Friday, April 13, 2018

Biografi KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom)


Penempuh jalan cahaya tidak pernah menghabiskan waktunya untuk mengutuk kegelapan. Para wali dan sufi menyelinap dalam dunia sunyi, meski tubuh fisiknya berada di tengah hamparan kehidupan, di tengah hiruk-pikuk masyarakat. Kiai ‘alim dan sufi yang menjadi rujukan warga, sering terdiam, bertapa di tengah keramaian, merenung di tengah rimba tawa dan keluh kesah.

Guru junjungan para pencari hikmah ini bernama KH Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin. Beliau dikenal dengan sebutan Abah Anom, lahir di Suryalaya, 1 Januari 1915. Ayahandanya bernama Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, dan ibundanya bernama Nyai Hj. Juhriyah. Keluarga besarnya, merupakan pengasuh pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Perjalanan panjang Abah Anom menempuh jalan pengetahuan bermula dari pesantren keluarganya. Ia mendapat didikan dari ayahanda, yang mengajari santri-santri dari penjuru Nusantara. Pada 1923-1928, Abah Anom belajar di Verflog School (Sekolah Dasar) di Ciamis. Dua tahun kemudian, pada 1930, Abah Anom mengaji di pesantren Cicariang, Cianjur. Kemudian, ia melanjutkan pengembaraan ke pesantren Jambudipa Cianjur untuk belajar fiqih, nahwu, sharaf dan balaghoh. Dua tahun berselang, Abah Anom menuju pesantren Gentur Cianjur, ngalap berkah dan mengaji dengan Ajengan Syatibi. Ia meneruskan jalan sunyi sebagai santri kelana, menuju Pesantren Cireungas di Cimelati, Sukabumi, pada 1935-1937.

Di bawah bimbingan Ajengan Aceng Mumu, pengasuh Pesantren Cireungas, Abah Anom mendapat tempaan lahir batin, ilmu pengetahuan dan hikmah. Di pesantren ini, Abah Anom mengalami berbagai tantangan yang kelak menjadikan dirinya teguh dalam berdakwah dan mengajar santri. Ajengan Aceng Mumu seorang ulama ahli silat dan pengajar kearifan. Dalam usia muda, Abah Anom dipercaya menjadi Wakil Talqin Abah Sepuh.

Abah Anom tertarik mendalami ilmu kanuragan dan silat, semenjak diperkenalkan oleh Ajengan Aceng Mumu. Kemudian, ia memperdalam dengan berguru kepada ahli silat dan ‘alim, Syaikh Haji Junaedi di Pesantren Citengah, Panjalu. Perjalanan panjang berguru pada beberapa ulama di Jawa Barat tidak lantas menjadikan Abah Anom berhenti belajar, ia meneruskan langkah dengan menyusuri jalan hikmah sebagai santri kelana.

Pengelana Sunyi

Untuk meningkatkan kepekaan batin, Abah Anom melakukan riyadhah dan ziarah ke makam para wali ketika mengaji di pesantren Kaliwungu Kendal, Jawa Tengah. Ayahandanya, Abah Sepuh memerintahkan perjalanan panjang ziarah ke makam para wali. Riyadhah semacam ini juga dilakukan beliau hingga di Bangkalan, Madura, bersama kakaknya, HA Dahlan dan Kiai Pakih (Talaga, Majalengka) yang menjadi wakil Abah Sepuh.

Abah Anom menikah pada usia 32 tahun, pada kisaran tahun 1938, dengan Euis Siti Ru’yanah. Pernikahan ini, juga tidak menjadikan Abah Anom berhenti belajar. Sejenak setelah menikah, Abah Anom meneruskan petualangan ke tanah suci, berziarah dan beribadah haji di Makkah – Madinah. Di Hijaz, Abah Anom belajar ragam ilmu: tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf. Dalam pengembaraan pengetahuan dan menyusuri pematang kearifan, Abah Anom mengikuti sekaligus mengukuhkan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN).

Abah Anom menjadi tulang punggung pengembangan pesantren Suryalaya. Ketika ayahandanya, Abah Sepuh wafat pada 1956, ia menggantikan peran untuk mengajar santri dan menjadi rujukan masyarakat. Abah Anom mengembangan pesantren dengan ilmu agama, cahaya hikmah dan pengembangan masyarakat. Beliau bergerak dengan menginiasi pembangunan irigasi untuk pertanian, membuat kincir air tenaga listrik, dan beragam inovasi untuk peningkatan ekonomi warga. Ketika terjadi perselisihan antara pemerintah Republik dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Abah Anom tidak tinggal diam. Ia membela pejuang republik untuk menegakkan kemerdekaan.

Dalam catatan Asep Salahudin (Abah Anom, Wali Fenomenal Abad 21 dan Ajarannya, 2013), Abah Anom sepanjang hidupnya tidak hanya terus menjalin silaturahmi dengan siapa saja tanpa memandang asal-usul dan mazhab yang digunakan. Abah Anom berkomunikasi lintas kultur, ideologi dan memandang manusia dengan cinta, dengan kasih sayang. Ketika sudah sepuh, Abah Anom tetap setia mencurahkan mutiara hikmah dan berkah, bahkan ketika beliau harus berdiam di atas kursi roda.

“Hampir setiap pagi, termasuk Minggu dan Jum’at, pada usai Subuh, dengan sabar, tenang dan penuh harap, ratusan orang—lelaki, perempuan, tua, muda, anak-anak—duduk di Beranda, sebuah bangunan di tengah kompleks Pesantren Suryalaya. Seringkali mereka harus berdiri dalam barisan yang memanjang hingga gapura pesantren. Mereka menunggu pintu bangunan berwarna cokelat mengilap kekuning-kuningan dibuka. Di sanalah, Abah Anom tinggal sepanjang usianya,” (Salahudin, 2013: 2).

