Shalawat Tarhim sudah tidak asing lagi bagi kita semua karena shalawat ini sering dibaca ketika menjelang shalat maghrib atau menjelang shalat shubuh.
Dahulu shalawat ini sering diputar dimedia radio sehingga kita bisa mendengarkannya penuh dengan kesyahduan. Iramanya yang khas sehingga dengan mudah kita bisa mengenalinya. Ketika mendengar shalawat ini, terasa menghadirkan keagungan Allah. Ada getaran spiritual yang mampu memikat hati sandaran hingga kita bisa merasakan nikmat dan damai dalam naungan kemahabesaran Allah.
Shalawat ini masih sering dibaca dibeberapa pesantren terutama diwaktu pagi menjelang shalat shubuh. Bagaimana hukum mengumandangkan shalawat ini, sejarah dan ketentuannya? Mari kita simak uraian tentang Shalawat Tarhim berikut ini!
Shalawat Tarhim diciptakan oleh Syeikh Mahmud Khalil Al-Husshari (1917-1980), seorang qâri’ ternama lulusan Al-Azhar. Beliau merupakan Ketua Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz (organisasi para penghafal Al-Qur’an) di Mesir. Syeikh Mahmud Al-Husshari memiliki kedalaman ilmu qirâ’ah dan tartîl yang luar biasa. Dalam pendangan beliau, tartîl bukan hanya ilmu yang mempelajarai cara membaca Al-Qur’an, tapi juga cara memahami bacaan yang baik dan benar. Yaitu melalui studi linguistik dan dialek Arab Kuno, serta penguasaan teknik pelafalan huruf per-huruf dan kata per-kata dalam al-Qur’an. Dengan begitu, tingkat kemurnian bacaan dan makna yang mendalam dari Al-Qur’an, dapat tercapai. Saking alimnya, beliau sampai dijuluki sebagai Sheikh al-Maqâri’ (guru para ahli qira’ah).
Shalawat Tarhim sendiri, pertama kali sampai ke Indonesia pada akhir tahun 1960an. Saat itu, Syeikh Mahmud Al-Husshari berkunjung ke Indonesia dan diminta untuk merekam Shalawat Tarhim di Radio Lokananta, Solo. Hasil rekaman tersebut kemudian disiarkan oleh Radio Lokananta dan juga Radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat), Surabaya. Dari sinilah awal mula Shalawat Tarhim menjadi populer di Indonesia.
Sampai sekarang, Shalawat Tarhim sudah menjadi semacam “lagu wajib” di masjid-masjid atau mushalla, terutama sebelum azan subuh di bulan suci Ramadhan. Namun, kaset yang biasa diputar di masjid-masjid atau mushalla (utamanya di Jawa Timur), itu bukan lagi suara Syeikh Mahmud Al-Husshari, melainkan sudah dilantunankan ulang oleh Syeikh Abdul Azis (sama-sama dari Mesir).
Tujuan melantunkan Shalawat Tarhim ialah membangunkan kaum Muslimin agar mempersiapkan diri untuk shalat Shubuh, atau membangunkan mereka yang ingin shalat tahajjud. Oleh karena itu, Shalawat Tarhim tidak “wajib” menggunakan karangan Syeikh Mahmud Al-Husshari, tapi bisa memakai bacaan apa saja dengan tujuan membangunkan shalat shubuh, shalat tahajjud, sahur, dan lain-lain. Bahkan ada masjid yang membaca “tarhim” dengan mengulang-ngulang hadits sbb:
تَسَحَّرُوا فَإنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ
“Sahurlah kalian, karena sahur itu membawa berkah“.
Ada juga masjid atau mushala yang “hanya” memutar ayat-ayat Al-Qur’an. Mungkin agar lebih mudah dan praktis. Yang jelas, pada bulan Ramadhan, di sela-sela Qira’ah atau Tarhim biasanya diselingi seruan untuk sahur (baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah). Hal ini menunjukkan bahwa bacaan Al-Qur’an atau Shalawat Tarhim tersebut, pada dasarnya bertujuan menuntun kaum Muslimin untuk shalat atau makan sahur.
Mengenai dalil tarhim (atau bacaan al-Qur’an dan seruan-seruan sebelum Shubuh), dapat dipilah menjadi dua bagian. Yang pertama ialah dalil tentang bolehnya menyeru Umat Islam agar bangun sebelum Shubuh:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُورِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda: Kalian tak perlu mencegah Bilal untuk azan sewaktu sahur, karena azan itu bertujuan untuk mengingatkan siapa saja yang masih berjaga dan juga membangunkan yang tertidur. (Fathul Bari, Syarh Shahih al-Bukhari, Juz II, hlm 244)
Al-Hafizh Ibnu Hajar menambahkan: “Pernah terjadi sebelum waktu shubuh dan bukan hari Jum’at, bacaan tasbih dan shalawat, bukan azan, baik dari sisi bahasa maupun agama.”
Dalam Fiqhus Sunnah Juz I, hlm 221-222 dijelaskan bahwa di dalam hadits-hadits lain diterangkan, tarhim yang disuarakan keras itu memang baik. Namun jika disuarakan pelan, itu lebih baik, terutama bila dikhawatirkan akan muncul sikap riya’ (pamer) atau mengganggu orang yang sedang shalat tahajjud. Namun, selagi tidak ada unsur-unsur tersebut, maka tarhim dengan suara keras akan lebih baik agar Kaum Muslimin bias terbangun dari tidur.
