Monday, August 6, 2018

Sikap Habib Rizieq terhadap Pancasila


Untuk meminimalisir konflik ideologi, Presiden Soeharto mengenalkan gagasan asas tunggal pancasila pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1982 di depan sidang DPR RI. “Semua kekuatan sosial politik terutama partai politik (parpol) yang masih menggunakan asas lain selain Pancasila seharusnyalah menegaskan bahwa satu-satunya asas yang digunakan adalah Pancasila. Adanya asas lain di samping asas Pancasila yang menjadi ciri khas partai itu akan merangsang unsur-unsur ekstrim baik dari luar maupun dari dalam…”

Gagasan asas tunggal tersebut, yang segera ditetapkan dalam TAP MPR RI Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN tanggal 11 Maret 1983, mengguncang partai dan ormas islam. Kuda-kudapun di pasang.
Namun, yang hebat adalah kecepatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam menerima asas tunggal pancasila di Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1983. Yang lebih hebat lagi, sejak itu, Pancasila diterima dalam AD/ART sebagai azas NU walaupun Undang-undang keormasan belum ditetapkan. Undang-undang Ormas baru ditetapkan dengan UU Nomor 8 tahun 1985.

Penerimaan ini segera diikuti oleh ormas Islam yang lain. Memang harus diakui, proses penerimaan asas tunggal pancasila pada Munas 1983 terbilang alot. Banyak ulama yang menentang, terutama ulama Madura. Alasannya belum tepat waktu dan meminta AD/ART tidak dirubah. Mereka beranggapan bahwa merubah AD/ART yang sudah dibuat oleh ulama pendahulu akan menghancurkan (azmah diniyah) golongan ahlussunnah wal jamaah.

Dalam disertasinya Habib Rizieq menyayangkan keputusan NU tersebut, dan menyebutkan NU-lah yang membuat program asas tunggal orde baru bisa berjalan mulus. Sikap tegas NU yang membela kaum nasionalis ditunjukan saat Jepang mendarat di Indonesia tahun 1943. Laksamana Maeda bertanya, siapa pemimpin tertinggi bangsa Indonesia yang bisa diajak berunding? Dengan tegas KH Hasyim Asy’ari mejawab, Soekarno, seorang tokoh nasionalis. Lalu pada periode selanjutnya NU dengan setia mendukung pemerintah Soekarno yang tengah menghadapi pemberontakan DI/TII Kartosoewiryo. Walau membawa panji islam, NU tidak mau tertipu, dan menganggap Kartosoewiryo adalah pemberontak (bughot) yang harus diperangi. NU berkeyakinan bahwa konsep negara-bangsa lebih cocok dan bermanfaat bagi muslim indonesia dari pada negara Islam.

Tentang penerimaan asas pancasila oleh Muhammadiyah, menarik apa yang disampaikan oleh Ahmad Syafii Maarif. Muhammadiyah berdiri sejak tahun 1912, dan sampai dengan tahun 1959 tidak mencantumkan asas islam secara formal dalam AD/ART-nya. Dalam kurun waktu itu tidak dipermasalahkan dan tidak pernah menjadi soal. Dalam kurun waktu 47 tahun tanpa asas islam tersebut, siapa yang meragukan keislaman Muhammadiyah, tutur Buya Syafii. Perdebatan asas tunggal pancasila hanya merupakan bukti bahwa waktu itu ekspresi formalisme Islam masih kuat. Atau dengan kata lain beliau ingin mengatakan substansi jauh lebih penting dari formalism (baca : wadah). Kalau seandainya Muhammadiyah cepat membaca sejarahnya sendiri maka perdebatan semacam itu tidak akan terjadi.

Kembali kepada Habib Rizieq. Nyata sekali bahwa banyak hal positif yang didapat dari disertasi beliau. Berbeda dengan sahabatnya, Abu Jibril, beliau dengan tegas tidak anti pancasila. Bahkan dalam beberapa kesempatan Habib Rizieq mendeklarasikan diri sebagai pancasilais sejati. Habib Rizieq sesungguhnya berupaya mencari jalan tengah antara ide negara sekuler dengan ide khilafah islamiyah. Hal yang membedakan beliau dengan kaum nasionalis muslim (terutama di tubuh NU dan Muhammadiyah) adalah kesan formalisme yang masih begitu kuat pada diri habib kita ini. Formalisme inilah yang mendasari sikap beliau untuk menafsirkan pancasila sesuai maksud Piagam Jakarta. Dan formalisme itu pulalah yang membuat Habib Rizieq kurang akurat dalam membaca pemikiran islam modern, bahkan terjebak pada terma-terma klasik yang kurang substansial.

