Tuesday, September 4, 2018

Antara TOA, Kebebasan Beragama dan Keserakahan Kita


Ditulis oleh: Vinanda Febriani

Berita tentang aturan penggunaan Toa/pengeras suara di masjid akhirnya sampai ke telinga kawan sekelasku. Pembelajaran di kelas kita pagi ini sebelum ada guru, diawali dengan pembicaraan kawan terkait Toa dan Adzan yang belakangan viral. Kawan sekelasku memang belakangan sedikit demi sedikit mengikuti perkembangan informasi baik melalui Tv, surat kabar, media sosial, portal online maupun broadcast di WA.

"Nda, (sapa akrab kawan sekelasku). Soal kasus Meiliana itu, gimana sih? Kok jadinya ada aturan tentang penggunaan Toa di masjid-masjid kita," tanya kawan mengawali pembicaraan kami, walaupun sebelumnya mereka sudah menyinggung-nyinggung sedikit soal kasus ini.

"Em.... jadi gini" gumamku.
Sebenarnya Meiliana adalah satu diantara berapa ratus bahkan ribu orang yang merasa terganggu dengan kerasnya suara Toa. Bedanya, Ibu Meiliana mampu mengutarakannya secara jujur, sedangkan kadang beberapa dari kita tidak mampu mengutarakannya secara jujur karena takut risiko ini itu yang bisa mengancamnya di suatu hari.

Ibu Meiliana adalah korban, dimana perkataannya dipelintir sedemikian rupa oleh orang-orang tak bertanggung-jawab yang kemudian menjerumuskan Ibu Meliana sebagai korban ke ranah persidangan dan bahkan ke dalam penjara. Sekarang Ibu meiliana sudah dibui, apakah sudah selesai sampai situ? Belum!.

Ibu Meiliana terjerat pasal karet Penistaan Agama, sebagaimana yang terjadi pada Ahok beberapa waktu lalu. Namun kasus Ibu Meiliana jauh lebih sepele dan tidak seharusnya di bawa ke ranah persidangan. Lalu apa tugas ketua RT, RW, Kades, Lurah dsb kalau semua masalah harus dibawa ke ranah hukum?. Kalau mampu di selesaikan secara kekeluargaan, buat apa dibawa ke persidangan?.

Yang membuat masalah ini semakin membesar adalah saudara kita sendiri, umat Islam yang egois, anarki, mereka yang menanggapi segala problematika yang ada dengan cara yang salah, dengan amarah. Padahal datangnya amarah adalah dari syetan, jika kita menuruti amarah maka sama halnya kita menuruti nafsu syetan.

Setelah beredar luas berita hoaxs yang sudah dipelintir sedemikian rupa tentang apa yang diucapkan Ibu Meiliana, saudara kita mengamuk tak tahan. Mereka membakar rumah Ibu Meiliana, membakar beberapa vihara di daerah itu. Akibatnya suami Ibu Meiliana kehilangan pekerjaannya, anak Ibu Meiliana merasa trauma, dimana letak kemanusiannya?.

Sebagai agama yang hampir mendominasi negara Indonesia, kita tidak diperkenankan berbuat semena-mena kepada siapapun. Ada aturan tegas dalam Agama kita, juga aturan negara melalui Undang-Undangnya, etika bermasyarakat kita pun juga tidak membenarkan tindakan diskriminatif kepada siapapun dan apapun alasannya. Bukannya di agama kita juga diajarkan untuk selalu berbuat adil dan tidak serakah?. Keserakahan itulah yang kemudian menimbulkan prasangka, kejahatan dan tindakan ketidak-manusiawian.

"Oke disini aku paham. Lalu, bagaimana dengan aturan penggunaan toa/pengeras suara di masjid?," kawanku kembali bertanya.

Sebenarnya aturan itu sudah ada sejak tahun 1978, masa orde baru, masa dimana saat itu Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto. Jadi sangat tidak tepat jika yang disalahkan adalah Pak Lukman Hakim Saifudin (Kemenag-RI periode kepemerintahan Joko widodo). Jangan mentang-mentang peraturan ini muncul dan viral baru belakangan, jadi yang disalahkan adalah Pak Lukman Hakim.

Aturan itu tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Pada aturan tersebut tertulis tentang keuntungan dan kerugian menggunakan pengeras suara di masjid, langgar, dan musala.

Salah satu keuntungan menggunakan pengeras suara seperti tertuang dalam instruksi tersebut adalah sasaran penyampaian dakwah dapat lebih luas. Namun ada pula kerugian dari penggunaan pengeras suara, yakni mengganggu orang yang sedang beristirahat ataupun sedang menyelenggarakan upacara keagamaan.

Pada aturan tersebut juga ditulis tentang keharusan menghormati tetangga. Berikut ini kutipannya:

Dari beberapa ayat Alquran terutama tentang kewajiban menghormati jiran/tetangga, demikian juga dari banyak hadits Nabi Muhammad SAW menunjukkan adanya batasan-batasan dalam hal keluarnya suara yang dapat menimbulkan gangguan walaupun yang disuarakan adalah ayat suci, doa atau panggilan kebaikan sebagaimana antara lain tercantum dalam dalil-dalil yang dilampirkan pada keputusan Lokakarya P2A tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Kemudian ada syarat-syarat dalam penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan musala. Namun memang tak ada aturan tegas mengenai volume suara.

Untuk suara azan, dalam aturan itu memang disebut harus ditinggikan. Tetapi tak diatur soal batasan meninggikan suara tersebut. Begini kutipannya:

Dari tuntunan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak dapat diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaiknya enak, merdu, dan syahdu. (Dikutip dari https://m.detik.com/news/berita/4179346/kemenag-akan-perbarui-aturan-volume-speaker-masjid)

Adzan adalah sebuah Panggilan umat islam untuk melaksanakan Shalat, bukan teriakan. Meninggikan suara adzan adalah tuntunan dari Nabi Muhammad SAW. Namun dilain sisi, kita juga harus menghormati dan menghargai umat lain.

Ketika non-muslim sedang beribadah, saat ada suara adzan, mereka diam dan sejenak menghentikan aktivitas peribadatan mereka sampai suara adzan di masjid terdekat selesai sebagai tanda bahwa mereka menghargai suara Adzan dan menghormati umat agama lain. Kenapa kita yang dihargai malah berlaku sewenang-wenang kepada mereka?. Apa karena jumlah kita lebih banyak dari mereka?. Hey, negeri kita tidak menganut sistem hukum rimba, siapa yang banyak, siapa yang kuat berhak menang. Negeri kita menganut sistem demokrasi pancasila, demokrasi yang beradab, berperikemanusiaan, berperi keadilan.

"Hm... kok rumit, ya?" Dia mengeluh.

Gini deh, kita nggak usah ikut-ikutan mempermasalahkan suara toa masjid, suara adzan dan sebagainya kalau shalat subuh kita masih sering telat, shalat kita masih harus diingatkan atau bahkan dioprak-oprak, tidak mau jamaah di masjid dan bahkan shalat fardhu kita masih belum lengkap. Wagu banget rasanya. Buat apa kita ikut-ikutan mendebatkan permasalahan ini itu berkaitan dengan agama sedangkan shalat kita sendiri masih bolong-bolong?. Duh... malu-maluin banget!.

Vinanda Febriani
Borobudur. Selasa, 04 September 2018.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...