Saturday, August 11, 2018

Mengapa Harus Memilih Aswaja An-Nahdliyah (NU)?


Sejak awal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), organisasi ini telah menjelaskan jati dirinya sebagai institusionalisasi Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia. Sebagaimana tercatat dalam dokumen resmi Statuen Perkoempoelan Nahdlotoel ‘Oelama, NU menegaskan maksud utamanya yang mencerminkan identitas diri sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah.  Dalam dokumen tersebut dinyatakan:

“Fatsal 2: Adapoen maksoed perkoempulan ini jaoetu:  “Memegang tegoeh pada salah satoe dari madzhabnya Imam ampat,  jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboehanifah An-Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam.”

Hal ini seiring penjelasan Raisul Akbar NU, Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, dalam berbagai karyanya tentang siapa sebenarnya Ahlussunnah wal Jamaah. Namun di kalangan masyarakat, Ahlussunnah yang sudah sangat jelas terkaburkan dengan adanya klaim-klaim baru seputar Ahlussunnah wal Jama’ah dan upaya-upaya pengaburan (tasykik) tentang siapa sebenarnya Ahlussunnah wal Jama’ah. Sehingga terjadi perebutan identitas Ahlussunnah wal Jama’ah di antara banyak kalangan, baik di lingkup Nusantara maupun dalam lingkup internasional yang lebih luas.

Dalam konteks inilah diperlukan adanya pembahasan secara komprehensif mengenai mengapa umat Islam harus merujuk kepada Ahlussunnah wal Jama’ah dan siapakah sebenarnya mereka? Harapannya rumusan yang dihasilkan menjadi rujukan kokoh sekaligus praktis bagi semua kalangan.

Ulama Sebagai Rujukan dalam Memahami al-Qur’an dan al-Hadits

Bagi umat Islam, merujuk pada al-Qur’an dan al-Hadits merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar. Namun demikian, untuk memahami keduanya tentu tidak semudah membaca buku referensi lainnya. Al-Qur’an dan al-Hadits memiliki kandungan makna yang sangat luas, berkait erat dengan sejarah diturunkannya masing-masing ayat dan kental dengan bahasa sastra yang tidak mudah dipahami dengan sekedar membaca terjemahnya. Karenanya, untuk memahaminya diperlukan berbagai disiplin ilmu. Prinsip umum yang berlaku di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bersikap secara proporsional dalam beragama. Hal ini dilakukan dengan memahami al-Qur’an dan al-Hadits melalui para ahlinya, sesuai petunjuk al-Qur’an:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ. (النحل: 43\الأنبياء: 7)

“Maka bertanyalah kepada ahli zikir (ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 34/al-Anbiya’: 7)

Menurut pakar Tafsir Ahlussunnah wal Jama’ah, al-Imam Muhammad bin Ahmad Abi Bakr al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M), maksud utama ayat ini adalah orang awam diharuskan mengikuti ulama dalam urusan agamanya sekaligus tidak boleh mengeluarkan fatwa karena keterbatasan pengetahuannya.[2] Demikian prinsip umum yang telah disepakati para ulama, selaras dengan pesan ayat al-Qur’an dan Hadits berikut ini:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا. (النساء: 83)

“Dan ketika datang kepada mereka suatu urusan dari keamanan atau ketakutan, mereka langsung menyebarkannya. Andaikan mereka mengembalikannya kepada Rasulullah r dan kepada Ulil Amri (ulama), niscaya orang-orang (ulama) yang mampu memahaminya dari mereka akan mengetahuinya. Andaikan tidak ada anugerah dan rahmat Allah bagi kalian niscaya kalian akan mengikuti setan kecuali sedikit.” (QS. an-Nisa)

عَنْ بُرَيْدَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ r: اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اِثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ. رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَلَمْ يَقْضِ بِهِ وَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ. (رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ)

“Diriwayatkan dari Buraidah t ia berkata: “Rasulullah r bersabda: “Qadhi/hakim ada tiga macam: (1) orang yang mengetahui kebenaran dan menghukumi dengannya, maka ia di surga; (2) orang yang mengetahui kebenaran lalu tidak menghukumi dengannya dan justru menyimpang dalam hukumnya, maka ia di neraka; (3) dan orang yang tidak mengetahui kebenaran lalu memberi keputusan hukum bagi manusia berdasarkan kebodohan, maka ia di neraka.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah dan disahihkan oleh al-Hakim)

