Permainan catur merupakan permaianan baru yang tidak ada dimasa Rasulullah. Permainan ini diyakini berasal dari India atau Persia. Semua ulama sepakat mengenai haramnya bermain catur apabila terdapat unsur perjudian (maisir) dalam permainan tersebut atau permainan tersebut membuat seseorang mengakhirkan shalat dari waktunya. Begitu pula permainan ini diharamkan jika menjadikan orang yang memainkannya berbohong, menyebabkan bahaya atau penyebab keharaman lainnya.
Sedangkan apabila tidak terdapat unsur-unsur diatas, ulama berselisih pendapat mengenai hukumnya yakni:
a. Haram
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam Al-Halimi dan Ar-Rauyani dari kalangan madzhab Syafi'i dan juga merupakan pendapat madzhab Hanbali dan mayoritas ulama madzhab Maliki. Sedangkan dari kalangan sahabat dan ulama terdahulu yang berpendapat bahwa bermain catur hukumnya haram adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Sa'id bin Al-Musayyab, Qasim, Salim, Urwah, Muhammad bin Al-Husain dan Mathar Al-Warraq. Diriwayatkan dalam salah satu atsar ;
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَوْمٍ يَلْعَبُونَ الشِّطْرَنْجَ فَقَالَ: " {مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ} [الأنبياء: 52]؟ لَأَنْ يَمَسَّ جَمْرًا حَتَّى يُطْفَأَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّهَا
"Dari ‘Ali bahwasannya beliau melewati satu kaum yang sedang bermain catur. Maka beliau berkata : "Patung-patung apakah ini yang kalian tekuni kepadanya? Sungguh, jika salah seorang diantara kalian menggenggam bara api sampai padam itu lebih baik daripada memegang catur (As-Sunan Al-Kubra Lil Baihaqi no. 20930).
Menurut pendapat ini, catur diqiyaskan dengan dadu, bahkan catur itu lebih buruk daripada dadu dalam hal memalingkan dari mengingat Allah dan shalat dan seringkali permainan ini berakhir dengan permusuhan dan saling membenci karena orang yang memainkannya membutuhkan konsentrasi tinggi melebihi permainan dadu. Selain itu permainan ini juga menghabiskan umur manusia untuk mengerjakan hal yang tidak penting. Hanya saja dadu lebih diharamkan, sebab memang ada nash yang menjelaskan keharamannya dan dikalangan ulama sudah disepakati keharamannya.
b. Makruh
Pendapat kedua menyatakan bahwa permainan ini hukumnya makruh. Ini adalah pendapat mayoritas madzhab Syafi'i, Hanafi dan sebagian ulama' madzhab Maliki. Alasan yang mendasari pendapat ini adalah bahwa permainan ini bukan termasuk permainan yang dianjurkan oleh agama, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits :
كُل شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل فَهُوَ لَهْوٌ أَوْ سَهْوٌ إِلاَّ أَرْبَعَ خِصَالٍ: مَشْيُ الرَّجُل بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ، وَتَأْدِيبُهُ فَرَسَهُ، وَمُلاَعَبَةُ أَهْلِهِ، وَتَعَلُّمُ السِّبَاحَة
ِSegala sesuatu yang bukan dzikrullah maka ia termasuk perkara melalaikan atau melenakan, kecuali empat perkara : laki-laki yang berjalan antara dua tujuan latihan berkuda, bercengkerama dengan keluarganya dan belajar berenang” (Al-Mu'jam Al-Ausath Lit- Thabrani, no.8147)
Dalam hadits lain diterangkan ;
لَيْسَ مِنَ اللهْوِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ: تَأْدِيبُ الرَّجُلِ فَرَسَهُ، وَمُلَاعَبَتُهُ زَوْجَتَهُ، وَرَمْيُهُ بِنَبْلِهِ عَنْ قَوْسِهِ
Bukan termasuk hiburan tiga perkara: seseorang yang melatih kudanya, bercanda dengan istrinya, dan memanah menggunakan busurnya serta anak panahnya (As-Sunan Al-Kubra Lil Baihaqi, no.19731).
واللعب بالشطرنج بكسر أوله وفتحه معجما ومهملا مكروه إن لم يكن فيه شرط مال من الجانبين أو أحدهما أو تفويت صلاة ولو بنسيان بالاشتغال به أو لعب مع معتقد تحريمه وإلا فحرام ويحمل ما جاء في ذمه من الأحاديث والآثار على ما ذكر
Dalam kitab Fathul Muin dinyatakam bahwa bermain catur hukumnya makruh bila tidak disertai salah satu ketentuan berikut : Disertai dengan harta dari kedua pemain atau salah satunya (karena berarti judi), keasyikan bermainnya tidak sampai meninggalkan shalat meskipun karena meninggalkannya karena unsur lupa dan tidak bermain bersama orang yang berkeyakinan mengharamkan catur tersebut. Bila ada salah satu ketentuan di atas maka bermain catur menjadi haram (Fathul Mu’iin IV/285).
وفارق النرد الشطرنج حيث يكره إن خلا عن المال بأن معتمده الحساب الدقيق والفكر الصحيح ففيه تصحيح الفكر ونوع من التدبير ومعتمد النرد الحزر والتخمين المؤدي إلى غاية من السفاهة والحمق قال الرافعي ما حاصله ويقاس بهما ما في معناهما من أنواع اللهو وكل ما اعتمد الفكر والحساب كالمنقلة والسيجة وهي حفر أو خطوط ينقل منها وإليها حصى بالحساب لا يحرم ومحلها في المنقلة إن لم يكن حسابها تبعا لما يخرجه الطاب الآتي وإلا حرمت وكل ما معتمده التخمين يحرم
Perbedaan antara permainan dadu dan catur yang dihukumi makruh bila memang tidak menggunakan uang adalah bahwa permainan catur berdasarkan perhitungan yang cermat dan olah pikir yang benar, dalam permainan catur terdapat unsur penggunaan pikiran dan pengaturan strategi yang benar sedangkan permainan dadu berdasarkan spekulasi yang menyebabkan kebodohan dan kedunguan yang maksimal.
