Friday, July 20, 2018

Mualaf Rasa Misionaris


Mualaf secara istilah berarti orang yang baru memeluk Islam. Karena mualaf baru saja tunduk, patuh dan pasrah terhadap ajaran Islam maka keimanannya masih lemah dan rentan sehingga mualaf termasuk asnaf (golongan) yang berhak mendapatkan zakat fitrah sebagaimana dalam Q.S At-Taubah: 60.

Umumnya, mualaf masih minim pengetahuan keislaman sehingga perlunya untuk terus belajar agar kualitas keislamannya meningkat. Kalaupun mualaf punya semangat menggebu-gebu dalam mempelajari ajaran Islam bukan berarti ia lantas ahli dalam keislaman yang kemudian mendadak disebut ustadz dan menempati level ulama. Untuk disebut sebagai ustadz atau ulama tak cukup hanya dengan semangat menggebu-gebu dan nafsu besar belajar agama apalagi belajar instan lewat mbah google, eyang youtube dan al-Qur'an terjemahan. Terlalu hina jika level keustadzan dan keulamaan hanya ditimbang dengan belajar instan tanpa sanad keilmuan. Ada tingkatan dan jenjang akademik minimal pengetahuan agama yang cukup untuk disebut sebagai ustadz terlebih ulama.

Jika belajar instan kemudian bisa mendadak ustadz dan mendadak ulama, lantas apa gunanya para santri bertahun-tahun bahkan puluhan tahun belajar dipesantren? Mereka yang separuh hidupnya untuk nyantri saja sangat tawadhu' (rendah hati) dan enggan disebut ustadz dan ulama. Apa guna gelar akademik jika cukup hanya dengan belajar terjemahan lantas diakui sebagai ahli agama? Jika gelar akademik dan belajar dipondok pesantren saja tidak menjamin menjadi ahli agama, terlebih yang belajar hanya modal copas akan sulit untuk disebut sebagai ustadz dan ulama karena keilmuannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Anehnya, saat ini ada mualaf yang baru kemarin sore kenal Islam mengaku sebagai ustadz sehingga merasa sebagai ahli agama. Menurutnya, hanya dia dimuka bumi ini yang paling ahli dalam hal agama. Merasa dirinya dan kelompok pengikutnya yang ahli surga dan pejuang Islam sejati. Diluar kelompoknya, dia anggap semuanya sesat, musuh Islam, munafik dan menentang penegakan syariat Islam.

Tak tanggung-tanggung, kiai sepuh dan ulama yang selama ini memiliki kapasitas nasional dan internasional semuanya kecil dihadapannya. Dia anggap tak satupun ulama sepuh dinegeri ini yang mampu menandingi ketinggian dan kesucian ilmunya. Betapa sombong dan congkaknya, dia nyatakan bahwa semua yang setuju dengan konsep Islam Nusantara adalah pengikut kaum Luth. Sungguh caci maki yang tidak layak disandingkan dirinya sebagai mualaf. Apakah dirinya tidak sadar bahwa konsep Islam Nusantara adalah kesepakatan bersama dari kiai-kiai sepuh Nahdlatul Ulama? Ataukah dirinya telah mewarisi kaum khawarij abad ini yang menghalalkan segala cara untuk mencerca umat Islam diluar golongannya?

Kian nampak jelas bahwa kemualafannya hanya sekedar kedok untuk memerangi umat Islam diluar golongannya. Identitas kemualafannya hanya sekedar topeng untuk merusak umat Islam Nusantara yang selama ini damai dalam perbedaan dan toleransi. Memeluk Islam namun bercita-cita merusak NKRI dan bersyahwat mengganti ideologi Pancasila.

Anehnya, banyak kaum yang merasa suci tertipu dengan topeng mualafnya. Dipuja-puja sebagai ulama pejuang syariat dan khilafah. Tertipu karena pemahaman agamanya yang tanggung dan prematur. Perusak NKRI namun bersembunyi dengan topeng manusia religius. Tak ubahnya sebagaimana PKI yang juga kaum perusak NKRI. Bedanya, jika PKI menafikan agama sedangkan dirinya berjubah agama dan bersilat lidah dengan ayat suci.