Ulama yang menjadi rujukan di sini adalah orang-orang yang mengetahui berbagai hukum syariat yang menjadi standar keabsahan beragama, baik dalam bidang akidah maupun amaliah. Secara lebih jelas mereka adalah as-Salaf as-Shalih dan orang-orang yang mengikutinya. Dalam tataran praktis, hingga dewasa ini dalam bidang akidah mereka terkumpul pada mazhab Asy’ari-Maturidi dan yang sesuai dengannya, dalam bidang fikih terhimpun dalam Mazhab Empat dan dalam bidang tasawuf mengikuti pola pendekatan al-Junaid dan al-Ghazali, yang semuanya mendapatkan legitimasi ilmiah dari para ulama lintas generasi.

Mengapa Harus Mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah?

Urgensi mengikuti Ahlussunnah wal Jamaah berangkat dari petunjuk hadits perpecahan umat yang menegaskan, bahwa kelompok yang selamat dari neraka hanya Ahlussunnah wal Jam’aah, sebagaimana hadits-hadits berikut:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ r: اِفْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ؛ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ؛ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: اَلْجَمَاعَةُ. (رواه ابن ماجه)

“Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik t, ia berkata: “Rasulullah bersabda: “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka; umat Nasrani terpecah menajdai 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu golongan di surga; dan demi Zat yang diri Muhammad ada dalam kekuasaan-Nya, sungguh umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka.” (HR. Ibn Majah)

اِفْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى كَذَلِكَ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (رواه أبو داود والترمذي والحاكم وابن حبان  وصححوه)

“Umat Yahudi terpecah menjadi 71  atau 72 golongan, begitu pula umat Nasrani; dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan.” Para Sahabat bertanya: “Siapa golongan itu, wahari Rasululllah?” Beliau menjawab: “Yaitu golongan yang memedomani ajaran yang aku dan para sahabatku pedomani.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Hibban dan dishahihkan oleh mereka)

Selaras dengan ungkapan Imam al-Ghazali saat menyitir hadits:

اَلنَّاجِي مِنْهَا وَاحِدَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ: أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. فَقِيلَ: وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.

 “Golongan yang selamat dari umat Islam adalah satu golongan.” Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa mereka?” Rasulullah Saw menjawab: “Mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.” Lalu ditanyakan: “Siapa Ahlussunnah wal Jama’ah?” Beliau menjawab: “Yaitu golongan yang memedomani ajaran yang aku dan para sahabatku pedomani.”

Beberapa hadits di atas dan hadits-hadits semisalnya mengantarkan pada pemahaman, bahwa di tengah perpecahan umat Islam yang selamat hanya satu golongan, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah yang konsisten memedomani ajaran yang dipedomani Rasulullah dan para Sahabat.

Mazhab Asy’ari dan Maturidi Sebagai Representasi Ahlussunnah wal Jama’ah Sebenarnya.

Lalu siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah yang sebenarnya? Kelompok manakah di antara berbagai kelompok umat Islam yang konsisten pada ma ana ‘alaihi wa ashabi,memedomani ajaran yang dipedomani Rasulullah dan para Sahabatnya? Apa argumentasinya? Karena setiap orang dan setiap kelompok dapat mengklaim sebagai Ahlussunah wal Jama’ah.
Pertanyaan-pertanyaan ini setidaknya dapat dijawab dari tiga faktor:
1) faktor historis terkait peran al-Asy’ari dan al-Maturidi dan generasi penerusnya dalam mencounterpropaganda-propaganda yang menyimpang dari pemahaman Islam,
(2) faktor legitimasi dari para ulama ahli tauhid, ahli hadits (dan selainnya);
 (3) pendekatan empirik seputar konsistensi Asyairah dan Maturidiyyah memedomani petunjuk ulama-ulama tersebut, konsisten mewarisi dan menjaga khazanahnya dan menempuh metodologinya baik dalam permasalahan ushul maupun furu’.

