maka Muhammadiyah bukan hanya pernah masuk dalam lingkaran politik Orba, bahkan kini bisa dianggap telah kemasukan kaum asing gerakan Wahabi, gerakan Tarbiyah dan Khilafah. Walau saya sebagai kaum Nahdliyin yakin bahwa Muhammadiyah tetap setia pada Pancasila namun Muhammadiyah kesulitan dalam membendung ideologi radikal diatas.

Walau Muhammadiyah bukan Wahabi, bukan partai Tarbiyah dan bukan antek Khilafah namun tak bisa dipungkiri bahwa ada warganya yang terinveksi virus radikal ini. Perlahan tapi pasti. Ada warganya yang tidak lagi memegang teguh ajaran dan dakwah moderat ala mbah Dahlan. Fakta kan? Ada warga Muhammadiyah yang tak seperti dulu lagi. Gampang teriak bid'ah dan kafir.

Itu artinya, setiap ormas punya plus dan minus. Hendaknya saling menutupi kekurangan dan bahu-membahu saling mengangkat beban bukan saling memojokkan. Sebagai kakak-adik, guyon NU-Muhammadiyah boleh-boleh saja jika sebatas kewajaran. Bangga boleh namun jangan takabbur apalagi merasa besar kepala.

NU dan Muhammadiyah tetap saudara yang takkan terpisahkan. Selalu menyimpan rindu. Memiliki banyak kesamaan dibandingkan secuil perbedaan. Sama-sama lahir dari rahim Nusantara. Sama-sama lahir dahulu sebelum ada NKRI. Sama-sama mengembangkan dakwah moderat dan mengayomi. Sama-sama tokohnya ada yang dituduh liberal oleh kelompok radikal walau tokoh NU lebih kenceng dituduhnya dibanding Muhammadiyah. Sama-sama umate kanjeng nabi Muhammad.

Muhammadiyah sebagai kakak tak perlu membanggakan kehebatannya pada sang adik sebab tidak pada tempatnya. Sebagai kakak yang baik seharusnya rendah hati dan tak perlu menyindir sang adik. Pengikut nabi Muhammad yang sejati tidak akan mungkin memiliki sifat arogan. Arogan pada NU bisa kualat lho? Sudah banyak buktinya yang jadi gelandangan karena kualat pada NU. Terutama mereka yang menjerat mbah wali Gus Dur.

Walau bagaimanapun, ketahuilah bahwa sebaik-baik teman ngopi orang Muhammadiyah hanya orang NU yang terbaik. Memangnya orang Muhammadiyah suka ngopi juga ya? Embuh. Orang NU itu selalu ngangeni. Sebab selalu ada canda dalam setiap peristiwa. Salam damai, NU-Muhammadiyah seduluran sak lawase.




No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...