Saturday, March 31, 2018

Merawat Perbedaan dalam Kultur NU


Sedikit tentang beberapa masalah perbedaan berpendapat dan cara berfikir serta sikap terhadap sebuah masalah, saya hanya ingin menukil cerita Gus Dur saat beliau hadir di Ponpes Walisongo Mimbaan Situbondo yang diasuh Syaikhuna Wa Murobbina KH. Raden Kholil As'ad Syamsul 'Arifin dalam acara "Halal Bihalal" Simpatisan PKB - NU.

Mbah As'ad Syamsul'Arifin pernah dawuh dan menegaskan sikap Mufaroqoh (memisah) dengan Gus Dur, namun hal itu hanya dalam masalah politik di masa orde baru tapi oleh orang NU abal-abalan para pembenci NU malah ditambahi dan dibumbui secara tidak terarah dengan mengatakan bahwa Mbah As'ad sudah keluar dari NU dan akan membentuk NU baru sesuai ideologi Mbah Hasyim Asy'ari di masa lalu. Sungguh mengherankan. Padahal sejatinya tidak seperti itu.

KH. Ahmad Shiddiq Jember pernah berbeda pendapat dengan Gus Miek dalam masalah penerapan konsep Syariat dan dakwah dimana pada awalnya KH. Ahmad Shiddiq menganggap bahwa Gus Miek telah menyimpang dan menyeleweng dari segi syariat namun pada akhirnya beliau berdua menjadi kompak dalam memperjuangkan agama setelah keduanya terlibat dialog secara empat mata di Jember lewat perantara Gus Amar Mujib adik ipar KH. Ahmad Shiddiq. Hingga pada akhirnya Gus Miek mensupport dakwah KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Ahmad Shiddiq pun juga menerapkan tips dan dzikir yang pernah diijazahkan Gus Miek.

Dan yang fenomenal serta tak banyak yang tahu adalah perbedaan/khilaf antara Mbah Hasyim Asy'ari Jombang dengan Mbah Faqih Maskumambang Langitan Tuban. Setelah NU itu terbentuk secara resmi pada tahun 1926. Jajaran pengurus NU mengeluarkan sebuah Majalah NU untuk pertama kalinya yang dalam salah satu artikelnya ada tulisan pendapat Mbah Hasyim tentang bolehnya menggunakan beduk (Jidur : B. Madura) jika untuk panggilan shalat tapi jika menggunakan kentongan (Tung Tung : B. Madura) yaitu sejenis kayu atau bambu yang diberi lubang itu tidak diperbolehkan.

Bulan berikutnya terbit Majalah NU kedua yang didalam artikelnya ada tulisan Mbah Faqih Maskumambang yang menyatakan ketidaksetujuan beliau atas Mbah Hasyim dengan tidak diperbolehkannya Kentongan sebagai alat pemanggil orang untuk shalat beliau secara tegas menyatakan ketidaksetujuan atas pendapat Mbah Hasyim tentunya beliau juga membawa hujjah atas hal itu.

Pada terbitan Majalah ketiga sebelum diterbitkan Mbah Hasyim mengumpulkan 30 Kyai sepuh dan muda se-Jatim salah satunya adalah Mbah Faqih Maskumambang untuk Bahtsul Masail masalah Beduk dan Kentongan yang hasilnya akan diterbitkan pada Majalah ketiga. Para kiai pakar fikih pun sama-sama menyampaikan pendapat dan hujjah pro-kontra hingga kesimpulannya oleh Mbah Hasyim diputuskan bahwa keduanya sama-sama boleh silahkan mau ikut yang mana saja sama-sama ada dasarnya, tapi bagi saya tetap tidak boleh. Nah, pada suatu hari Mbah Faqih Maskumambang menghaturkan rawuh Mbah Hasyim dlm sebuah acara di Langitan Tuban, 3 hari sebelum acara itu diadakan.

Mbah Faqih Maskumambang menyebar ribuan surat peringatan se-kota Tuban yang tertulis " 3 hari dari sekarang selama ada Mbah Hasyim ke Langitan maka satupun tidak boleh membunyikan Kentongan, tapi gunakanlah Beduk untuk menyambut rawuhnya Mbah Hasyim nanti".

Mbah Wahab Hasbullah dan Mbah Bisri Syansuri yang masih terhitung keluarga (kakak dan adik ipar) juga tak pernah sepi dengan perbedaan pendapat dari keduanya pada setiap Bahtsul Masail bahkan ketika ada forum ke-NU-an, kiai yang lain ngalah justru dua Kyai sepuh ini yang beradu argumen, tapi dalam keluarga beliau berdua malah saling ta'zhim dan takrim terlebih saat di ndalem.

Pada suatu hari forum diadakan di ndalem Mbah Bisyri pas adzan berkumandang semua hadirin jeda dari musyawarah untuk melaksanakan shalat. Uniknya antara Mbah Wahab dan Mbah Bisyri saling menghaturkan menjadi Imam Shalat, dawuh Mbah Bisyri: "njenengan yang jadi Imam njenengan lebih sepuh". Dawuh Mbah Wahab: "njenengan yang jadi Imam lha ini masjid di area kekuasaan njenengan karena kulo cuma tamu". Demikian saling menghaturkan tanpa ada yang mau menang sendiri hingga puluhan kiai yang siap menjadi Ma'mum sepakat untuk memilih Mbah Wahhab sebagai Imam.

Bagi kita warga NU, apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran berharga dari masalah Khilafiyah atau perbedaan dalam Internal NU? Yaitu kita tak perlu membesar-besarkan apalagi mencaci maki dan memusuhi. Setiap suatu permasalahan pasti ada solusi dan hikmahnya.

Semoga Allah senantiasa memantapkan hati kita dalam kecintaan kepada NU dan keinginan untuk tetap dan terus berjuang untuk NU.

Hanya coretan seorang Kuli Bangunan TKI Malaysia. ( Rijalul Wathon Al- Madury )

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...