Faktor Historis Peran Asy’ari dan Maturidi

Pada masa Rasulullah sebenarnya umat Islam bersatu padu dalam akidah dan amaliah keagamaannya, tanpa perbedaan yang menjurus pada jurang perpecahan dan fanatisme golongan. Pasca Rasulullah wafat, sampai masa kepemimpinan Umar bin al-Khatthab, keadaan masih kondusif dan tidak ada perbedaan signifikan. Baru mulai masa kepemimpinan Utsman bin ‘Affan, perbedaan mulai muncul dan semakin tajam ketika sampai pada kepemimpinan Ali. Pada masa inilah perbedaan yang menjurus pada perpecahan mulai mengemuka sehingga muncul Khawarij yang keluar dari ketaatan terhadap Ali t bahkan berbalik memeranginya. Di sisi yang berlawanan, munculnya Syi’ah sebagai kelompok yang berlebihan dalam mencintai dan fanatik terhadapnya.

Tak terhindarkan, kemudian kedua golongan tersebut terpecah ke dalam berbagai golongan dan masing-masing saling berlomba-lomba menyebarkan propaganda untuk menarik masa kepada mereka. Namun demikian, justru setelah itu muncul aliran-aliran lain yang saling merasa benar dan semakin membuat perpecahan. Sampai masa-masa akhir generasi Tabi’in, muncul Mu’tazilah yang menamakan dirinya sebagai Ahl al-‘Adl wa at-Tauhid. Pada masa ini pula Ahlussunnah wal Jama’ah mengemuka menjadi nama bagi umat Islam yang konsisten memedomani ajaran Nabi r dan para Sahabat y baik dalam bidang akidah, amaliah maupun akhlak batiniah.

Secara lebih detail, merujuk catatan sejarawan terkemuka Abdurrahman Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406 M) dalam karyanya Muqaddimah, sebelum Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H/874-936 M) terkenal sebagai pemuka Ahlussunnah wal Jama’ah, telah muncul sekte Mujassimah-Musyabbihah (tekstualistik) yang menyifati Allah dengan sifat-sifat makhuk berdasarkan ayat-ayat mutasyabihat, yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah tanzihUlama Salaf yang menyifati Allah wujud dan tidak bersifat dengan sifat makhluk. Kemudian muncul sekte Mu’tazilah (yang bercorak rasionalistik) yang sangat bertolak belakang dengannya, yang justru menafikan sifat-sifat Allah seperti ‘ilmu, qudrah, iradah dan semisalnya. Bahkan menganggap al-Qur’an sebagai makhluk, yang juga sangat bertentangan dengan pemahaman ulama Salaf.

Seiring berkembangnya pemahaman kedua sekte tersebut ke tengah umat, bangkitlah Ahlussunnah wal Jama’ah untuk menolaknya.
Dalam konteks ini Abu al-Hasan al-Asy’ari yang hidup di Baghdad, tampil sebagai pelopor yang mampu mengambil jalan tengah (tawassuth) berbagai pemahaman yang berseberangan dengan menafikan tasybih yang diyakini kaum Musyabbihah dan di sisi lain menetapkan sifat-sifat ma’ani Allah yang dinafikan oleh Mu’tazilah. Kemudian perannya dilanjutkan generasi penerusnya seperti Ibn Mujahid, al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, Imam al-Haramain, Imam al-Ghazali, Imam Fakhruddin ar-Razi dan selainnya.

Dalam waktu yang relatif bersamaan, di Maturid kota kecil wilayah Samarkand yang dulu terkenal dengan nama Ma Wara`a an-Nahr (Uzbekistan, Asia Tengah) tampil Abu Manshur al-Maturidi (238 H/+  852 M-333 H/944 M) sebagai pioner menghadapi berbagai aliran pemikiran di lingkungannya, seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Karamiyyah, Mujassimah, kaum Shofis dan bahkan pengaruh dari luar agama Islam, seperti Budha dan Kristen.

Munculnya kedua tokoh besar Ahlusunnah wal Jama’ah ini bukan berarti mereka merupakan penggagas akidah baru dalam Islam, tetapi merupakan ulama yang telah berjasa besar menjaga akidah sesuai tantangan zamannya. Bukan berarti pula mereka bertentangan dengan para ulama sebelumnya seperti Imam Mazhab Empat, namun justru mereka tampil menjawab propaganda yang semakin gencar menggerus akidah umat Islam yang lebih sangat dibutuhkan pada masanya, seperti para Imam Mazhab Empat yang lebih fokus dan konsentrasi pada fikih sesuai kebutuhan zamannya.