“Saya sering melihatnya lebih banyak mendengarkan daripada berkata-kata; lebih banyak diam daripada gerak. Pangersa lebih kerap menyimak keluhan, curhat dan pengaduan tetamunya. Keadaannya bagaikan samudra, segera mewadahi apapun yang datang dan jatuh kepadanya. Keluhan, pengaduan, keinginan atau permohonan selalu diterimanya dengan dada yang lapang, tanpa riak, tanpa gelombang,” tulis dekan IALM Suryalana ini (Salahudin, 2013: 8).

Dalam sebuah kuliah subuhnya, Abah Anom mengajarkan petuah keindahan.

“Hayu urang ngurus ucapan jeung tindakan sangkan salamet, ayeuna urang gunakeun supaya diri urang selamet lengkahna, salamet usik malikna, salamet usahana, salamet ngobatana, salamet ngubaranana, salamet barayana, salamet indung bapana, salamet jeung sararea. Anu ahirna teu aya halangan rintangan dina sagala tingkah laku, insya Alloh kabuka bagja dunya aherat. Alloh sanggupeun ti beheula dugi ka kiwari oge da langgeng keneh ayana zat Mantenna,”

(Mari kita jaga ucapan dan tindakan agar selamat. Sekarang, yuk, kita gunakan (ucapan dan tindakan itu) agar diri kita selamat. Selamat langkahnya, gerak-geriknya, bisnisnya; selamat pengobatannya, kerabatnya, orangtuanya, dan selamat semuanya. Sehingga, akhirnya kita tidak teradang rintangan dalam seluruh aktifitas. Insya Allah terbuka jalan kebahagiaan dunia akhirat. Allah sangat kuasa untuk itu, dari dahulu sampai sekarang karena Dirinya kekal adanya sampai kapanpun).

Abah Anom dikenal sebagai ulama yang dermawan. Beliau selalu memberikan makanan kepada seluruh tamu yang hadir ke rumahnya. Setiap harinya, ratusan tamu berkunjung ke ndalem beliau untuk silaturahmi, mengaji atau meminta petuah hikmah pengobat segala kegalauan hati. Bila malam tiba, seluruh waktu Abah Anom didedikasikan hanya untuk Allah, Sang Maha Cinta. Abah Anom menuntaskan wirid, beribadah dan bermunajat. Pada tiap malam, pada kisaran pukul dua malam, Abah Anom bangun tidur, langsung mandi tobat, shalat dan menuntaskan wirid hingga subuh. Kemudian, beliau menunaikan shalat isyraq, lalu mulai menerima tamu,” ungkap cucu pertama Abah Anom, Witri N Pertiwi, sebagaimana ditulis Salahudin (2013: 17).

Dalam kitab Miftahush Shudur, karya Pangersa Abah Anom, diawali dengan kutipan dari Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. “Bila seseorang fakir datang kepadamu, jangan memulainya dengan ilmu. Tetapi, mulailah dengan kelembutan dan kasih sayang. Sebab, ilmu membuatnya merasa asing kepadamu dan kasih sayang membuatnya akrab denganmu,”.

Dalam sebuah petuah, sebagaimana dicatat Salahudin (2013: 23) Abah Anom mengungkap:

“Ulah rek miheulaan kana kersaning Allah jeung Rosulna, anu akibatna poho we kanu mere, poho we kanu ngersakeun, geus puguh keur datang musibah mah, cacakan keur datang ni’mat oge eh teu inget. Kanikmatan bae anu digulung teh, teu tembus kanu mere kanikmatanana. Ku naon? Ku teu tuman inget ka Gusti Alloh. Aya watesna resep teh. Sing boga rasa cinta ka anak, cinta ka pamajikan, cinta ka harta benda. Tapi, meakkeun pisan kanu merena. Kumaha eta teh akibatna? Rasa anu bogana takabur, ujub, ria, ahirna ngahir-ahir waktu,”

(Jangan mendahului kehendak Tuhan dan Rasul-Nya sehingga membuat kita lupa terhadap Sang Pemberi, lupa terhadap Yang Maha Berkehendak. Jangankan saat ditimpa musibah, bahkan ketika mendapat banyak nikmat pun sering kita lupa. Selalu saja kenikmatan yang dipikirkan, tak ingat kepada Yang Memberi. Mengapa? Lantaran tidak terbiasa mengingat Tuhan. Cinta itu ada batasnya. Hendaknya punya rasa cinta pada anak, istri, dan harta benda. Tetapi, kecintaan itu menghabiskan kecintaan kepada-Nya. Jadi, apa akibatnya? Diri dikuasai sifat takabbur, angkuh, riya dan akhirnya gemar mengakhir-akhirkan waktu).

Seluruh narasi kisah hidup Abah Anom menuntaskan hikmah dan pelajaran betapa pengabdian menjadi inti hidupnya. Abah Anom menginiasi rehabilitasi pecandu narkoba, kampus, dan lembaga pendidikan terpadu. Beliau tidak sekedar mengajarkan ilmu, namun juga bergerak di masyarakat dengan kelembutan hati, dan gerakan kongkret dalam mengabdi. Abah Anom wafat pada 5 September 2011, setelah mengabdi berpuluh tahun melayani warga dengan kasih sayang dan pengabdian. Alfaatihah, semoga pesan cintamu tetap abadi, wahai Wali Allah, wahai Syaikh Shahibulwafa Tajul Arifin.

Oleh: Munawir Aziz, peziarah dan peneliti, Aktif di Gerakan Islam Cinta

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...