Sunday, April 8, 2018

KH. Abdullah Faqih: Sang Penyangga Tanah Jawa


Oleh Suryana Sudrajat

Gus Mus atawa K.H. Mustofa Bisri menyebut K.H. Abdullah Faqih sebagai salah satu dari tiga penyangga Tanah Jawa selain Kiai Abdullah Salam dari Kajen, Pati, Jawa Tengah, dan Kiai Abdullah Abbas dari Cirebon, Jawa Barat. (Mungkin sebuah kebetulan ketiga kiai khos itu punya nama depan Abdullah, yang berarti hamba Allah). Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur, ini memang kerap menjadi rujukan di kalangan Nahdliyin, terutama yang menyangkut kepentingan politik. Warga NU sendiri menyebut Kiai Faqih sebagai salah satu kiai khos, atau kiainya kiai, yang menjadi pandu umat ketika menghadapi persoalan.

Kedudukan Kiai Faqih selaku pengasuh pondok pesantren, tidak menghalanginya untuk terlibat dalam persoalan yang dihadapi bangsa. Pada tahun 1998 misalnya, ia mengumpulkan para kiai untuk menyikapi krisis ekonomi pada waktu itu. Salah satu rumusan yang dihasilkan pertemuan itu adalah meminta dengan hormat kepada Presiden Soeharto untuk turun dari jabatan. Dan menurut Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, Kiai Faqih adalah sosok yang berada di balik majunya Gus Dur sebagai calon presiden RI, dan kemudian terpilih dengan mengalahkan calon lain yaitu Megawati, yang diusung partainya, PDI Perjuangan yang menjadi pemenang pemilu kala itu. Menurut Saifullah Yusuf yang juga keponakan Gus Dur, Kiai Faqih termasuk yang ikut menggagas munculnya Poros Tengah yang mengusulkan K.H. Abdurrahman Wahid menjadi presiden.

Abdullah Faqih lahir 2 Mei 1932 di Tuban, Jawa Timur, dari pasangan Kiai Rofi’i dan Nyai Khodijah. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dua adik Faqih adalah Khazin dan Hamim. Sejak kecil Faqih berada di bawah kepengasuhan dan pengarahan K.H. Abdul Hadi Zahid selaku pengasuh Pondok Pesantren Langitan generasi ke empat. Kiai Rofi’i (adik K.H. Abdul Hadi Zahid) wafat saat Faqih berusia tujuh tahun, dan kemudian ibunya Nyai Khodijah dinikahi oleh K.H. Abdul Hadi Zahid.

Setelah belajar dari ayah dan pamannya di Langitan. Dengan menguasai beberapa kitab kuning, Abdullah Faqih kemudian belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Selama dua setengah tahun ia mondok di Lasem, Ia belajar kepada beberapa kiai, di antaranya K.H. Baidhawi, K.H. Ma’sum, K.H. Fathurrahman, K.H. Maftuhin, K.H. Manshur, K.H. Masdhuqi. Sementara di Tuban, ia berguru K.H. Abu Fadhol, kemudian Ia melanjutkan pengembaraan ke pondok-pondok lain di antaranya di pesantren Watu Congol, Magelang, yang diasuh oleh K.H. Nahrowi Dalhar.

Setelah beranjak dewasa, Faqih dipinang oleh K.H. Ma’shum untuk menjadi menantunya yang akan dinikahkan dengan Nyai Hunainah binti Kiai Bisri, putri persusuan (radha’) sekaligus kemenakan K.H. Ma’sum. Bersama Nyai Hunainah, ia dikaruniai 12 putra-putri yang kelak menjadi penerus perjuangan orangtua mereka. Kembali ke Langitan dengan memboyong keluarga, Faqih langsung ikut mengabdi di pesantren. Saat itu ia dikenal dengan sebutan Gus Faqih. Ia aktif mengajar dan mulai ikut menata keberadaan pondok. Dalam pengabdiannya, ia pernah menjadi lurah pondok dan banyak memberikan warna dalam pemikiran serta pengembangan pesantren. Selain mendapat tugas di Pondok, K.H. Abdul Hadi mengutusnya untuk berdakwah keluar dan memberi pengajian-pengajian agama kepada masyarakat. Dengan bekal ilmu dakwah dan retorika secara autodidak, gaya pidatonya banyak disukai masyarakat. Ia memiliki bahasa yang santun dan berisi. Banyak orang simpati dengan model pidatonya. Cara mengarahkan yang halus dan kritiknya masih mengedapankan bahasa budi sehingga orang yang dikritik merasa tidak direndahkan.

Pada 1971 Kiai Abdul Hadi meninggal dunia, dan Gus Faqih pun mendapat tugas mengasuh pesantren bersama pamannya yang lain, yaitu K.H. Ahmad Marzuqi. Selama mengasuh pesantren, Kiai Faqih merumuskan empat pilar kepengurusan pesantren, yaitu: Majelis Idarah, Majelis An-Nuwwab, Majelis Tahkim, dan Majelis Amn. Majelis pertama memiliki peranan yang vital, ia merupakan badan pelaksana dari penanggung-jawab keseharian kegiatan pesantren. Majelis kedua merupakan badan perundang-undangan yang berfungsi sebagai perumus aturan, penafsir aturan, dan penelaah ulang. Majelis ketiga adalah badan peradilan, yang melaksanakan sidang-sidang pelanggaran santri. S Majelis keempat adalah badan keamanan dan ketertiban, yang berfungsi sebagai stabilisator keadaan pesantren agar tetap aman, damai, dan kondusif.

Kiai Faqih memang lebih banyak menjalani waktunya di pesantren. Namun demikian, ia juga membangun jaringan dengan ulama dari mancanegara. Banyak ulama dan cendekiaan yang datang berkunjung ke Langitan untuk memberikan ijazah kitab-kitab atau ceramah keilmuan. Di antara nama ulama yang menjalin hubungan dengan ia adalah Syaikh Yasin al-Fadani, Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani (Mekah), Habib Salim as-Sathiri (Yaman), Habib Umar bin Muhammad bin Salim (Hadramaut, Yaman), Syaikh Prof. Dr. Shalahuddin Kaftaru (Syria), Habib Zain bin Ibrahim bin Smith (Madinah), Habib Baharun (Yaman), dan lain-lain.

Boleh dikatakan kehidupan sehari-hari Kiai Faqih sangat sederhana. Ia menerapkan prinsip wira’i (menjaga diri) sebagaimana gurunya Kiai Ma’shum Lasem. Kiai Ma’shum dikenal sangat hati-hati dalam menerima rizki, terutama yang dikonsumsi. Begitupun yang berusaha dia terapkan dalam kehidupan keluarganya. Kiai Faqih berhati-hati dalam masalah rizki. Sampai-sampai dalam hal makanan sehari-hari ia hanya makan nasi dan sambal korek. Dalam masalah berpakaian juga sama. Kiai Faqih, sampai wafat tidak memiliki sarung lebih dari tiga, padahal jika menghitung hadiah dari para tamu, berapa saja jumlahnya, ia menerima dan langsung ia berikan kepada yang lain.

K.H. Abdullah Faqih pulang ke rahmatullah pada 29 April 2012 dalam usian 80 tahun, usai shalat magrib.

Sumber: Sholeh Muhammad Hasyim, Potret dan Teladan Syaikhina K.H. Abdullah Faqih (2012)

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...