Tak heran, setelah harakahnya (HTI) dibubarkan oleh Pemerintah, dia dan pengikutnya semakin panik dan kehilangan akal sehat. Yang penting hujat sana-sini agar dianggap pahlawan pemberani, tetap punya pengikut walau dalam keadaan mabuk. Ya, bukan sembarang mabuk tapi ini adalah mabuk agama. Agama tanpa guru dan sanad yang jelas, seolah menyelamatkan namun hakikatnya mencelakakan dirinya dan banyak orang.

Mualaf itu seharusnya rendah hati karena sadar akan kekurangan dirinya. Senantiasa memperbaiki diri dan belajar tanpa henti kepada ulama-ulama yang lebih alim darinya. Sadar bahwa sebanyak apapun ilmu agama takkan mampu menandingi tokoh Islam yang sejak lahir sudah muslim apalagi mereka-mereka yang puluhan tahun belajar di Pesantren. Mualaf tentu tak lebih dalam keilmuannya jika dibandingnya dengan seorang santri.

Hidayah mualaf seharusnya dapat menjadi penyelamat bagi dirinya dan umat Islam yang lain. Sikapnya dan lidahnya tak serampangan menuduh jahat kepada umat Islam yang lebih dulu muslim dibandingkan dirinya. Kemualafannya hendaknya menjadi perekat persatuan bagi bangsanya. Bukan sebaliknya, status kemualafan hanya simbol perlawanan terhadap NKRI. Akhirnya, yang muncul dari lisannya hanya teriakan kafir, thaghut hingga nasioalisme tiada dalilnya. Luarbiasa, ulama pendiri bangsa ini terasa hina dihadapannya seolah tak paham agama, tak paham ajaran Islam.

Jika kemualafannya hanya menjadi kisruh untuk merongrong NKRI, lantas apa manfaatnya? Jika masuknya Islam hanya menghembuskan kebencian terhadap Pemerintah, Pancasila, Demokrasi dan Nasionalisme lantas apa gunanya memeluk Islam? Jika menjadi Islam hanya menghadirkan sikap takfiri dan menuduh sesat kesana-kemari kepada ulama pendiri bangsa, mengapa harus bertopeng dengan ajaran Islam? Jika yang belum mualaf atau non-muslim saja dapat bertoleransi dan menerima nasionalisme negeri ini dengan suka cita, mengapa ini yang mengaku mualaf lebih kacau pemahamannya. Atau memang dirinya hanyalah misionaris perusak negeri ini?

Tidak salah dengan kemualafannya. Tidak salah dengan status keislamannya. Namun yang bermasalah adalah memahami Islam dengan kekacauan tanpa guru dan sanad yang memadai. Ketidaktepatannya adalah belajar Islam dari pintu radikal. Belajar Islam dari golongan pewaris kaum khawarij. Sungguh sangat berbahaya.

Masihkah kita diam dengan mualaf model semacam ini? Masihkah kita abai dengan mualaf yang kerjaannya hanya melakukan provokasi dan mengumbar syahwat khilafah? Tak terhitung sudah berapa kali mualaf rasa misionaris ini menghina dan merendahkan para pemimpin dan ulama pendiri bangsa. Kita tidak ingin negeri ini kacau hanya karena membiarkan mualaf khawarij pengasong khilafah ini terus bergentayangan menebarkan teror.

Untuk mereka yang mualaf, bersyukurlah telah menemukan agama yang damai dan penuh cinta kasih. Tak cukup hanya berbangga hati dan seolah paling mendapat hidayah karena hidayah Tuhan sangatlah luas yang Dia anugerahkan kepada yang Dia kehendaki. Raihlah pintu hidayah melalui jalan dan orang-orang yang rendah hati, guru-guru yang moderat dan bersemangat dalam toleransi. Jangan melalui pintu radikal sebab kemualafannya hanya akan merusak agama dan persatuan bangsa.



No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...