Faktor Legitimasi Ulama

Legitimasi ulama yang dinukil (dikutip) dari ulama ahli tauhid, ahli hadits (selainnya) menegaskan, Asyairah dan Maturidiyyah merupakan representasi Ahlussunnah wal Jama’ah sebenarnya,yang di antaranya adalah:

‘Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M), pakar akidah penulis Ushul ad-Din dan al-Farq bain al-Firaq:

ثُمَّ بَعْدَهُمْ شَيْخُ النَّظَرِ وَإِمَامُ الْآفَاقِ فِي الْجَدَلِ وَالتَّحْقِيقِ، أَبُو الْحَسَنِ عَلِي بْنُ إِسْمَاعِيلِ الْأَشْعَرِيِّ الَّذِي صَارَ شَجًا فِي حُلُوقِ الْقَدَرِيَّةِ وَالنَّجَّارِيَّةِ وَالْجَهْمِيَّةِ وَالْجِسْمِيَّةِ وَالرَّوَافِضِ وَالْخَوَارِجِ. وَقَدْ مَلَأَتِ الدُّنْيَا كُتُبُهُ، وَمَا رُزِقَ أَحَدٌ مِنَ الْمُتَكَلِّمِينَ مِنَ التَّبَعِ مَا قَدْ رُزِقَ، لِأَنَّ جَمِيعَ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَتَمَعْزَلْ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ عَلَى مَذْهَبِهِ. اهـ.

“Kemudian setelah generasi murid Abdullah bin Sa’id at-Tamimi (seperti Abdul Aziz al-Makki al-Kattani dan al-Junaid al-Baghdadi), ada pakar analisis ilmiah, perdebatan dan tahqiq, yaitu Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari yang mengcounter total sekte Qadariyyah, Jahmiyyah, Mujassimah, Rawafidh dan Khawarij. Karya-karyanya menyebar seantero dunia. Tidak ada pakar akidah yang diberi anugerah pengikut sebanyak pengikutnya, sebab seluruh Ahl al-Hadits dan selurh Ahl ar-Ra’yi yang tidak condong pada mu’tazilah memedomani mazhabnya.”

Abu Ishaq as-Syirazi (393-476 H/1003-1083 M), pakar fikih Syafi’i penulis al-Muhaddzab:
وَأَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيُّ إِمَامُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَعَامَةُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ عَلَى مَذْهَبِهِ وَمَذْهَبُهُ مَذْهَبُ أَهْلِ الْحَقِّ.

“Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, mayoritas Ashab as-Syafi’i memedomani mazhabnya, dan mazhabnya adalah mazhab Ahl al-Haq.”
Ibn ‘Asakir (542-610 H/1147-1213 M), pakar fikih Syafi’i sekaligus pakar akidah, dan Abu Abdillah ad-Dzahabi al-Hafizh (673-748 H/1274-1248 M) ahli hadits dan sejarawan ternama:

وَجَدْتُ بِخَطِّ بَعْضِ الثِّقَاتِ: مَا قَوْلُ السَّادَةُ الْفُقَهَاءُ فِي قَوْمٍ اجْتَمَعُوا عَلَى لَعْنِ الْأَشْعَرِيَّةِ وَتَكْفِيرُهُمْ؟ وَمَا الَّذِي يَجِبُ عَلَيْهِمْ؟ أَفْتَوْنَا. فَأَجَابَ جَمَاعَةٌ، فَمِنْ ذَلِكَ: اَلْأَشْعَرِيَّةُ أَعْيَانُ السُّنَّةِ، اِنْتَصَبُوا لِلرَّدِّ عَلَى الْمُبْتَدِعَةِ مِنَ الْقَدَرِيَّةِ وَالرَّافِضَةِ وَغَيْرِهِمْ. فَمَنْ طَعَنَ فِيهِمْ فَقَدْ طَعَنَ عَلَى أَهْلِ السُّنَّةِ، وَيَجِبُ عَلَى النَّاظِرِ فِي أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ تَأْدِيبُهُ بِمَا يَرْتَدِعُ بِهِ كُلُّ أَحَدٍ.

“Aku (Ibn ‘Asakir) menemukan tulisan pertanyaan sebagian ulama tsiqah: ‘Apa pendapat para ahli fikih tentang suatu kaum yang berkumpul untuk melaknat Asy’ariyyah dan mengafirkannya? Apa hukuman bagi mereka? Mohon kami diberi fatwa. Lalu segolongan ulama menjawab, yang di antaranya adalah: ‘Asy’ariyyah adalah Ahlussunnah wal Jama’ah sebenarnya. Mereka konsisten mengcounter golongan-golongan bid’ah dari Qadariyah, Rafidhah dan selainnya. Karenanya, orang yang mencaci-maki mereka berarti telah mencaci-maki Ahlussunnah wal Jama’ah, dan bagi pemerintah wajib mengukumnya dengan hukuman yang dapat memberi efek jera kepada siapapun.”