Karena ketidaksukaannya kepada demokrasi, maka beliau menganjurkan mengganti istilah demokrasi menjadi “syuro.” Boleh-bolah saja sih, tetapi tentu lebih penting “isi” dari pada “wadah,” apalagi jika wadah tersebut berpotensi membahayakan persatuan nasional. Modernisme bagi Habib Rizieq adalah melulu sekuler, demokrasi barat, liberalisme, dekadensi moral, pluralisme agama dan segudang stereotipe buruk lainnya. Apakah hanya itu yang dimiliki oleh Barat Modern? Tentu tidak. Kita tidak bisa menilik Barat modern hanya lewat ulah James Bond agen 007 yang sering meniduri wanita yang baru dikenal, atau lewat film Baywatch yang mengumbar aurat. Tiada mungkin sebuah peradaban yang menjulang hanya diisi oleh keburukan seperti itu. Kajian positif tentang Barat modern sesungguhnya cukup melimpah, tetapi Habib kurang berselera untuk mengunyahnya. Padahal hak kaum muslimin untuk memungut kebaikan dari sumber manapun. Sebagaimana pula umat lain boleh memungut kebaikan yang diproduksi oleh muslim. Saya khawatir Habib Rizieq, terkait relasi Islam dan negara, terlambat membaca tanda-tanda sejarah, sebagaimana terlambatnya Malik Ahmad dari Muhammadiyah dalam membaca momentum asas tunggal pancasila.

Berdasarkan kajian sejarah, pemerintahan Islam telah mengambil bentuk yang berbeda-beda, dimulai dengan khilafah, daulah, kesultanan, imamah, keemiran, republik islam dan terakhir republik demokrasi. Ini menunjukan bahwa sesungguhnya, sebagaimana diungkap Asghar Ali Engeneer, pemikir islam modernis India, islam tidak memberikan konsep secara spesifik terhadap bentuk negara yang diikuti. Islam hanya memberikan landasan umum yang memungkinkan penafsir untuk menginterpretasikannya sesuai konteks yang berlaku.

Gusdur pernah bercerita tentang pemikiran Asghar Ali Engeneer ini dalam sebuah pertemuan di Pulau Penang, Malaysia. Menurut Gusdur, Asghar Ali dalam pertemuan tersebut menyampaikan paper yang berjudul Islamic State and The Secular State. Dalam paper ini, ia menganggap tujuan berdirinya negara islam sudah dipenuhi oleh gagasan negara modern yang bersifat sekuler. Dasar dari pendapatnya ini sederhana saja, yaitu persamaan tujuan antara negara sekuler dan negara Islam – sama-sama melindungi hak-hak pribadi para warga negaranya.

Yang cukup mengejutkan pernyataan dari Presiden Turki, Erdogan, pujaan kaum islamis, tentang dukunganya kepada sekularisme Turki, "Pandangan saya sudah diketahui soal ini... Realitasnya ialah bahwa negara seharusnya punya jarak yang sama dari semua keyakinan agama. Inilah laisisme (kebijakan yang tidak berdasar pada agama)," kata Erdogan. Pernyataan Erdogan muncul saat muncul usulan dari Ketua Parlemen Turki Ismail Kahraman, yang mengatakan, “Turki yang mayoritas penduduknya beragama Islam memerlukan sebuah konstitusi yang berlandaskan ajaran agama.” Komentar Kahraman itu memicu kecaman dan protes. Ia kemudian mengatakan bahwa komentarnya itu merupakan "pandangan pribadi" dan bahwa konstitusi baru itu hendaknya menjamin kebebasan beragama.

Kembali ke Habib Rizieq. Penulis cukup punya keyakinan bahwa beliau mempunyai niat baik untuk memperbaiki situasi negeri ini yang memang jauh dari sempurna. Namun tentu tidak cukup layak jika pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta merupakan pengkhianatan dan perselingkuhan kaum nasionalis. Bagi saya tidak, justru itu wujud dari jiwa besar dan ketulusan tokoh muslim. Dalam artikel di situs yang dikelola generasi muda Muhammadiyah, yang berjudul “Ki Bagus Hadikusama, Penggagas Utama Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa,” terdapat kalimat sebagai berikut: “Bung Hatta meminta para tokoh Islam agar menyetujui untuk menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior ketika itu pada mulanya berkeberatan. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Bung Hatta karena keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo. Segala tekanan psikologis bertumpu pada Ki Bagus.

Kasman menggambarkan betapa marah Ki Bagus atas usulan Bung Hatta yang tiba-tiba mementahkan kompromi yang telah dicapai dengan susah payah dalam sidang BPUPKI. Bujukan Kasman Singodimedjo dengan menggunakan bahasa Jawa halus dapat meluluhkan hati Ki Bagus. Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata menyangkut syariat Islam menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 dan prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Prawoto Mangkusasmito beberapa tahun kemudian bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “Tauhid”.

Selanjutnya sejarah mencatat, bahwa pancasila 18 Agustus 1945 merupakan kado terindah umat islam kepada bangsa Indonesia. Terkait dengan itu, saya hendak bertanya kepada Habib Rizieq, apakah kado terindah itu akan diminta kembali?
Yang membuat saya agak prihatin adalah sikap Habib Rizieq yang akhir-akhir ini condong membela ideologi ISIS. Saya berharap, kecondongan beliau ini hanyalah kegenitan bersikap, sebagaimana ia sendiri pernah memposisikan bahwa warga FPI adalah warga NU yang “agak nakal.” Semoga Habib Rizieq kembali ke rumah besarnya, NU, dan kembali tegak membela NKRI yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945, sehingga orang seperti saya akan kembali mengidolakan beliau.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...