Friday, December 22, 2017

Hari Ibu dalam Timbangan Islam


Setiap tahun tepatnya tanggal 22 Desember bangsa Indonesia merayakan hari ibu. Sedangkan dinegara lain, hari ibu diistilahkan dengan Mother Day yang artinya sama yaitu hari ibu namun perayaan hari ibu dinegara-negara lain berbeda-beda. Ada yang memperingatinya pada bulan maret sebagaimana negara-negara Arab dan adapula yang memperingatinya pada bulan mei yaitu negara-negara Barat.

Sebelum kita menyimpulkan bagaimana hukum merayakan Hari Ibu dalam takaran Islam, boleh atau tidak maka, sah atau haram, ada baiknya kita pahami dahulu bagaimana sejarah hari ibu khusus konteks Indonesia.

Seperti yang dikatakan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI melalui akun Twitter resminya, @kemkominfo, Kamis (21/12/2017), Hari Ibu yang diperingati di Indonesia setiap 22 Desember dimaksudkan sebagai hari kebangkitan dan persatuan serta kesatuan perjuangan kaum perempuan yang tidak terpisahkan dari kebangkitan perjuangan bangsa. Secara umum, Hari Ibu diartikan sebagai peringatan atau perayaan bagi peran seorang ibu.

Hari Ibu dicetuskan pertama kali dalam Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, yang saat itu dihadiri oleh wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah dan Jong Islamieten Bond.

Artinya, di 2017 ini merupakan perayaan Hari Ibu yang ke-89. Mengusung tema "Perempuan Berbudaya untuk Indonesia" peringatan Hari Ibu ini dilaksanakan di Raja Ampat, Papua Barat. Tema tersebut dipilih mengingat pentingnya eksistensi kaum hawa dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam keluarga, masyarakat, hingga pekerjaan.

Jika perempuan diberi peluang dan kesempatan, maka bukan tidak mungkin mereka bisa meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri. Perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara juga mampu menjadi penggerak perubahan.

Raja Ampat sendiri dipilih sebagai pusat peringatan Hari Ibu dengan tujuan agar perempuan dari wilayah terpencil dan tertinggal bisa juga merasakan kebahagiaan dalam perayaan Hari Ibu. Selain itu, perempuan Papua Barat juga bisa belajar soal pembangunan dan pemberdayaan perempuan dari perempuan-perempuan yang datang dari seluruh Indonesia.

Baca selanjutnya: NU Kaffah Tak Cukup Hanya Amaliyah

Dari sejarah diatas bisa kita pahami bahwa hari ibu bukan hanya sekedar peringatan ceremonial namun bagaimana meningkatkan peran ibu dan wanita agar ikut andil dalam memajukan bangsa.

Dengan demikian, boleh atau tidaknya peringatan hari ibu dalam tinjauan Islam, bisa kita analisa sebagai berikut:

1. Apakah hari ibu tasyabbuh (menyerupai, mencontek dan menjiplak) tradisi non muslim?Mencontoh atau tidak, bisa kita lihat apakah cara melaksanakan dan tujuannya sama sebagaimana mother day yang dilakukan oleh orang Barat?

Cara merayakan dan tujuan perayaan, ternyata umat Islam Indonesia dengan masyarakat Barat sebagaimana mother day tidak sepenuhnya sama. Umat Islam Indonesia merayakannya bisa dengan upacara, kumpul bersama keluarga, beranjangsana atau bersilaturahim bersama keluarga. Tujuan hari ibu bagi bangsa Indonesia yaitu agar menghormati jasa ibu terutama kaum perempuan dan motivasi bagi kaum ibu untuk terus ikut andil dalam memajukan bangsa dengan potensi yang dimilikinya. Hari ibu bagi orang Barat hanya sekedar mengucapkan selamat dengan mengalungkan karangan bunga.

Kita tidak boleh berprasangka buruk kepada saudara-saudara kita yang merayakan hari ibu seolah dianggap semuanya hanya mengucapkan selamat saja dalam sehari dan enggan untuk berbuat baik setiap harinya kepada ibu. Kitapun tak bisa menjamin bahwa orang yang tidak merayakan atau tidak mengucapkan selamat hari ibu lantas akhlaknya dan penghormatannya kepada ibu lebih baik dari yang merayakannya. Penghormatan kita kepada ibu bersifat privasi sehingga hanya kita masing-masing yang mengetahuinya.

