Wednesday, March 28, 2018

Karakteristik Ahlussunnah Wal Jamaah


Menurut Badrun, Ahlussunnah waljamaah yang dimaknai sebagai manhajul fikr, dideteksi dari ciri-cirinya sebagai berikut:

  1. Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru;
  2. Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy);
  3. Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’);          
  4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif;
  5. Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya.

Adapun karakter umum dari pola Ahlussunnah  waljamaah tertanam dalam sikap tawasuth (moderat),tawazun (berimbang), ta’adul (netral, keadilan), dan tasamuh (toleran).

1. Tawasuth

Tawasuth adalah sikap tengah atau moderat yang tidak terjebak oleh sikap ekstrimis. Dalam hal dosa besar, ia berada di antara teologi Khawarij dan Muktazilah. Dalam masalah kepemimpinan, ia berada di antara khawarij dan Syiah , penganut garis moderat di antara madhab liberal Muktazilah  dan madzhab literal Dawud Dahiri, dan berada di garis tengan antara tradisi tasawuf madzhab kebatinan dengan kalangan legalistik-formalistik yang membenci tasawuf. Tentu saja, sikap moderat ini memiliki landasan ortodoksi sehingga bisa dibedakan dengan pengertian pragmatis-oportunis. Kaitannya dengan konsep berbangsa dan bernegara, Ahlussunnah  waljamaah mampu mengakomodir berbagai kepentingan golongan sehingga mampu dicapai kesepakatan yang lebih baik (aslah). Hal ini sesuai dengan Firman Allah:                           
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143).

2. Tawazun

Tawazun adalah sikap berimbang dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan hukum atau kebijakan. Proses harmonisasi dan integralisasi antara dalil nash dengan pertimbangan-pertimbangan rasio menyebabkan posisinya seimbang dalam melakukan putusan/ kebijakan. Ia tidak terpolarisasi kepada ekstrim kanan (fundamentalime) dan ekstrim kiri (liberalisme). Dalam hal sosial-politik pun, sikap tawazun diwujudkan dengan pertimbangan secara komprehensif dan holistik, baik ekonnomi-politik, geopolitik, sosio-kultur, dan hal-hal lainnya. Posisinya menanggapi kekuasaan, tentu saja ia tidak berada dalam posisi mendukung atau menolak suatu rezim, tetapi lebih melihat prasyarat yang dipenuhi kekuasaan tersebut sudah dipandang memenuhi kaidah-normativitas  atau kah tidak. Hal ini termaktub dalam surat Alhadid ayat 25:

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25).

3. Ta’adul

Ta’adul ialah sikap adil dalam menyikapi suatu persoalan. Adil adalah sikap proporsional dalam menyikapi persoalan berdasarkan hak dan kewajiban. Ta’adul berbeda dengan tamastul yang menghendaki kesamaan. Seseorang mampu mencapai kesamaan dan kesetaraan jika realitas individu benar-benar sama persis dan setara dalam segala sifat-sifatnya. Jika terjadi tafadlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Dalam konteks politik, sikap ta’adul ini tercermin dalam proporsional antara kewajiban pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan publik dan haknya seperti mendapatkan tunjangan dan lain sebagainya. Dengan hal ini, jika pemerintah tidak melaksanakan tugas itu atau mengambil hak rakyat, ia telah melakukan aniaya. Begitu pula rakyat yang membangkang dari ketetapan konstitusinal Negara, maka rakyat pun dinyatakan aniaya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Alma'idah: 9).                                                                   
                 
3. Tasamuh

Tasamuh ialah sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama, pemikiran, keyakinan, social kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan lain. Keragaman merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Ia merupakan entitas yang hadir sebagai ajang untuk bersilaturahmi, bersosialisasi, akulturasi, asosiasi, sehingga tercipta sebuah peraudaraan yang utuh. Toleransi dalam beragama bukan berarti sikap kompromistis dalam berkeyakinan karena keyakinan adalah kebenaran penuh yang tidak bisa dicampur dengan keyakinan agama lain, bukan pula membenarkan kebenaran keyakinan agama yang salah dan batil. Toleransi menjadi suatu hukum alam dalam mengelaborasi perbedaan menjadi sebuah rahmat. Kaitannya dengan budaya, secara substansial budaya ialah hasil dari akal budi manusia yang memiliki nilai luhur dan merupakan arkeologi kesejarahan yang patut dihargai sebagai suatu kebijaksanaan. Dalam pandangan Ahlussunnah  waljamaah, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.

Dari sikap tasamuh inilah, Ahlussunnah waljamaah merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal. Hal ini meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman),ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) danukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah SWT:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13).

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)

GMNUCYBERTEAM

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...