Monday, December 25, 2017

Hukum Ucapan Selamat Natal dan Selamat Hari Besar Non Muslim


Perbedaan pandangan ulama (ikhtilaf) dalam literatur fikih memang tiada hentinya. Hal ini sangat lumrah, alamiah dan bagian dari sunnatullah karena keterbatasan manusia dalam memahami dan menafsirkan kehendak Allah yang mutlak dan tanpa batas.

Begitupun mengenai ucapan selamat dari muslim kepada non muslim mengenai perayaan mereka. Ada banyak pendapat, argumen dan dalil-dalil baik yang membolehkan, memakruhkan hingga mengharamkan. Warna perbedaan ini bisa dijumpai secara langsung dalam kitab Al-Qur'an, ulama madzhab hingga ulama kontemporer antar sekte Islam. Ulama sunni moderat lebih dominan membolehkan sedangkan ulama salafi mayoritas mengharamkan. Agaknya, dua mainstrem perbedaan ini akan senantiasa muncul seiring dinamika dan perkembangan umat dalam memahami realitas sosial yang mereka hadapi.

Tulisan ini bukan bermaksud mempertajam perbedaan antagonistik yang sudah ada dimasa klasik apalagi memperdebatkannya tanpa berkesudahan namun menawarkan bagaimana menyikapi perbedaan-perbedaan itu ditengah realitas yang kita hadapi saat ini.

Baca juga: Menghafal Al-Qur'an dengan Cinta

Teks Al-Qur'an yang dipahami sebagai bentuk larangan mengucapkan selamat atas perayaan non muslim diantaranya Surat al-Furqan (25): 72, az-Zumar (39): 7, al-Maidah (5): 48, al-Maidah (5): 3, Ali Imran (3): 85 dan hadits larangan melakukan tasyabbuh yaitu menyerupai orang kafir yang akan merusak atau mengganggu kualitas akidah. Sedangkan ayat yang ditafsiri sebagai bentuk kebolehan mengucapkan selamat antaralain al-Mumtahanah (60): 8, al-Baqarah (2): 83, an-Nahl (16): 90 dan an-Nisa (4): 86.

Mayoritas ulama muashirin (kontemporer) disegala bidang ilmu keislaman seperti Yusuf Qardhawi, Ali Jum'ah, Mustafa Zarqa, Wahbah Zuhaili, Abdullah bin Bayyah, Syaraf Qudhat, Habib Umar bin Hafidz, Habib Ali Al-Jufri, Latif Al-Banna, Majelis Ulama Eropa, Majelis Ulama Mesir, MUI, NU, Muhammadiyah kemudian disusul oleh mufassir kontemporer dan intelektual muslim lainnya membolehkan mengucapkan selamat natal sebagai bentuk interaksi sosial yakni saling menghormati dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama penebar rahmat dan menghargai toleransi.

Terjadi perbedaan tafsir fatwa MUI di era Hamka apakah boleh mengucapkan selamat natal atau dilarang secara mutlak. Tafsir masyarakat yang melarang selamat natal atas fatwa MUI era Hamka, hingga kini tetap teguh melarang mengucapkan selamat natal terlebih ikut acara kebaktian didalamnya. Sedangkan masyarakat yang memahami bahwa larangan MUI era Hamka hanya khusus ikut dalam kebaktian atau peribadatan maka tetap berpijak pada kaidah bahwa yang dilarang adalah mengukuti acara ritual ibadah sedangkan sekedar mengucapkan selamat maka hukumnya boleh.

Menurut ulama moderat diatas, larangan mutlak mengenai natal baik ulama salaf maupun ulama kontemporer termasuk bersumber Al-Qur'an dan Hadits bukan mengucapkan selamat natalnya atau selamat hari besar agama non muslim namun ikut merayakan acara non muslim seperti kebaktian, sakramen dan aktivitas ritual lainnya. Mengikuti ritual ibadah yang akan merusak akidah jelas ini sebuah pelanggaran akidah yang tidak dapat ditoleransi.

Ulama atau masyarakat yang menolak mengucapkan selamat natal atau selamat hari besar agama lain berpijak pada pemahaman bahwa mengucapkan selamat natal berarti merestui aktivitas ibadah mereka yang berarti secara tidak langsung mengimani kepercayaan non muslim khususnya agama nasrani yang dapat merusak akidah atau pondasi keimanan. Selain itu adanya sudut pandang yang berbeda antara muslim dan nasrani tentang kebenaran lahirnya nabi Isa (Yesus) yang versi Islam tidak menyatakan terlahir pada tanggal 25 Desember. Pemahaman mereka tentang toleransi tidak harus mengucapkan selamat atau doa kepada agama lain. Dengan tidak mencela, mengganggu dan merusak tempat ibadah agama lain sudah dianggap sebagai prinsip toleransi.

Dengan memahami realita diatas, saya hanya memberikan jalan tengah yaitu titik temu baik yang pro dan kontra bahwa Islam adalah agama yang menebarkan perdamaian bagi segenap makhluk apapun latar belakangnya. Prinsip Islam adalah aspek keseimbangan antara interaksi kepada Tuhan (hablum minallah) dan relasi kemanusiaan (hablum minannas), maka sepatutnya kita bisa mengukur diri kita masing-masing bagaimana seharusnya yang kita lakukan untuk menjaga kedua hubungan tersebut.

Jika memang telah mantap keislamannya dan tidak akan terganggu akidahnya dengan sekedar mengucapkan selamat kepada non muslim maka boleh-boleh saja dan karena Islam tidak memberikan batasan mutlak mengenai ucapan selamat. Ucapan selamat diniatkan sekedar interaksi sosial agar hubungan muslim dan non muslim tetap harmonis tanpa saling mencurigai atau memandang rendah diantara mereka. Dengan catatan, ucapan selamat disini bukan diyakini membenarkan secara mutlak aktivitas ibadah mereka sehingga diharapkam tetap mantap keimanan dan keislamannnya.

Bagi masyarakat yang dikhawatirkan akan terganggu akidah, amaliyah dan keislamannya maka tidak mengucapkan selamat atas perayaan non muslim juga benar dan tidak perlu disalahkan. Dengan tidak merendahkan, menghina acara agama lain juga bagian dari tafsir toleransi.

Dengan kenyataan ini, umat Islam sudah menunjukkan penghormatan dan sikap toleransinya yang beragam sesuai dengan tingkat pemahaman dan batasan keimanan mereka masing-masing. Atas sikap yang berbeda-beda ini, umat Islam tidak perlu ribut dan saling menyalahkan yang akhirnya mengganggu ukhuwah diniyah. Jika umat Islam mampu berlomba-lomba menunjukkan toleransinya kepada non muslim sebagai bentuk pengamalan ukhuwah wathaniyah dan basyariyah (bernegara dan berkemanusiaan) maka sudah seharusnya internal umat Islam juga lebih berlomba-lomba untuk bertoleransi dengan sesama muslim walau berbeda tafsir dan pemahaman.


No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...