Jika setiap sesuatu yang dianggap mirip-mirip tanpa dipahami tentang tujuan dan cara memperingatinya dihukum sebagai tasyabbuh, maka jelas dalam Islam semua peringatan kecuali idul adha dan idul fitri dihukumi tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir). Maulid nabi, haul, asyura', hari kemerdekaan, upacara bendera, hormat bendera dihukumi tasyabbuh atau mengarah kepada kekafiran atau kefasikan. Tentu hal ini adalah kesalahan dan bukan karakter ahlussunnah wal jamaah.

2. Peringatan atau momentum hari-hari besar sangat dimuliakan dalam ajaran Islam. Sudah menjadi kesepakatan bersama bagi umat Islam bahwa peringatan (perayaan) Hari besar termasuk hari kemerdekaan dan sebagainya adalah boleh. Peringatan ini masuk dalam firman Allah:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات/55]

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfa`at bagi orang-orang yang beriman.” (al-Dzariyat: 55)

Makna ayat ini dijelaskan oleh ahli Tafsir, Syaikh Fakhruddin al-Razi:

يَحْتَمِلُ وُجُوْهاً : أَحَدُهَا : أَنْ يُرَادَ قُوَّةُ يَقِيْنِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى : لِيَزْدَادُوْاْ إِيْمَانًا [ الفتح : 4 ]  …ثَانِيْهَا : تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ بَعْدَكَ (تفسير الرازي – ج 14 / ص 326)

“Makna ayat ini meliputi beberapa makna. Pertama, maksudnya adalah bertambahnya keyakinan mereka, seperti firman Allah yang artinya: “supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)” [al-Fath: 4]. Yang kedua: Peringatan bermanfaat bagi orang-orang setelah kamu” (Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib 14/326)

Berdasarkan analisa al-Razi ini jika kita kontekstualisasikan dalam peringatan agama adalah meningkatkan keimanan kepada Allah, semangat dalam melaksanakan ajaran Islam, semangat dalam mencintai Rasulullah, semangat dalam mengaji Al-Qur'an dan sebagainya. Sedangkan dalam peringatan non agama adalah menambah keimanan kita dalam hidup berbangsa, memberi pendidikan sejarah kepada generasi bangsa yang akan datang, bahwa negara telah mendapat nikmat berupa kemerdekaan karena jasa-jasa para pejuang pendahulu.

Fatwa Ulama al-Azhar Tentang Peringatan

Hukum sebuah perayaan yang disebut dengan Ihtifal (peringatan) hukumnya adalah boleh seperti yang difatwakan oleh para ulama al-Azhar, Mesir:

وَالْاِحْتِفَالُ بِهَذِهِ الْأَعْيَادِ مَعْنَاهُ الْاِهْتِمَامُ بِهَا ، وَالْمُنَاسَبَاتُ الَّتِى يُحْتَفَلُ بِهَا قَدْ تَكُوْنَ دُنْيَوِيَّةً مَحْضَةً وَقَدْ تَكُوْنُ دِيْنِيَةً أَوْ عَلَيْهَا مَسْحَةٌ دِيْنِيَّةٌ، وَالْإِسْلَامُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا هُوَ دُنْيَوِىٌّ لَا يَمْنَعُ مِنْهُ مَا دَامَ الْقَصْدُ طَيِّبًا ، وَالْمَظَاهِرُ فِى حُدُوْدِ الْمَشْرُوْعِ ، وَبِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا هُوَ دِيْنِىٌّ قَدْ يَكُوْنُ الْاِحْتِفَالُ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ كَعِيْدَىِ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى، وَقَدْ يَكُوْنُ غَيْرَ مَنْصُوْصٍ عَلَيْهِ كَالْهِجْرَةِ وَالْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَالْمَوْلِدِ النًّبَوِى ، فَمَا كَانَ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ فَهُوَ مَشْرُوْعٌ بِشَرْطِ أَنْ يُؤَدَّى عَلَى الْوَجْهِ الَّذِى شُرِعَ ، وَلَا يَخْرُجَ عَنْ حُدُوْدِ الدِّيْنِ ، وَمَا لَمْ يَكُنْ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ ، فَلِلنَّاسِ فِيْهِ مَوْقِفَانِ ، مَوْقِفُ الْمَنْعِ لِأَنَّهُ بِدْعَةٌ ، وَمَوْقِفُ الْجَوَازِ لِعَدَمِ النَّصِّ عَلَى مَنْعِهِ

