Selain disebut sebagai ahli ilmu, tentu ulama juga berakhlak mulia karena ulama tak hanya mewarisi ilmunya nabi tapi juga mewarisi akhlaknya kanjeng nabi. Jadi ilmu dan akhlak adalah kata kunci untuk disebut sebagai ulama.
Dengan demikian, maka kita tak boleh dengan mudahnya memberi gelar keulamaan kepada seseorang sebelum terhimpun pada dirinya ilmu dan akhlak. Tidak dapat dikatakan sebagai ulama jika hanya pintar saja melainkan juga berakhlak agung. Semakin dalamnya keilmuan seseorang maka semakin tinggi pula akhlak kemanusiaannya. Semakin dalam ilmunya seseorang maka semakin takut pula dirinya kepada Allah swt. Jika hanya bermodalkan pintar saja tanpa adanya akhlak maka iblispun layak untuk disebut ulama karena ketinggian ilmunya.
Dalam konteks kekinian (zaman now) disaat radikalisme dan terorisme melanda sebagian besat dunia muslim maka peran ulama tak lagi sebatas kepandaian ilmu dan keagungan akhlak namun juga rasa nasionalisme atau cinta tanah air.
Ulama pejuang kemerdekaan semuanya memiliki rasa cinta tanah air. Dengan rasa cinta tanah air mereka rela bersusah payah hingga siap mengorbankan jiwa raga dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tanpa adanya sikap nasionalisme ini maka mustahil mereka rela mati berjuang. Mengapa rela mati jika sudah mendapatkan kedudukan dimasyarakat karena menyandang gelar sebagai ahli ilmu?
Sebut saja KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Idham Chalid, KH. Wahid Hasyim, Hamka dan ditambah lagi ulama-ulama pejuang lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Maka peran keulamaan dimasa perjuangan kemerdekaan ini memiliki power dalam memobilisasi kekuatan umat. Dengan semangat patriotisme, mereka mampu menumpas para penjajah.
Dengan semangat nasionalisme, ulama menjadi perekat bagi perdamaian bangsa. Mampu menyatukan berbagai elemen kebhinekaan dengan sangat serasi. Nasionalisme ulama mampu membendung radikalisme. Tidak mudah dipecah belah dan diprovokasi karena sentimen agama dan isu SARA.
Tentang perlunya ulama memiliki jiwa nasionalis, kita bisa berkaca pada negara Timur Tengah hari ini betapa mahalnya rasa nasionalisme disana. Para ulama sangat tidak berdaya menghadapi konflik yang ada dinegaranya karena rakyatnya sangat krisis rasa nasionalisme. Ulama atau tokoh agama juga sangat minim cinta tanah air sehingga negaranya dapat dihancurleburkan oleh berbagai kepentingan.
Agar NKRI tidak mengalami nasib yang sama tragisnya dengan Timur Tengah maka wajib bagi ulama NKRI memiliki jiwa nasionalis sehingga peran ulama dan peran pemimpin bangsa (umara) dapat saling mendukung. Memisahkan dan membenturkan peran keduanya sama halnya dengan memisahkan jasad dan ruh.
Kunci utama perdamaian dan kemajuan bangsa adalah saling menopangnya antara tugas kenegaraan yaitu pemimpin bangsa dan tugas keumatan yaitu ulama. Agar pemimpin dapat lurus dalam melaksanakan kepemimpinannya maka wajib untuk menaati dan meminta petunjuk dari ulama. Negara dapat maju jika suara ulama didengar dan ulama dapat menjadi panutan bagi umat.
Oleh sebab itu, marilah kita bangun kesadaran nasionalisme untuk menjaga dan membangun negeri ini. Semakin dalam pengetahuan agama maka semakin dalam pula rasa nasionalisme. Tidak perlu dalil agama yang banyak untuk membela tanah air karena untuk melaksanakan dalil-dalil dan perintah-perintah agama sangat membutuhkan peran tanah air.
Adalah hal yang tidak masuk akal jika mengaku beragama dan paling paham agama namun gersang rasa cinta tanah air. Betapa banyak rakyat Indonesia rela mati untuk membela negara tanpa harus paham dengan banyak dalil agama. Sangat memalukan jika mengaku ulama namun miskin rasa nasionalisme. Jika negeri ini selalu diisi oleh ulama yang sangat nasionalis sebagaimana ulama pendahulu maka dapat dipastikan bahwa negara ini akan selalu aman, damai dan makmur namun jika dipenuhi ulama yang tidak nasionalis, cepat atau lambat, negara ini pasti akan hancur.
udah kita maklumi bahwa ulama adalah orang yang berilmu. Ulama fikih (fuqaha) berarti adalah pakar dibidang fikih. Disebut pakar karena ahli, paling mengerti dan memahami bidangnya. Ahli fikih berarti mampu menggali ayat-ayat hukum didalam Al-Qur'an dan sunnah, merumuskan hukum atau ijtihad kemudian mampu menyelesaikan berbagai persoalan kemasyarakatn dibidang fikih.