‘Adhuddin al-Iji (w. 756 H/1355 M), pakar Ushul dan akidah penulis al-Mawaqif dan al-‘Aqa’id al-‘Adhadiyyah:

وَأَمَّا الْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ الْمُسْتَثْنَاةُ الَّذِينَ قَالَ النَّبِيُّ r فِيهِمْ: هُمُ الَّذِينَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي، فَهُمُ الْأَشَاعِرَةُ وَالسَّلَفُ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ وَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَمَذْهَبُهُمْ خَالٍ عَنْ بِدَعِ هَؤُلَاءِ.
 “Adapun golongan yang selamat yang dikecualikan dalam hadits, yang mereka disabdakan oleh Nabi: ‘Mereka adalah orang-orang yang memedomani ajaran yang Aku dan Sahabatku pedomani’, adalah ‘Asya’irah dan Ahli Hadits dari generasi Salaf, dan (mereka adalah) Ahlussunnah wal Jama’ah. Mazhabnya tersucikan dari bid’ah berbagai golongan yang sesat.”

Tajuddin as-Subki (727-771 H/1327-1370 M), pakar fikih Syafi’i:

وَلَا يَخْفَى أَنَّ الْأَشَاعِرَةَ إِنَّمَا هُمْ نَفْسُ أَهْلِ السُّنَّةِ أَوْ هُمْ أَقْرَبُ النَّاسِ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ.

“Dan tidak samar lagi, bahwa Asya’irah lah Ahlussunah wal Jama’ah sebenarnya, atau mereka lah golongan yang paling identik pada Ahlussunnah wal Jama’ah.”

Abu Nashr ad-Dawani (830-918 H/1427-1512 M), pakar fikih Syafi’i dan pakar akidah, penulis Syarh al-‘Aqa’id al-‘Adhadiyyah:

اَلْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ وَهُمُ الْأَشَاعِرَةُ، أَيِ التَّابِعُونَ فِي الْأُصُـولِ لِلشَّيْخِ أَبِي الْحَسَـنِ … فَإِنَّهُمْ مُتَمَسِّكُونَ فِي عَقَائِدِهِمْ بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْمَنْقُولَةِ عَنْهُ r وَعَنْ أَصْحَابِهِ، وَلَا يَتَجَاوَزُونَ عَنْ ظَوَاهِرِهَا إِلَّا لِضَرُورَةٍ، وَلَا يَسْتَرْسِلُونَ مَعَ عُقُولِهِمْ كَالْمُعْتَزِلَةِ.

“Golongan yang selamat adalah Asya’irah, maksudnya orang-orang yang dalam akidah mengikuti Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari … Sebab dalam akidah mereka berpedoman dengan hadits-hadits shahih yang dinukil dari Nabi r dan para Sahabatnya. Mereka tidak melewati makna lahiriahnya kecuali karena kondisi darurat dan tidak membebaskan akal sebebas-bebasnya sebagaimana Mu’tazilah.”
Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1567 M), pakar fikih Syafi’i:

