Friday, August 17, 2018
Mengenal Lebih Dekat KH. Ma'ruf Amin
Langkah kakinya pendek-pendek. Tatapan matanya sering ke arah depan. Jarang menunduk dan menengadah. Selalu tampak tersenyum. Egaliter dan dialogis. Tak menonjolkan diri sebagai tokoh penting di organisasi massa Islam terbesar negeri ini. Itulah KH Ma’ruf Amin.
Kiai Ma’ruf adalah Rais Am PBNU periode 2015-2020 sekaligus Ketua Umum MUI periode 2015-2020. Dua posisi puncak yang dijabat secara sekaligus ini jarang dimiliki banyak orang. Ulama yang mendapatkan posisi yang sama sebelum Kiai Ma’ruf adalah KH MA Sahal Mahfudh, rahimahu Allah.
Namun, dalam konteks NU, tak seperti para Rais Aam PBNU sebelum-sebelumnya yang semuanya tinggal di daerah, Kiai Ma’ruf tinggal di jantung ibu kota negara, Jakarta. Karena itu, ia mudah diakses oleh media. Ia bisa diwawancara kapan saja. Terlebih beliau ngantor hampir tiap hari; Senin-Selasa di Kantor MUI, Rabu-Kamis di kantor PBNU.
Penting diketahui, Kiai Ma’ruf ini bukan tipe kiai yang suka berdiri di belakang sebagai penjaga gawang. Jika diperlukan, beliau tak ragu maju ke depan, memimpin “serangan”. Ini karena beliau mengerti arah mata angin. Hampir separuh usianya memang dihabiskan di dunia politik. Pernah menjadi anggota lembaga legislatif, dari tingkat bawah hingga pusat.
Aktivitasnya di ranah politik praktis ini yang menyebabkan sebagian orang lupa bahwa Kiai Ma’ruf adalah seorang ahli fikih yang terampil. Para pelajar Islam belakangan tampaknya jarang mendengar noktah-noktah pemikiran keislamannya yang brilian. Padahal, hemat penulis, jika mau ditelusuri jejak akademiknya, Kiai Ma’ruf ini memiliki peran cukup signifikan dalam meletakkan fondasi pembaharuan pemikiran Islam terutama dalam NU.
Dulu ketika NU diserang sebagai organisasi tempat berhimpunnya para muqallid, Kiai Ma’ruf bersama para koleganya seperti Kiai Sahal, Gus Dur, Gus Mus, Kiai Maimoen Zubair, Kiai Imron Hamzah, dan Kiai Wahid Zaini membuat sejumlah terobosan penting. Salah satunya adalah dibukanya pintu istinbath dan ilhaq dalam tubuh NU. Ini sudah dikukuhkan dalam keputusan Munas NU di Lampung, 21-25 Januari 1992.
Saat itu resistensi dari sejumlah kiai bermunculan. Menurut para kiai yang kontra, kerja istinbath dan ilhaq itu adalah kerja akademik para mujtahid seperti para imam madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad ibn Hanbal) atau sekurangnya para ulama madzhab setingkat Imam Nawawi dan Imam Rofi’i. Dan menurut mereka, di NU hingga sekarang tak ada kiai yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid. Karena itu, tawaran istinbath dan ilhaq itu tak relevan bagi NU.
Penolakan itu terus menggema, dari dulu bahkan hingga sekarang. Tapi tak ada langkah mundur dari Kiai Ma’ruf dkk. Sekali layar terkembang, pantang surut ke tepian. Hingga pidatonya dalam harlah NU ke 91 kemarin, Kiai Ma’ruf masih menegaskan posisi akademik yang sama, yaitu penampikannya pada tekstualisme dan kejumudan dalam berpikir.
Mengutip Imam al-Qarafi, Kiai Ma’ruf menegaskan bahwa stagnan pada bunyi-harafiah teks Islam tidak memadai untuk menjawab persoalan-persoalan keumatan dan kebangsaan hari ini. Al-Qarafi berkata, al-jumud ‘alal manqulat dhalalun fi al din. Lebih bermasalah lagi, demikian Kiai Ma’ruf, adalah tekstualisme dalam memahami teks-teks keagamaan seperti dalam Kitab Kuning.