Menurut Imam Rafi’i, hukum dadu dan catur tersebut bisa di analogikan pada semua bentuk permainan dan segala hal dan segala hal yang berdasarkan hitung-hitungan dan pikiran seperti al-minqalat dan assijah (jenis permainan di Arab) yakni permainan dengan membentuk garis dan lobang-lobang untuk mengisi bebatuan yang di lakukan dengan perhitungan tersendiri. Permainan semacam ini tidak haram, sedangkan semua jenis permainan yang berdasarkan spekulasi (taruhan) hukumnya haram. [ Hasyiyah jamal ‘alaa al-Minhaj X/749 ].
إعانة الطالبين ج 4 ص 326-327
واللعب بالشطرنج مكروه إن لم يكن فيه شرط من الجانبين او أحدهما او تفويت صلاة ولو بنسيان بالاشتغال به او لعب مع معتقد تحريمه وإلا فحرام -الى أن قال- وهو حرام عند الأئمة الثلاثة مطلقا( وإنما قالوا بالحرمة للأحاديث الكثيرة التي جائت في ذمه. قال في التحفة لكن قال الحافظ لم يتبت منها حديث من طريق صحيح ولا حسن ،وقد لعبه جماعة من أكابر الصحابة ومن لا يحصى من التابعين ومن بعدهم، وممن كان يلعب غبا سعيد بن جبير رضي الله عنه.
Bermain catur menurut imam Syafi'i makruh dengan sarat tidak ada pemberian harta dari ke duanya atau salah satunya, tidak sampai meninggalkan shalat sekalipun lupa sebab asyik bermain, tidak bermain dengan orang yang punya keyakinan bahwa bermain catur haram. Dan munurut pendapat imam Abu Hanifah, imam Malik dan imam Ahmad bin Hambal bermain catur hukumnya haram mutlak ( tidak ada persaratan seperti pendapatnya imam Syafi'i). [ Ket I`anah Thalibin Juz 4 Hal 326-327 ].
C. Mubah
Pendapat ketiga menyatakan bahwa permainan ini hukumnya mubah. Ini adalah pendapat Abu Yusuf dari kalangan madzhab Hanafi dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi'i dan Maliki. Alasannya, segala sesuatu itu pada asalnya adalah mubah, karena itu permainan catur hukumnya juga mubah karena tidak ditemukan satupun nash yang melarang pelarangan ini dan permainan ini juga tidak bisa diqiyaskan dengan permainan-permainan yang dinash pelarangannya. Selain itu permainan ini juga berguna untuk mengasah pikiran dan mencerdaskan pemahaman.
Begitu juga, tidak bisa diterima pengqiyasan permainan catur dengan permainan dadu yang sudah jelas keharamannya karena adanya unsur judi. Sebab yang dibuat patokan dalam permainan dadu adalah apa yang akan keluar bagi pemainnya, jadi permainan ini hanya mengandalkan dugaan semata yang akan membuat seseorang semakin bodoh. Hal ini tentu berbeda dengan permainan catur yang didasarkan pada perhitungan yang teliti dan berpikir dengan benar. Permainan ini juga melatih kecerdasan otak seseorang dan kelihaiannya dalam mengatur strategi. Jadi, permainan ini lebih mirip dengan memanah atau berkuda yang dianjurkan oleh agama. Pendapat ini juga dinukil dari Abu Hurairah, Said bin Al-Musayyab, Said bin Jubair, Muhammad bin Al-Munkadir, Muhammad bin Sirin, Urwah bin Az-Zubair, Hisyam bin Urwah, Sulaiman bin Yasar, Asy-Sya'bi, Hasan Al-Bashri, Rabi'ah dan Atha'.
Dengan mengetahui beberapa hukum diatas, tentu kita tidak dapat memutlakkan tentang hukum bermain catur hanya dalam satu wajah misalnya haram saja atau makruh saja. Hendaknya kita bisa menghormati pendapat dari para sahabat dan ulama diatas sehingga tidak mempersempit hukum yang telah mereka rumuskan.
Referensi :
1. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 35 Hal : 269-271 (Fiqih Kontemporer)
2. Al-Mughni Li Ibnu Qudamah, Juz : 10, Hal : 151-152 (Madzhab Hanbali)
3. Mathalibu Ulin Nuha, Juz : 3 Hal : 702-703 (Madzhab Hanbali)
4. Hasyiyah Ad-Dasuqi Ala Syarhil Kabir, Juz : 4 Hal : 167 (madzhab Maliki)
5. Raddul Mukhtar Ala Durrul mukhtar, Juz : 6 Hal : 394-395 (Madzhab Hanafi)
6. Al-Binayah Syarhil Hidayah, Juz : 12 Hal : 252 (Madzhab Hanafi
7. Raudlatut Thalibin, Juz : 11 Hal : 22 (Madzhab Syafi'i)
8. I'anatut Thalibin, Juz : 4 Hal : 326 (Madzhab Syafi'i)
9. Hasyiyah Al-Jamal, Juz : 5 Hal : 379-380 (Madzhab Syafi'i)
No comments:
Post a Comment