وَسُئِلَ الْإِمَامُ ابْنُ حَجَرِ الْهَيْتَمِيَّ–رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى– عَنِ الْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ وَالْبَاقِلَانِي وَابْنِ فَوْرَكْ وَإِمَامِ الْحَرَمَيْنِ وَالْبَاجِيّ وَغَيْرِهِمْ مِمَّنْ أَخَذَ بِمَذْهَبِ الْأَشْعَرِيِّ، فَأَجَابَ: هُمْ أَئِمَّةُ الدِّينِ وَفُحُولِ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ، فَيَجِبُ الْاِقْتِدَاءُ بِهِمْ لِقِيَامِهِمْ بِنُصْرَةِ الشَّرِيعَةِ وَإِيضَاحِ الْمُشْكِلَاتِ وَرَدِّ شُبَهِ أَهْلِ الزَّيْغِ وَبَيَانِ مَا يَجِبُ مِنَ الْاِعْتِقَادَاتِ وَالدَّيَانَاتِ، لِعِلْمِهِمْ بِاللهِ وَمَا يَجِبُ لَهُ وَمَا يَسْتَحِيلُ عَلَيْهِ وَمَا يَجُوزُ فِي حَقِّهِ … وَالْوَاجِبُ الْاِعْتِرَافُ بِفَضْلِ أُولٓئِكَ الْأَئِمَّةِ الْمَذْكُورِينَ فِي السُّؤَالِ وَسَابِقِيهِمْ، وَأَنَّهُمْ مِنْ جُمْلَةِ الْمُرَادِينَ بِقَوْلِهِ r: يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ، يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ، وَتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ. [رواه ابن عدي وأبو نصر السجزي في الابانة وأبو نعيم، والبيهقي وابن عساكر. وصحيح عند أحمد]. فَلَا يَعْتَقِدُ ضَلَالَتَهُمْ إِلَّا أَحْمَقُ جَاهِلٌ أَوْ مُبْتَدِعٌ زَائِغٌ عَنِ الْحَقِّ، وَلَا يَسُبُّهُمْ إِلَّا فَاسِقٌ، فَيَنْبَغِي تَبْصِيرُ الْجَاهِلِ وَتَأْدِيبُ الْفَاسِقِ وَاسْتِتَابَةُ الْمُبْتَدِعِ.

“Imam Ibn Hajar al-Haitami-rahimahhullahu ta’aala-ditanya tentang Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Baqillani, Ibn Faurak, Imam al-Haramain, al-Baji ulama lainnya yang mengikuti mazhab al-Asy’ari, lalu beliau menjawab: ‘Mereka adalah pemuka-pemuka agama dan tokoh besar ulama kaum muslimin, sehingga waki mengikuti mereka karena jasa besarnya dalam menolong syariat, mengurai kemuskilan, mencounter propaganda-propaganda orang-orang yang menyimpang dan telah menjelaskan akidah dan ajaran agama yang wajib diyakini, karena pengetahuan mereka terhadap Allah, sifat-sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi-Nya … dan wajib mengakui keutamaan para Imam yang disebutkan dalam pertanyaan tersebut serta pendahulu mereka, dan mengakui bahwa mereka termasuk orang-orang yang dikehendaki dalam sabda Nabi. ‘Yang membawa ilmu agama ini dari setiap generasi adalah orang-orang adilnya, yang  membersihkannya dari penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, klaim orang-orang batil, dan ta’wil orang-orang bodoh.’ [Hadits riwayat Ibn Adi, Abu Nashr as-Sijzi, Abu Nu’aim, al-Baihaqi, dan Ibn Asakir. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, hadits tersebut shahih.] Karenanya, tidak ada yang menganggap mereka sesat kecuali orang pandir yang bodoh atau ahli bid’ah yang menyimpang dari kebenaran, dan tidak ada yang mencaci-maki mereka kecuali orang yang fasik. Hendaknya orang bodoh diberi pemahaman, orang fasik diberi sanksi dan ahi bid’ah diperintah bertobat.”

Abu al-Baqa’ al-Kafawi (w. 1094 H/1683 M), pakar fikih Hanafi penulis al-Kuliyyat:

وَالْمَشْهُورُ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي دِيَارِ خُرَاسَانَ وَالْعِرَاقِ وَالشَّامِ وَأَكْثَرِ الْأَقْطَارِ هُمُ الْأَشَاعِرَةُ أَصْحَابُ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ مِنْ نَسْلِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ مِنْ أَصْحَابِ الرَّسُولِ؛ وَفِي دِيَارِ مَا وَرَاءَ النَّهَرِ وَالرُّوم ِأَصْحَابُ أَبِي مَنْصُورِ الْمَاتُرِيدِيِّ.

“Dan Ahlussunnah wal Jama’ah yang masyhur di negeri Khurasan, Irak, Syam dan mayoritas negeri-negeri lainnya adalah Asya’irah, yaitu pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari yang termasuk cucu dari sabahat Rasulullah r Abu Musa al-Asy’ari; sedangkan di negeri-negeri Ma Wara’ an-Nahr dan Rum adalah pengikut Abu Manshur al-Maturidi.”

Al-Imam al-Hafizh az-Zabidi (1145-1205 H/1732-1790 M), pakar hadits dan penulis Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Syarh Ihya’ Ulum ad-Din:

إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِمُ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ.

“Ketika diungkapkan kata ‘Ahlussunnah wal Jama’ah’, maka yang dikehendaki adalah Asya’irah dan Maturidiyyah.”