Selain disebut sebagai ahli ilmu, tentu ulama juga berakhlak mulia karena ulama tak hanya mewarisi ilmunya nabi tapi juga mewarisi akhlaknya kanjeng nabi. Jadi ilmu dan akhlak adalah kata kunci untuk disebut sebagai ulama.
Dengan demikian, maka kita tak boleh dengan mudahnya memberi gelar keulamaan kepada seseorang sebelum terhimpun pada dirinya ilmu dan akhlak. Tidak dapat dikatakan sebagai ulama jika hanya pintar saja melainkan juga berakhlak agung. Semakin dalamnya keilmuan seseorang maka semakin tinggi pula akhlak kemanusiaannya. Semakin dalam ilmunya seseorang maka semakin takut pula dirinya kepada Allah swt. Jika hanya bermodalkan pintar saja tanpa adanya akhlak maka iblispun layak untuk disebut ulama karena ketinggian ilmunya.
Dalam konteks kekinian (zaman now) disaat radikalisme dan terorisme melanda sebagian besat dunia muslim maka peran ulama tak lagi sebatas kepandaian ilmu dan keagungan akhlak namun juga rasa nasionalisme atau cinta tanah air.
Ulama pejuang kemerdekaan semuanya memiliki rasa cinta tanah air. Dengan rasa cinta tanah air mereka rela bersusah payah hingga siap mengorbankan jiwa raga dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tanpa adanya sikap nasionalisme ini maka mustahil mereka rela mati berjuang. Mengapa rela mati jika sudah mendapatkan kedudukan dimasyarakat karena menyandang gelar sebagai ahli ilmu?
Sebut saja KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Ahmad Dahlan, KH. Idham Chalid, KH. Wahid Hasyim, Hamka, KH. As'ad Syamsul Arifin dan ditambah lagi ulama-ulama pejuang lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Maka peran keulamaan dimasa perjuangan kemerdekaan ini memiliki power dalam memobilisasi kekuatan umat. Dengan semangat patriotisme, mereka mampu menumpas para penjajah.
Dengan semangat nasionalisme, ulama menjadi perekat bagi perdamaian bangsa. Mampu menyatukan berbagai elemen kebhinekaan dengan sangat serasi. Nasionalisme ulama mampu membendung radikalisme. Tidak mudah dipecah belah dan diprovokasi karena sentimen agama dan isu SARA.
Tentang perlunya ulama memiliki jiwa nasionalis, kita bisa berkaca pada negara Timur Tengah hari ini betapa mahalnya rasa nasionalisme disana. Para ulama sangat tidak berdaya menghadapi konflik yang ada dinegaranya karena rakyatnya sangat krisis rasa nasionalisme. Ulama atau tokoh agama juga sangat minim cinta tanah air sehingga negaranya dapat dihancurleburkan oleh berbagai kepentingan.
Agar NKRI tidak mengalami nasib yang sama tragisnya dengan Timur Tengah maka wajib bagi ulama NKRI memiliki jiwa nasionalis sehingga peran ulama dan peran pemimpin bangsa (umara) dapat saling mendukung. Memisahkan dan membenturkan peran keduanya sama halnya dengan memisahkan jasad dan ruh.
Kunci utama perdamaian dan kemajuan bangsa adalah saling menopangnya antara tugas kenegaraan yaitu pemimpin bangsa dan tugas keumatan yaitu ulama. Agar pemimpin dapat lurus dalam melaksanakan kepemimpinannya maka wajib untuk menaati dan meminta petunjuk dari ulama. Negara dapat maju jika suara ulama didengar dan ulama dapat menjadi panutan bagi umat.
Oleh sebab itu, marilah kita bangun kesadaran nasionalisme untuk menjaga dan membangun negeri ini. Semakin dalam pengetahuan agama maka semakin dalam pula rasa nasionalisme. Tidak perlu dalil agama yang banyak untuk membela tanah air karena untuk melaksanakan dalil-dalil dan perintah-perintah agama sangat membutuhkan peran tanah air.
Adalah hal yang tidak masuk akal jika mengaku beragama dan paling paham agama namun gersang rasa cinta tanah air. Betapa banyak rakyat Indonesia rela mati untuk membela negara tanpa harus paham dengan banyak dalil agama. Sangat memalukan jika mengaku ulama namun miskin rasa nasionalisme. Jika negeri ini selalu diisi oleh ulama yang sangat nasionalis sebagaimana ulama pendahulu maka dapat dipastikan bahwa negara ini akan selalu aman, damai dan makmur namun jika dipenuhi ulama yang tidak nasionalis, cepat atau lambat, negara ini pasti akan hancur.
No comments:
Post a Comment