Sejak awal 90-an hingga sekarang, Kiai Ma’ruf istiqomah berkampanye tentang pentingnya memahami kitab kuning secara kontekstual, yaitu usaha untuk memahami teks kitab kuning lengkap dengan memahami konteks ketika teks itu disusun oleh pengarangnya.
Tak hanya itu. Seperti umumnya para pembaharu Islam lain, Kiai Ma’ruf pun mengusung ide kemaslahatan. Sebuah adagium yang potensial menghambat pendaratan kemaslahatan dan menahan laju dinamisasi pemikiran Islam secara umum coba dimodifikasi oleh Kiai Ma’ruf. Adagium itu di antaranya berbunyi, al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Kaidah ini sesungguhnya menuntut adanya keseimbangan antara merawat tradisi dan upaya inovasi. Namun, dalam implementasinya, bobot merawat tradisi lebih besar sehingga porsi untuk melakukan inovasi pemikiran kurang memadai.
Dari segi substansi, kaidah itu tentu tak bermasalah. Bahkan sangat baik. Namun, menurut Kiai Ma’ruf, kaidah itu perlu dilengkapi. Kiai Ma’ruf menawarkan modifikasi kaidah itu demikian, al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah wal ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah.
Poinnya, menurut Kiai Ma’ruf, kemaslahatan itu harus selalu ditinjau ulang. Sebab, “boleh jadi sesuatu dipandang maslahat hari ini, dua tiga tahun lagi sudah tidak maslahat lagi”, tandas Kiai Ma’ruf. Karena itu, penelusuran pada ditemukannya puncak kemaslahatan adalah kerja akademik yang perlu terus menerus dilakukan.
Tapi, sebagaimana para pemikir Islam lain, Kiai Ma’ruf tak membuka aktivitas istinbath pada ranah ibadah. Urusan ibadah, beliau pasrah. Sementara di ranah mu’amalah termasuk siyasah, Kiai Ma’ruf terus melakukan eksplorasi dan inovasi-inovasi pemikiran. Semoga sehat selalu, Kiai.
(Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita
Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...
-
Suku Chaniago adalah suku asal yang dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang yang merupakan salah satu suku induk di Minangkabau selain su...
-
Saat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, para kiai pesantren memahami dan menerapkan betul kalimat “Hubbul wathan minal iman”,...
-
Islam adalah agama fitrah yaitu suci dengan makna selalu menekankan kesucian baik lahir maupun batin dan juga suci dimaknai sesuai deng...
-
Orang yang sakti tidak suka hura-hura, cari bolo (mengerahkan bantuan), gerudukan dan cari musuh. Orang yang sakti adalah sang pemberani...
-
ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﺸﺎﻳﺦ ﺍﻟﻘﻬﻮﺓ ﺍﻟﺒﻨﻴﺔ ﻭﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻟﻌﻠﻮﻳﺔ ﻭﺍﻷﻭﻟﻴﺂﺀ ﻭﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﻳﺸﺮﺑﻬﺎ ﺑﻨﻴﺔ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺼﻠﺢ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﻭﺍﻟﻄﻮﻳﺔ- Alfatihah ila masyayi...
-
Soeharto Lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921. Ia lahir dari keluarga petani yang menganut Kejawen. Keyakinan keluarga...
-
Penggagas awal tradisi pembuatan bubur Asyura adalah Nabi Nuh–‘alaihis salam-. Dikisahkan, ketika Nabi Nuh–‘alaihis salam–turun dari kapa...
-
Beliau (Sofyan Tsauri) sampai berani bersumpah atas nama ALLAH bahkan berani Bermubahalah jika ada yang menuduh dia berdusta atas apa yan...
-
Kekafiran Penyihir Para ulama berbeda pendapat tentang seorang muslim yang menggunakan sihir, apakah dia kafir keluar dari agama Islam,...
-
Seorang tokoh dan cendekiawan terkemuka Indonesia mengapresiasi upaya dan peran Republik Islam Iran untuk mempersatukan umat Islam tanpa ...
No comments:
Post a Comment