Wednesday, April 25, 2018

Menjawab Para Penghina Kartini


Jilbab merupakan identitas muslimah. Jika jilbab ada landasan syar'inya didalam Al-Qur'an maka berbeda halnya dengan cadar yang tak ada dalil syariahnya didalam Al-Qur'an sehingga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama berkenaan hukum memakai cadar, apakah produk hukum Islam ataukah hanya sekedar produk budaya.

Momen 21 April kita kenal dengan hari Kartini, yakni sosok pahlawan wanita muslimah pejuang emansipasi wanita. Tokoh yang menginspirasi para wanita dimasanya untuk giat belajar, mengejar ketertinggalannya dari kaum pria. Spirit untuk bangkit kemudian ia tuangkan dalam karyanya yang sangat fenomenal yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Dimasa lalu, tenteram-tenteram saja kita memperingati hari Kartini. Disekolah, masyarakat umum atau lembaga dinas selalu memperingatinya dengan ciri yang khas wanitanya berkebaya. Simbol wanita Jawa yang sederhana, penuh keanggunan jauh dari polesan kapitalisme.

Sekarang, momen Kartini tak hanya diperingati namun juga diperdebatkan bahkan menjadi bahan cemooahan dan pergunjingan. Ini bisa terjadi karena pesatnya sosial media, meningkatnya kritisisme manusia dan meningkatnya radikalisasi pemikiran sehingga identitas dan status Kartini pun dipertanyakan.

Kasus pertama adalah tuduhan terhadap Kartini sebagai budak seks. Hal ini adalah tuduhan keji yang dilontarkan oleh orang yang tidak waras. Orang yang buta sejarah dan minimnya pengetahuan. Model manusia inilah yang sejak dahulu hingga kini bernafsu ingin merusak NKRI dengan formalisasi syariah.

Kasus kedua adalah menghina Kartini hanya karena tampil dalam foto tidak berjilbab atau tidak bercadar melainkan berkonde. Nyinyir karena sempitnya pengetahuan dan dangkalnya pemahaman Islam sehingga setiap yang muslimah yang tidak berjilbab atau tidak bercadar dianggap pendosa, hina dan tidak memiliki kebaikan sama sekali. Memahami Islam hanya sebatas kerongkongan sehingga merasa lebih suci, lebih Islami dan lebih unggul dari manusia lainnya.

Benar bahwa berjilbab merupakan perintah syariah namun ketika muslimah tidak berjilbab bukan berarti tidak memiliki kebaikan sama sekali. Terlebih lagi sosok seorang Kartini yang sudah memberikan andil besar bagi kemajuan wanita Indonesia. Jangan hanya karena tidak berjilbab lantas dicela, dihina dan dianggap manusia rendah.

Ketika diri merasa lebih baik, ketika hati merasa lebih suci dari makhluk lainnya justru hal itulah sebagai sebuah kebodohan. Islam tak hanya formalitas namun juga pemahaman dan esensi. Esensi Islam adalah akhlak sedangkan formalitas adalah bungkus. Bungkus yang baik seharusnya menghasilkan isi yang baik. Malah bukan sebaliknya, merasa bungkusnya baik namun isinya busuk, penuh lalat dan gersang dari pesan agama. Membawa nama Islam tapi akhlaknya ketinggalan bahkan hilang.

Pergunjingan seputar Kartini berikutnya adalah mempertanyakan tentang status foto Kartini,  berjilbab atau berkonde. Entah berjilbab atau berkonde, yang jelas Kartini tidak bercadar. Jika ada foto Kartini yang bercadar bahkan berkacamata gaya milenial emak-emak zaman now maka bisa dipastikan bahwa foto tersebut adalah hoax, editan atau KW. Kita tidak pernah hidup bersama Kartini jadi memahami jejak kehidupan Kartini yang sebenarnya harus melaihat data sejarah. Sejarah menerangkan berbagai pendapat dan versi yang berbeda.

Dalam satu versi, Kartini adalah muslimah yang taat yang dipastikan berjilbab. Versi ini, Kartini adalah santri dari mbah Sholeh Darat Semarang. Beliau adalah guru tafsir dari Kartini. Ketika mengarang buku karyanya "Habis Gelap Terbitlah Terang", Kartini memperoleh pencerahan dari surat Al-Fatihah dan ayat Al-Qur'an yakni orang yang beriman keluar dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Jadi jika ada foto Kartini tidak berjilbab menurut kelompok ini, merupakan penyimpangan sejarah dan manipulasi dari kaum sekuler.

Dalam versi yang lain, Kartini memang tidak berjilbab. Tidak ada bukti otentik bahwa Kartini berjilbab. Muslimah zaman dahulu termasuk pahlawan muslimah sangat sedikit yang berjibab kalaupun mereka memakai tudung kepala maka disebut kerudung. Yakni semacam jilbab namun hanya menutupi bagian kepala sehingga rambutnya masih terlihat.

Perlu penelusuran dan penelitian sejarah yang lebih dalam untuk mengurai fakta tentang bagaimana kehidupan Kartini yang sebenarnya, berjilbab atau tidak jika hal itu merupakan sesuatu yang penting. Jika nanti ditemukan fakta yang sebenarnya Kartini berjilbab maka alhamdulillah dan jika faktanya Kartini tidak berjilbab maka tetap wajib untuk kita hormati karena tidak akan berkurang kebaikan dan jasanya. Tidak ada alasan untuk mencela muslimah hanya karena tidak berjilbab.

Kita tidak bisa menghukumi Kartini sebagai muslimah yang tak tau syariat dan tak bisa pula menuduh Kartini sebagai budak seks jika Kartini faktanya tidak berjilbab. Jilbab memang perintah agama namun perintah agama bukan hanya jilbab melainkan juga akhlak atau budi luhur. Mungkin inilah yang dipahami oleh muslimah masa lampau, mengedepankan esensi dan pokok ajaran Islam dibandingkan penampilan luarnya walau yang ideal adalah tertutupi keduannya yakni tertutupi tubuhnya dan tertutupi pula hatinya dengan akhlak terpuji. Terhijab lahir maupun batin.

Dari pendapat yang berbeda ini, hendaknya bijak dalam menyikapi. Kita tidak bisa memastikan sejarah yang telah lampau melainkan hanya sekedar wawasan dan menambah referensi. Kehadiran Kartini yang telah membawa pencerahan bagi wanita bangsa ini bukan untuk diperdebatkan dan dipergunjingkan. Biarlah identitas keislamannya hanya dia yang tahu. Hatinya, keluhuran budinya dan jasanya bagi negeri ini tak hanya diukur dari kesimpulan berjilbab atau berkonde.

Pesan yang terpenting bagi kita bukan untuk mengoreksi sejauhmana pemahamannya terhadap Islam. Prinsipnya adalah siapapun orangnya, apapun jenis kelaminnya dan apapun agamanya, jika dia memiliki jasa dan kebaikan maka wajib untuk dihargai, dikenang kebaikannya agar dapat diwarisi oleh generasi mendatang.

Kebaikan-kebaikan Kartini itulah yang harus kita kenang dan kita perjuangkan. Jika hati telah kotor, kebaikan sebanyak apapun akan tertutup oleh noda kebencian sehingga yang nampaka hanya cela dan keburukan. Islam mengajarkan keadilan maka bersikaplah adil dan proporsional. Tugas kita bukan sekedar mencari aib dan kekurangan manusia namun mencontoh manusia manapun yang memiliki kebaikan. Jika hanya sibuk mengoreksi hal yag kecil padahal ada banyak yang lebih besar maka kita tidak akan pernah sempat untuk menanam kebaikan.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...