Saturday, April 7, 2018

Penyebab Radikalisme dan Fundamentalisme


Oleh Luna Atmowijoyo

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, dalam dekade terakhir ini, fundamentalisme dan radikalisme agama meningkat dengan sangat tajam di Indonesia. Agama tidak lagi menjadi konsumsi privat antara individu dengan spiritualitasnya[1] sendiri, namun mulai masuk ke dalam ranah publik dan mempengaruhi pengambilan kebijakan publik, seperti penerapan syariat Islam di Aceh, semakin meningkatnya populisme[2] yang mencoba meraup suara kalangan Muslim puritan, dan masih banyak lagi.

Bahkan kelompok-kelompok yang dengan nyata menunjukkan kerinduan mereka akan penerapan syariat Islam di Indonesia dengan bebasnya meneriakkan ideologi Islamisme[3] yang mereka anut. Lalu bagaimanakan mengatasi fenomena radikalisme yang mulai mengancam kedaimaian kehidupan bermasyarakat di Indonesia, pertama-tama kita harus melihat latar belakang terjadinya hal tersebut.

a) Solidaritas berbasis identitas kelompok yang mengakibatkan selective thinking[4]

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).

Artinya: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR. Muslim).

Hampir semua muslim akrab dengan hadits ini. Sekilas, hadits ini nampak baik karena mengandung pesan persatuan. Namun sayangnya persatuan yang dimaksudkan dalam hadits ini hanya untuk mereka yang memiliki identitas keagamaan yang sama. Akibatnya, dalam melihat suatu kasus sebagian kaum Muslimin menjadi memiliki pola pikir selektif dan berpihak pada satu pihak saja. Misalnya dalam kasus pembangunan tempat ibadah yang mendapatkan penolakan dari kaum Muslimin dengan dalih minoritas harus tau diri. Tetapi dalam kasus lain, jika terjadi pelarangan pembangunan masjid di daerah mayoritas non Muslim, maka dianggap sebagai suatu kezaliman.

Dalam skala global, kaum Muslimin juga cenderung lebih fokus dalam melihat penderitaan mereka yang sesama muslim seperti dalam konflik palestina, suriah, irak, dll. Sedangkan kesulitan hidup negara lain yang mayoritas non muslim tidak diperhatikan. Lalu dengan pengetahuan mereka yang selektif itu, mereka menyimpulkan bahwa umat Islam memang selalu menderita dan menjadi bulan-bulanan.

b) Mentalitas korban

Salah satu penyebab meningkatnya radikalisme Islam adalah karena mentalitas korban yang disebabkan oleh dalil berupa ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menempatkan kaum Muslimin pada posisi korban yang diintai dan diincar oleh kelompok lain. Dalil tersebut antara lain:

وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan ridha’ kepadamu hingga kamu mengikuti millah (jalan/jejak) mereka” (QS. al-Baqarah: 120).

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745)

Dalil-dalil diatas secara tidak sadar membuat sebagian kaum Muslimin merasa bahwa mereka adalah target dari invasi ideologi asing, mereka takut akan diperebutkan dan diperalat untuk kepentingan diluar Islam karena mereka lemah dan tidak bersatu dalam identitas keIslaman mereka. Sehingga muncul reaksi antisipatif dalam bentuk persatuan kaum Muslimin yang termanifestasikan dalam bentuk penolakan terhadap hal-hal yang dianggap bertujuan untuk menghancurkan umat Islam, antara lain seperti menolak memilih pemimpin non Muslim, bermualah dengan non Muslim seminimal mungkin atau berusaha meningkatkan kemampuan ekonomi bebasis identitas keIslaman dalam bentuk koperasi atau badan usaha syariah sehingga uang mereka tidak dibelanjakan ke badan usaha yang dimiliki oleh non Muslim.

c) Romantisasi Generasi Ghuraba[5] yang menyebabkan alienasi[6]

Syari’at Islam mengatur banyak faktor mikro dalam kehidupan, hal-hal sederhana seperti bagaimana cara makan, tidur, buang air, berinteraksi dengan lawan jenis, hingga soal bulu ketiak dan kemaluan. Micro management yang sangat detail dan menyusahkan seperti jangan sampai tersentuh tangan penjual non mahrom ketika memperoleh kembalian, dianggap aneh karena pakaian yang serba tertutup, dianggap aneh karena anti bank konvesional justru membuat mereka merasa bahwa mereka sudah berada di jalan yang benar. Sebagaimana hadits berikut:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam datang dalam keadaan asing dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana kedatangannya, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim)