Di Indonesia, legitimasi ini diperkuat oleh transmisi mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi sejak awal dibangun oleh para penyebar Islam di kepulauan Nusantara ini melalui ulama yang tergabung dalam organisasi Walisongo.

Berdasarkan temuan dan catatan para sejarawan, ditegaskan bahwa Walisongo dalam hal fikih mengikuti mazhab as-Syafi’i dan dalam hal teologi mengikuti mazhab al-Asy’ari. Tentu saja ajaran-ajarannya bersumber dari generasi ulama sebelum mereka dalam struktur genealogi yang kokoh. Di antara sanad keilmuan yang sampai kepada generasi ulama seangkatan Hadhratus Syaikh KH. Mohammad Hasyim Asy’ari dan para kiai pendiri NU di Tanah Air adalah sebagaimana berikut:

Sanad Mazhab al-Asy’ari

-Syaikh as-Sunnah, Imam al-Mutakallimin Abu al-Hasan al-Asy’ari (270-330 H/883-947 M).
-Syaikh al-Mutakallimin Abu al-Hasan al-Bahili.
-Ruknuddin al-Ustadz Abu Ishaq al-Asfarayini (w. 418 H/ 1027 M). Pengarang al-Jami’ fi Ushul ad-Din wa al-Radd ‘ala al-Mulhidin.
-Al-Ustadz Abu al-Qasim Abdul Jabbar bin Ali bin Muhammad bin Haskan al-Asfarayini al-Iskaf (w. 452 H/1034 M).
-Imam al-Haramain Dhiyauddin Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M).
-Abu al-Qasim Salman bin Nashir bin Imran al-Anshari al-Arghiyani (w. 512 H/1118 M). Pengarang Syarh al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad.
-Dhiyauddin Umar bin al-Husain ar-Razi (hidup sebelum 559 H/1164 M). Pengarang Syarh al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad.
-Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M).
-Syarafuddin Abu Bakar Muhammad bin Muhammad al-Harawi.
-Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdullah al-Taftazani.
-Al-Hafizh Sirajuddin Umar bin Ali al-Qazwini (683-750 H/ 1284-1349 M).
-Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Lughawi al-Syirazi al-Fairuzabadi (729-817 H/1329-1415 M).
-Al-Hafizh Taqiyyuddin Muhammad bin Muhammad bin Fahad al-Makki as-Syafi’i al-‘Alawi al-Hasyimi (787-871 H/ 1385-1466 M).
-Syaikh al-Islam, Qadhi al-Qudhat Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad al-Anshari (826-926 H/1423-1520 M). Penulis Ihkam ad-Dilalah ‘ala Tahrir ar-Risalah dan Fath al-Ilah al-Majid bi-Idhah Syarh al-‘Aqaid.
-Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (919-1004 H/1513-1596 M).
-Ahmad bin Muhammad al-Ghunaimi (964-1044 H/1557-1634 M).
-Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin al-‘Ala’ al-Babili as-Syafi’i al-Azhari (1000-1077 H/1591-1666 M).
-Abdullah bin Salim al-Bashri al-Makki as-Syafi’i (1048-1134 H/1638-1722 M).
-Salim bin Abdullah al-Bashri as-Syafi’i (w. 1160 H/1747 M).
-Syamsuddin Muhammad bin Muhammad ad-Dafari as-Syafi’i (w. setelah 1161 H/ M).
-Isa bin Ahmad al-Barawi az-Zubairi as-Syafi’i (w. 1182 H/ 1768 M). Pengarang Hasyiyah ‘ala Syarh Jauharah at-Tauhid karya al-Laqqani.
-Muhammad bin Ali as-Syanawani as-Syafi’i (w. 1233 H/1818 M). Pengarang Hasyiyah ‘ala Syarh Jauharat at-Tauhid karya al-Laqqani.
-Utsman bin Hasan ad-Dimyathi.
-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (1231-1304 H/1816-1886 M).
-Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Husaini as-Syafi’i (w. 1310 H/1892 M).
-Muhammad Mahfuzh bin Abdullah at-Tarmasi (1285-1338 H/1868-1920 M).
-Ulama Tanah Air, seperti Moh. Hasyim Asy’ari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH. Muhammad Baqir Yogyakarta, KH. Abdul Wahhab Hasbullah Jombang, KH. Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem, KH. Ma’shum bin Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyathi Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon dan lain-lain.