فَالْخُلَاصَةُ أَنَّ الْاِحْتِفَالَ بِأَيَّةِ مُنَاسَبَةٍ طَيِّبَةٍ لَا بَأْسَ بِهِ مَا دَامَ الْغَرَضُ مَشْرُوْعًا وَالْأُسْلُوْبُ فِى حُدُوْدِ الدِّيْنِ ، وَلَا ضَيْرَ فِى تَسْمِيَةِ الْاِحْتِفَالاتِ بِالْأَعْيَادِ ، فَالْعِبْرَةُ بِالْمُسَمَّيَاتِ لَا بِالْأَسْمَاءِ (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 160)

“Peringatan dengan hari-hari perayaan maknanya adalah mementingkan hari-hari tersebut. Kegiatan yang dilakukan perayaan ada kalanya murni agama, ada kalanya murni duniawi dan ada kalanya bersifat agama yang ada sentuhan duniawi. (Sikap) Islam terhadap hal yang bersifat duniawi adalah tidak melarang, selama tujuannya baik, pelaksanaannya juga dalam batas-batas syariat. Dan sikap Islam terhadap hal yang bersiafat agama, maka peringatan tersebut ada kalanya (1) memiliki nash dalam agama seperti Idul Fitri dan Idul Adlha, dan (2) tidak ada nash dalam agama, seperti hijrah Nabi, Isra’-Mi’raj, dan Maulid Nabi. Peringatan yang memiliki nash hukumnya adalah disyariatkan dengan syarat melaksanakannya sesuai syariat dan tidak keluar dari batas-batas agama. Sedangkan peringatan yang tidak ada nash, maka ulama ada 2 pendapat, yaitu kelompok yang melarang karena menilainya bid’ah dan kelompok yang mengatakan boleh, karena tidak ada dalil yang melarangnya.

Memperingati hari ibu termasuk hal yang baru yang tidak ada dalil tekstualnya namun ada sentuhan agama yang bersumber dalam Al-Qur'an dan Hadits yaitu perintah untuk memuliakan orang tua terlebih menghormati jasa ibu.

Kesimpulannya bahwa peringatan dengan apa pun bentuknya yang baik adalah boleh, selama tujuannya dibenarkan oleh agama dan pelaksanaannya berada dalam batas-batas agama. Tidak ada pengaruh dalam penamaan  peringatan dengan Hari Raya. Karena yang dinilai adalah konten isi, bukan nama” (Fatawa al-Azhar 10/160)

Bahkan peringatan yang berkaitan dengan Sungai Nil di Mesir hukumnya tidak dilarang:

إِنَّ الْاِحْتِفَالَ بِوَفَاءِ النِّيْلِ يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ احْتِفَالًا بِنِعْمَةٍ مِنْ أَكْبَرِ نِعَمِ اللهِ عَلَى مِصْرَ، وَذَلِكَ بِشُكْرِهِ سُبْحَانَهُ وَحُسْنِ اسْتِخْدَامِ هَذِهِ الْمِيَاهِ فِى خَيْرِ النَّاسِ ، وَالْبُعْدِ عَنْ تَلْوِيْثِهَا وَالْإِسْرَافِ فِيْهَا (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 371)

“Perayaan Sungai Nil wajib dijadikan sebagai perayaan atas bentuk nikmat terbesar dari Allah bagi bangsa Mesir. Caranya adalah dengan bersyukur kepada Allah, menggunakan air tersbut untuk kebaikan bersama, tidak mengotorinya dan tidak berlebihan dalam penggunaannya” (Fatawa al-Azhar 10/371)

3. Kelompok yang mengambil secara tekstual dalil sehingga mengharamkan, membid'ahkan (mencela) dan menghukumi sesat segala sesuatu yang tidak tersebut secara langsung dalam Al-Qur'an dan Hadits seperti maulid, isra mi'raj, upacara bendera, hormat bendera dan sebagainya adalah kelompok Wahabi.

