Oleh Suryono Zakka
Setiap muslim tentu cinta dengan kalimat tauhid karena kalimat itulah sebagai penanda antara muslim dan non muslim. Muslim dimanapun dan apapun golongannya tidak ada satupun yang membenci atau mengingkari kalimat tauhid. Hanya saja, ada ekspresi yang berbeda bagi setiap kelompol muslim dalam memaknai kalimat tauhid.
Bagi kalangan santri khususnya kultur NU, tauhid ada didalam hati. Tauhid menghujam dan tertanam didalam hati sebagai pondasi akidah yang kemudian buahnya adalah perilaku yang baik yakni selaras antara hablumminallah (vertikal-ketuhanan) dan hamblumminannas (horizontal-kemanusiaan).
Bahkan aktifitas para pengamal tauhid masyarakat Nahdliyin sangat begitu kental. Mulai dari dzikir setelah shalat maktubah hingga dzikir dalam setiap majelis, ritual tahlilan atau komunitas thariqah tidak akan terlepas dengan kalimat tauhid. Jadi tauhid adalah ucapan lisan yang tertanam dalam hati yang kemudian merefleksi dengan perilaku takwa dan amal shalih. Keshalihan spiritual dan keshalihan sosial. Bukan tauhid yang hambar dalam bendera dan slogan-slogan.
Berbeda dengan kelompok-kelompok yang menjadikan kalimat tauhid sebagai sebuah agenda politik. Bahkan mengutip ayat-ayat suci untuk menjajah dan ekspansi ideologi maka hal ini jelas sangat bertentangan dengan misi universalitas Islam yakni rahmat semesta alam. Kalimat tauhid kemudian menjelma menjadi alat politik mulai dari topi, spanduk hingga bendera. Seolah memuliakan tauhid namun sebenarnya menjauhkan dari kesucian simbol tauhid tersebut. Yang muncul adalah teriakan revolusi, tegakkan khilafah dan hancurkan negara thaghut.
Kalimat tauhid dan ayat-ayat suci dibajak sedemikian rupa untuk melegalkan penjajahan. Penjajahan bertopeng ayat dan bersembunyi dibalik simbol-simbol suci. Membawa bendera tauhid untuk menabuh genderang peperangan. Melawan pemerintahan yang sah, makar, politisasi ayat hingga menjadikan ayat sebagai alat pembunuh.
Kalimat haq dengan tujuan batil. Inilah yang digunakan kelompok-kelompok yang mengaku muslim tapi faktanya merendahkan, menghinakan dan merusak kemurnian Islam. Kelompok khawarij yang menyempal dari mayoritas umat Islam. Minoritas tapi fitnahnya membawa petaka diseluruh dunia.
Era klasik, Khawarij mempolitiasi kalimat laa illaa lillaah (tiada hukum kecuali hanya hukum Allah) untuk mengkafirkan mayoritas umat Islam. Menyempal dari matoritas umat Islam dengan dalih menegakkan hukum Allah. Seolah merasa sebagai golongan yang benar dan lurus namun sejatinya adalah kelompok yang menyimpang dan sesat yang jauh.
Bagi setiap muslim moderat, hendaknya menjadi kewaspadaan kita terhadap munculnya generasi baru Khawarij (Neo-Khawarij) yang menjelma dengan simbol-simbol ketuhanan mulai dari HTI, ISIS, Al-Qaida, Jabhat Nusra dan kelompok pembajak simbol suci lainnya.
Menolak pengasong khilafah bukan berarti menolak tauhid. Sama halnya menolak simbol palu arit sebagai simbol PKI bukan berarti menolak fungsi palu dan arit sebagai alat yang bermanfaat bagi manusia. NU dan ormas moderat menolak sistem khilafah karena konsep khilafah bertentangan dengan konsep kebangsaan dan menabrak perjanjian luhur bangsa Indonesia. Melanggar negara kesepakatan yang telah dirumuskan oleh pendiri bangsa. Jadi NU dan ormas moderat paham bahwa konsep khilafah hanyalah agenda politik yang bertopeng syariah. Pemberontak tetaplah pemberontak walau berstempel syariah.
Jangan tertipu dengannya simbol-simbolnya. Jangan terkecoh walau lidah dan lisannya fasih dalam mengutip ayat suci. Mereka adalah kaum pemberontak yang akan merusak damainya negeri dengan mala petaka dan kehancuran. Cukuplah sebagai contoh dan pelajaran bagaimana negeri Timur Tengah mereka obok-obok dan luluh lantak dengan membajak simbol-simbol Islam.
Tetaplah setia ber-Pancasila dan berbhineka. Jangan menjadi hati yang mendua, mengaku nasionalis namun mengharamkan hormat bendera dan menthaghutkan simbol-simbol negara. Mengaku Pancasilais tapi rasa khilafah. Cukuplah tauhid dijaga didalam hati yang siap dibawa mati. Tidak akan luntur dan terjaga kemurniannya.
No comments:
Post a Comment