Sanad Mazhab al-Maturidi

-Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H/945 M).
-Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa al-Bazdawi (w. 390 H/1000 M).
-Husain bin Abdil Karim al-Bazdawi.
-Muhammad bin Husain al-Bazdawi.
-Al-Qadhi Shadr al-Islam Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad bin Husain al-Bazdawi (421-493 H/1030-1100 M).
-Al-Hafizh Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi (461-537 H/1068-1142 M).
-Muhammad bin Muhammad bin Nashr an-Nasafi (w. 693 H/1294 M).
-Husamuddin Husain bin Ali as-Saghnaqi (w. 711 H/1311 M). Pengarang Syarh at-Tamhid li Qawa’id at-Tauhid.
-Abu Muhammad Abdullah bin Hajjaj al-Kasyqari.
-Syamsuddin Muhammad al-Qurasyi.
-Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (773-852 H/1372-1449 M).
-Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari (826-926 H/1423-1520).
-Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (919-1004 H/1513-1596 M).
-Ahmad bin Muhammad bin Yunus al-Qusyasyi ad-Dajani al-Husaini (991-1071 H/1583-1661 M).
-Burhanuddin Abu al-‘Irfan al-Mulla Ibrahim bin Hasan al-Kurani (1025-1101 H/1616-1690 M).
-Burhanuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Budairi al-Husaini ad-Dimyathi al-Asy’ari as-Syafi’i, populer dengan sebutan Ibn al-Mayyit (w. 1131 H/1719 M).
-Muhammad bin Muhammad bin Hasan al-Munir as-Samanhudi as-Syafi’i (1099-1199 H/1688-1785 M).
-Muhammad bin Ali as-Syanawani ( 1233 H/1818 M).
-Utsman bin Hasan ad-Dimyathi.
-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (1231-1304 H/1816-1886 M).
-Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi ( 1310 H/1892 M).
-Syaikh Muhammad Mahfuzh bin Abdullah at-Tarmasi (1285-1338 H/1868-1920 M).
-Ulama Tanah Air seperti Moh. Hasyim Asy’ari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH. Muhammad Baqir Yogyakarta, KH. Abdul Wahhab Hasbullah Jombang, KH. Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem, KH. Ma’shum bin Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyathi Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon dan lain-lain.

Demikian sanad mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi yang sampai kepada para ulama pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Selain itu, masih banyak jalur-jalur lain yang menyambungkan mata rantai akidah Ahlussunnah wal Jama’ah kepada ulama terdahulu, hingga kepada Rasulullah. Validitas sanad yang sangat kuat ini selaras dengan beberapa atsar dari para Tabi’in yang menekankan pentingnya sanad keilmua dalam Islam, sebagaimana dicatat Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya:

قَالَ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ: إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ. (رواه مسلم)

“Muhammad bin Sirin berkata: ‘Sungguh ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama.” (Riwayat Muslim)

قَالَ طَاوُسُ: إِنْ كَانَ صَاحِبُكَ مَلِيًّا فَخُذْ عَنْهُ. (رواه مسلم)

“Thawus berkata: ‘Bila temanmu adalah orang yang terpercaya, maka ambillah ilmu darinya.” (Riwayat Muslim)

يَقُولُ عَبْدُ الله بْنَ الْمُبَارَكِ: اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ. (رواه مسلم)

“Abdullah bin Mubarak berkata: ‘Sanad merupakan bagian dari agama, andaikan tidak ada sanad niscaya siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.” (Riwayat Muslim)

Faktor Empirik

Pendekatan empirik seputar konsistensi Asya’irah dan Maturidiyyah memedomani petunjuk Nabi Muhammad dan para Sahabat, mewarisi dan menjaga khazanahnya, dan menempuh metodologinya baik dalam permasalahan ushul maupun furu’ dan selainnya, membuktikan bahwa mereka merupakan kelompok yang paling representatif sebagai wujud nyata Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebab, akidah Asyairah dan Maturidiyyah merupakan akidah Islam sebenarnya yang sesuai dengan akidah Imam Mazhab Empat, akidah ulama-ulama sebelumnya hingga para Sahabat, sebagaimana disampaikan oleh al-Isfirayaini dalam at-Tabshir ad-Din setelah menjelaskan akidah-akidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara lengkap sehingga konsistensi yang terbukti secara nyata ini semakin meneguhkan, bahwa Asya’irah dan Maturidiyyah adalah representasi Aswaja yang sebenarnya.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...