Kemudian dalil kedua berkaitan dengan kebolehan memuji Rasulullah SAW, sebagaimana tersurat dalam Shalawat Tarhim ciptaan Syeikh Mahmud Al-Husshari. Banyak sekali hadits-hadits yang membolehkan kita (Umat Islam) memuji Rasulullah SAW, dengan pujian yang wajar, tidak berlebihan (okultisme), dan faktual. Di sini hanya kami kutipkan sebagian saja, karena keterbatasan halaman: Suatu hari, Rasulullah SAW melakukan Thawaf mengelilingi Ka’bah. Lalu beliau melihat seorang Arab Badui yang juga Thawaf sambil menyeru: “Ya- Kariim!”. Maka Nabi pun mengucapkan “Ya Kariim” di belakangnya. Kemudian, ketika si Arab Badui berpindah ke Rukun yang Kedua, dia tetap menyeru: “Ya Kariim”. Maka Nabi pun menirukan “Ya Kariim”. Kemudian si Arab Badui mendekat ke Hajar Aswad dan berdo’a: “Ya Kariim”, lalu Nabi kembali mengikuti dan mengucapkan: “Ya Kariim”. Maka si Arab Badui menoleh dan berkata: “Adakah kamu mentertawakan aku? Seandainya bukan karena wajahmu yang bercahaya dan penuh keramahan, pasti kamu sudah kuadukan kepada kekasihku, Muhammad!!”. Rasulullah SAW berkata:”Apakah Engkau belum mengenal Nabimu, wahai saudara Arabku?” Orang Badui itu berkata:”Demi Allah, aku beriman kepadanya padahal aku belum pernah mengenalnya sejak aku memasuki Mekah. Aku juga belum pernah menjumpainya”. Kemudian Nabi SAW berkata: “Aku ini (Muhammad) Nabimu, wahai saudara Arabku”. Mendengar pengakuan itu, Sang Badui segera memeluk dan mencium tangan Nabi seraya berkata: “Bapak dan Ibuku sebagai penebusmu, wahai Sang kekasihku.”
Membangunkan umat Islam untuk sahur, tahajjud, atau shalat Shubuh hukumnya mubah (boleh), dan sebaiknya dilakukan beberapa saat menjelang waktu Shubuh (menjelang pagi hari, bukan dini hari karena bisa mengganggu orang tidur). Bacaan atau seruannya boleh memakai ayat Al-Qur’an, shalawat, atau bahkan memakai bahasa daerah.
Jika seruannya menggunakan shalawat, boleh memakai shalawat yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW (wurud ‘an an-Nabi) atau shalawat yang berisi pujian yang wajar dan faktual kepada Nabi SAW. Bukan pujian yang berlebihan atau bersifat okultis (menuhankan).
Teks dan Terjemahan Shalawat Tarhim
الصلاة والسلام عليك
يا امام المجاهدين
يا رسول اللهالصلاة والسلام عليك
يا نا صرالهدى
يا خير خلق الله
الصلاة والسلام عليك
يا ناصر الحق يا رسول الله
الصلاة والسلام عليك
يامن اسرى بك المهيمن ليلا نلت ما نلت والانام نيام
وتقدمت للصلاة فصلى كل من في السماء وانت الامام
والي المنتهى رفعت كريما وسمعت النداء عليك السلام
يا كريم الاخلاق
يا رسول الله
صلي الله عليك
وعلي اليك واصحابك اجمعين
Ashshalâtu wassalâmu ‘alâik, yâ Imâmal Mujâhidîn yâ Rasûlallâh
(Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, duhai pemimpin para pejuang, ya Rasulullah).
Ashshalâtu wassalâmu ‘alâik, yâ Nâshiral Hudâ yâ Khaira Khalqillâh
(Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, duhai penuntun petunjuk Ilahi, duhai makhluk yang terbaik).
Ashshalâtu wassalâmu ‘alâik, yâ Nâshiral Haqqi yâ Rasûlallâh
(Shalawat dan salam semoga tercurahkan atasmu, duhai penolong kebenaran, ya Rasulullah).
Ashshalâtu wassalâmu ‘alâik, yâ Man asrâ bikal Muhaiminu lailan
(Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari, Dialah Yang Maha Melindungi).
Nilta mâ nilta wal anâmu niyâmu
(Engkau memperoleh apa yang kau peroleh, sementara semua manusia tertidur).
Wataqaddamta lishshalâti fashallâ
(Dan engkau beranjak untuk shalat, maka engkau pun melakukan shalat).
Kullu man fissamâ-i wa Antal Imâmu
(Semua penghuni langit melakukan shalat di belakangmu, dan engkaulah yang menjadi imamnya).
Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman
(Engkau diberangkatkan ke Sidratul Muntaha karena kemulianmu).
Wasami’ta nidâ-an ‘alaikassalâm
(Dan engkau mendengar ucapan salam atasmu).
Yâ karîmal akhlâq, yâ Rasûlallâh
(Duhai yang paling mulia akhlaknya, ya Rasulullah).
Shallallâhu ‘alaika, wa‘alâ âlika wa ashhâbika ajma’în
(Semoga shalawat senantias tercurah atasmu, keluargamu dan semua sahabatmu).
No comments:
Post a Comment