Sunday, April 1, 2018

Dengan Madzhab, Agama Menjadi Maslahat



Oleh: KH Ahmad Ishomuddin

Dalam beragama (Islam) kita sering mendengar ada sebagian muslim yang menyatakan bahwa dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran agama kita tidak perlu menganut madzhab imam tertentu karena cukup langsung merujuk kepada al-Quran dan al-Sunnah. Karena kedangkalan ilmunya maka mereka menyangka bahwa para mujtahid atau imam madzhab dalam beragama itu tidak berpedoman, melanggar keduanya atau memahami agama tanpa dalil dan tanpa metode. Jadi, dalam beragama perlukah kita bermadzhab, dan apakah hakikat bermadzhab itu?

Setahu saya dalam berbagai referensi Ilmu Ushul al-Fiqh terdahulu kita tidak menemukan kata "al-tamadzhub (menganut madzhab)". Namun dengan meneliti secara cermat berbagai literatur sejarah (tarikh dan thabaqat al-'ulama') kita bisa mendapati para ulama yang menisbatkan diri kepada madzhab tertentu, sebagaimana lazim disebutkan di belakang namanya. Tak terhitung banyaknya ulama yang secara terang-terangan mengikuti madzhab fikih tertentu.

Apa sesungguhnya hakikat bermadzhab itu?
Berikut ini beberapa kutipan dari pendapat ulama dan sedikit ulasan saya untuk menyingkap apa hakikat bermadzhab itu.

(1) Al-Imam Taj al-Din al-Subki dalam Kitab Jam'u al-Jawami', jilid 2, hal. 123 menyatakan,

التزام غير المجتهد مذهبا معينا يعتقده أرجح أو مساويا لغيره

"Berpegang teguhnya selain mujtahid kepada madzhab tertentu yang diyakininya lebih kuat atau setara dengan selainnya."

Komentator dari kitab tersebut seperti Badr al-Din al-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami', jilid 4, hal. 619 dan Waliy al-Din al-'Iraqi dalam al-Ghaits al-Hami', jilid 3, hal. 905 menjadikan pernyataan Taj al-Subki di atas sebagai definisi dari al-tamadzhub (bermadzhab).

Menurut al-'Aththar dalam Hasyiyah al-'Aththar  'ala Syarh al-Mahalli 'ala Jam' al-Jawami', jilid 2, hal. 440 saat memberikan catatan atas kata "iltizam" menyatakan bahwa arti "iltizam" adalah orang yang bermadzhab itu dalam menghadapi suatu perkara (kasus hukum) tidak mengambil (mencari jawaban) kecuali pada madzhab tertentu.

(2) Al-Syaikh Ramadlan al-Buthi dalam kitab berjudul Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid'atin Tuhaddid al-Syari'ah al-Islamiyyah, halaman 11 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bermadzhab (al-tamadzhub) adalah:

أن يقلد العامي أو من لم يبلغ رتبة الإجتهاد مذهب إمام مجتهد سواء التزم واحد بعينه أو عاش يتحول من واحد على آخر

"Bertaklidnya orang awam atau orang yang belum mencapai peringkat mampu berijtihad kepada madzhab imam mujtahid, baik ia terikat pada satu madzhab tertentu atau ia hidup berpindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya."

Definisi ini memasukkan orang awam dalam status bermadzhab. Sebab cukup dimaklumi bahwa apakah orang awam harus bermadzhab atau tidak adalah tergolong masalah khilafiyah (yang tidak disepakati para ulama).

(3) Jibril Migha mendefinisikan al-tamadzhub sebagai berikut:

اتخاذ عالم مذهبا له يتبعه ويلتزمه في الأصول والفروع دون غيره من مذاهب المجتهدين الآخرين أو انتسابا فقط

"Orang alim yang menganut madzhab mujtahid sebagai madzhabnya, ia ikuti dan ia berpegang teguh kepadanya dalam al-ushul dan al-furu' (fikih), bukan kepada selainnya dari beberapa madzhab para mujtahid lainnya atau menisbatkan diri saja".

Definisi yang cukup komprehensif di atas menjelaskan, bahwa bermadzhab itu hanya absah bagi orang yang mampu mengenali madzhab imamnya di antara beberapa madzhab lainnya, mampu untuk ber-istidlal (menalar dan mengupayakan dalil) madzhabnya dan mampu membelanya.

Bermadzhab model ini adalah dengan menguasai ilmu-ilmu dalam madzhab imamnya, baik berupa al-ushul (dalil-dalil dalam madzhab imamnya) maupun al-furu' (masalah-masalah syar'iyyah praktis yang eksistensinya tidak diketahui secara pasti dalam agama/fikih) atau mengikuti hanya karena menisbatkan diri kepada madzhab tertentu.

Jadi, menurut sebagian ulama al-ushul bahwa bermadzhab itu tidak berlaku absah bagi kalangan awam, sedangkan yang sah bagi mereka adalah bertaklid, karena mengetahui dalil suatu peristiwa hukum telah mengeluarkannya dari lingkaran taklid. Sedangkan dalam bermadzhab mengetahui dalil tidak mengeluarkannya dari bermadzhab.

Bermadzhab itu sangat penting bagi orang beragama agar pemahaman dan praktik agamanya benar. Karena bermadzhab merupakan metode untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapi dengan merujuknya pada fikih madzhab tertentu yang dianut atau upaya penyimpulannya dilakukan berdasarkan ushul al-madzhab yang diyakininya.

Hakikat kebenaran dalam Islam, khususnya yang berkaitan erat dengan al-ahkam al-ijtihadiyah (hukum-hukum praktis hasil ijtihad) akan lebih aman, terjaga, selamat dari kekeliruan pemahaman, jauh dari ketersesatan dan lebih maslahat apabila dalam beragama umat Islam bersedia mengikuti dan terikat kepada salah satu dari madzhab yang empat (madzhab: al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi'i atau al-Hanbali), karena para imam madzhab (mujtahidun) itu telah disepakati para ulama paling memiliki otoritas dan lebih bisa dipercaya dalam menafsirkan sumber utama hukum Islam, yakni al-Quran dan al-Sunnah, dan merekalah ulama yang diberi kewenangan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjelaskan kebenaran agama Islam kepada kita semua. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris ilmu dan amalan para nabi terdahulu yang wajib kita ikuti dan harus kita hormati.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...