Sekelompok orang yang mengharamkan peringatan hari kemerdekaan dan sebagainya hanya bertaklid dan berpijak kepada ulama-ulama Wahabi, diantaranya yang disampaikan oleh Syaikh bin Baz:

اْلاِحْتِفَالُ بِعِيْدِ الْمَوْلِد، وَعِيْدِ الْاُمِّ، وَالْعِيْدِ الْوَطَنِي؛ لِمَا فِي اْلأَوَّلِ مِنْ إِحْدَاثِ عِبَادَةٍ لَمْ يَأْذَنْ بِهَا اللهُ، وَلِمَا فِي ذَلِكَ التَّشَبُّهُ بِالنَّصَارَى وَنَحْوِهِمْ مِنَ الْكَفَرَةِ، وَلِمَا فِي الثَّانِي وَالثَّالِثِ مِنَ التَّشَبُّهِ بِالْكُفَّارِ. (فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء – ج 4 / ص 302)

“Peringatan Maulid Nabi, Hari Ibu dan Hari Kemerdekaan Negeri, (semua dilarang) karena yang pertama (Maulid Nabi) memperbarui ibadah yang tidak diizinkan oleh Allah dan menyerupai dengan Nasrani dan orang kafir lain, dan yang kedua dan ketiga (Hari Ibu dan Hari Kemerdekaan Negara) karena menyerupai dengan orang kafir” (Fatawa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, 4/302)

Di bagian lain Syaikh Bin Baz berkata:

وَيُلْتَحَقُ بِهَذَا التَّخْصِيْصِ وَالْاِبْتِدَاعِ مَا يَفْعَلُهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ مِنَ الْاِحْتِفَالِ بِالْمَوَالِدِ وَذِكْرَى اسْتِقْلَالِ الْبِلَادِ أَوِ الْاِعْتِلَاءِ عَلَى عَرْشِ الْمَلِكِ وَأَشْبَاهِ ذَلِكَ ، فَإِنَّ هَذِهِ كُلَّهَا مِنَ الْمُحْدَثَاتِ الَّتِي قَلَّدَ فِيْهَا كَثِيْرٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ غَيْرَهُمْ مِنْ أَعْدَاءِ اللهِ (مجموع فتاوى ابن باز – ج 5 / ص 324)

“Sama seperti takhsis dan bid’ah ini, hal-hal yang dilakukan banyak orang, seperti peringatan Maulid Nabi, peringatan hari kemerdekaan negara, hari kenaikan tahta menjadi Raja dan sebagainya. Semua ini adalah bid’ah yang diperbarui, yang umat banyak Islam bertaklid kepada musuh-musuh Allah.

Anehnya, meski ulama Wahabi menegaskan haram, namun kerajaan Arab Saudi setiap tahunnya selalu melakukan Hari Kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 23 September. Bahkan bagi Mufti Saudi, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, merayakan hari kemerdekaan tidaklah dihukumi bid’ah. Jelas ini adalah ketidakkonsistenan pengikut Wahabi.

يَنْبَغِى اَنْ يَكُوْنَ الْيَوْمُ الْوَطَنِى يَوْمَ شُكْرٍ لِلهِ وَلَابُدَّ مِنَ السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِوُلَاةِ الْاَمْرِ

“Sepatutnya hari nasional merupakan hari syukur kepada Allah dan keharusan mendengar dan ta’at kepada penguasa negara.

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa mayoritas ulama sunni memperbolehkan peringatan apapun dengan syarat benar cara dan tujuannya sehingga tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun ada yang melarang dan mengharamkan semua perayaan maka hendaknya umat Islam untuk saling menghormati. Ekspresi kecintaan dan penghormatan kepada ibu boleh dengan merayakan hari ibu atau tidak merayakan hari ibu namun tetap dengan kewajiban berbakti, mendoakan dan membalas semua kebaikannya yang tidak dibatasi oleh waktu. Hendaknya untuk saling menjaga dan tidak menuduh dengan tuduhan yang buruk seperti kafir, fasik, musyrik dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...