Dan bahwa mereka yang tidak mengerti dengan cara hidup mereka adalah orang belum paham agama dan dangkal aqidahnya. Akibatnya bukannya berpikir mengenai bagaimana agama seharusnya membawa ketentraman bagi pemeluknya, mereka malah semakin hidup teralienasi dari masyarakat awam. Alienasi ini kemudian menjadikan mereka lebih senang bergaul dalam kelompok yang homogen.

d) Homogenitas[7]

Sebagian umat Muslim masih menganggap bahwa non muslim adalah najis dan memiliki pemikiran sesat sehingga sebisa mungkin menghindari hal tersebut. Selain itu cara hidup kaum Muslimin yang penuh dengan micro management juga mengakibatkan eksklusifitas pergaulan mereka, seperti tidak menginginkan tetangga yang memelihara anjing, tidak ingin mendengar nyayian puji-pujian dari rumah lain jika hidup dalam permukiman padat penduduk, tidak ingin sungkan menolak hantaran kue natal dari tetangga, tidak ingin anak terbawa pemikiran non muslim tetangga, dll.

Lingkungan homogen membuat orang-orang yang berada di dalamnya kurang berpikiran luas, melihat sesuatu hanya dari satu perspektif, rawan untuk mengikuti arus, serta mudah curiga kepada orang yang berasal dari luar lingkungan mereka.

e) Kebutuhan Transendental[8]

Sebagian dari kita sudah paham bahwa kampus-kampus negeri favorit banyak menjadi arena kaderisasi radikalisme. Padahal banyak stigma yang menggambarkan kalangan radikal banyak yang berasal dari golongan tidak mampu yang berpenghasilan rendah. Nyatanya banyak juga dari mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan dan berpendidikan.

Malsow dalam hierarchy of needsnya menggambarkan bahwa manusia memiliki tahapan kebutuhan yang harus dipenuhi dan pada puncaknya, kebutuhan tersebut adalah kebutuhan transedental. Orang-orang yang sudah berkecukupan ini banyak yang ingin mencari makna lain dalam kehidupan selain hanya untuk bertahan hidup atau hal-hal duniawi. Mereka mendambakan hal-hal yang melampaui kebutuhan itu, dan sebagian menemukannya dalam agama. Namun tidak cukup di situ, mereka juga mendambakan romantisme perjuangan sehingga membuat gerakan terorganisasi untuk mulai menyebarkan paham mereka.

f) Kemampuan literasi dan critical thinking[9] yang rendah

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, pendidikan di Indonesia sangat jauh dari ideal. Murid lebih ditekankun untuk hormat dan patuh kepada guru daripada mengajukan pertanyaan kritis. Hafalan untuk mendapatkan nilai ulangan yang baik, lebih diutamakan daripada pemahaman. Dalam lingkungan rumahpun, anak dididik untuk menurut pada orang tua dan tidak boleh banyak protes dan bertanya.

Apalagi dalam agama, semua ajaran dan dalil di dalam agama tidak boleh dipertanyakan, sebagaimana prinsip sami'na wa atho'na (saya dengar dan saya taat). Akibatnya, banyak yang menelan ajaran agama mentah-mentah. Apalagi dengan semakin mewabahnya obsesi menghafalkan qur’an, banyak orang yang hanya fokus pada bahasa arab yang dihafalkan layaknya mantra daripada melihat secara objektif ajarannya, apalagi untuk mengkritisi dogmanya.

Daftar Istilah:
[1] Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu sendiri, sebagian merepresentasikannya dengan Tuhan.
[2] Pupolisme adalah filsafat politik yang berpihak pada kepentingan mayoritas.
[3] Islamisme adalah ideologi yang menganggap bahwa syariat adalah hukum dari Tuhan yang harus diterapkan dalam tataran negara.
[4] Selective thinking adalah pola pikir yang fokus pada hal yang sesuai dengan keyakinan dan kepentingannya, namun mengabaikan fakta lain yang bertentangan dengan keyakinan dan kepentingannya.
[5] Ghuroba, artinya asing. Berasal dari hadits nabi bahwa mereka yang memegang ajaran Islam akan menjadi orang asing. Namun keterasingan itu justru memuliakan mereka
[6] Alienasi adalah proses menuju keterasingan
[7] Homogenitas adalah keseragaman dalam lingkungan sosial
[8] Transendental sesuatu yang melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah. Hal-hal yang transenden bertentangan dengan dunia material.
[9] Critical Thinking adalah kemampuan berpikir konsep yang matang dan mempertanyakan segala Sesuatu yang tidak tepat dengan cara yang baik.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...