Tuesday, September 25, 2018

Memahami Makna "Allah Turun Kelangit Dunia"


Ada satu hadits shahih yg mengatakan bahwa Allahﷻ turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir.

ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلي السماءالدنيا حين يبقي ثلث الليل الآخر يقول :من يدعوني , فأستجيب لَه من يسألني فأعطيه, من يستغفرني فأغفر له 

Tuhan kita yg Maha Agung dan Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika telah tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berfirman: Siapakah yg berdoa kepadaku, maka aku akan mengabulkannya, Siapa yg meminta kepadaku, maka aku akan memberikannya. Siapa yg memohon ampun kepadaku maka akan Aku ampuni. (Hr Bukhari, Muslim).

Di masa lalu, para teolog berdebat sengit tentang maksud hadits tersebut. Sebagian ada yg berpendapat bahwa kata NUZUL(“turun”) di sana adalah turun dalam makna sebenarnya (makna hakikat) yg berarti pergerakan dari atas ke bawah. Dalam makna ini, hadits itu berarti Allah bergerak turun dari atas Arasy ke wilayah langit dunia. Sebaliknya, ada juga yg mengingkari hadits itu sebab dianggap mustahil.

Imam para Ahli Hadits, Ibnu Hajar Asqalani, menceritakan perbedaan pendapat mereka :
“Ada beberapa perbedaan pendapat tentang makna "turun": Sebagian orang mengartikannya secara lahirnya dan secara hakikat (makna sebenarnya), mereka adalah kaum Musyabbihah / Kaum yg menyerupakan Tuhan dengan makhlukNya. Mereka adalah kaum yg tidak mau mengikuti Imam Mazhab yg "Empat" sehingga mereka bermazhab dzahiriyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) berpegang pada nash secara dzahir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Pada umumnya mereka mengingkari makna majaz (kiasan) atau makna tersirat yakni makna di balik yg tertulis atau makna di balik yg tersurat. Allah maha suci dari perkataan mereka. Sebagian lagi mengingkari kesahihan seluruh hadits² yg berbicara tentang nuzul : Mereka adalah Khawarij dan Mu'tazilah. Jaman sekarang Mujasimah yg diusung Wahabiyyah.

Anehnya mereka mentakwil ayat dalam al Qur’an yg seperti itu tetapi mengingkari Hadits, baik karena tidak tahu atau memang menentang.

,ويلكم لا تفتروا على اللهِ كذبا فيسحتكم بعذاب وقد خاب من افترى

“Celakalah kalian, janganlah kalian mengada-adakan kedustaan terhadap Allah sehingga Dia membinasakan kamu dengan adzab, dan sesungguhnya telah merugilah orang yg mengada-adakan kedustaan.”
(QS Thaha 61).

Sebagian lagi ada yg membacanya sesuai redaksi yg ada sambil mengimaninya secara global dengan tetap menyucikan Allah Ta'ala dari tata cara dan penyerupaan. Mereka adalah MAYORITAS Salaf ".

Jadi, yg memaknai kata turun secara literal (makna hakikat atau makna yg bukan dalam arti kiasan) adalah kaum Musyabbihah. Bagaimanapun, kata turun dalam kamus adalah bergerak dari atas ke bawah, bergerak ke tempat yg lebih rendah daripada tempat semula. Arti semacam ini mau tidak mau pasti mengandung pemberian tata cara (kaifiyah) dan penyerupaan antara Allah dan makhluk (tasybih).

Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah menolak keras arti LEKSIKAL seperti di atas sebab itu mustahil bagi Allah.
- Pertama bagi Ahlussunnah adalah menerima hadis itu dengan tanpa perlu membahasnya secara mendalam, cukup membaca ulang sesuai redaksi yg ada tanpa mengubah konteksnya dan tanpa menentukan maknanya secara khusus serta menyucikan Allah dari makna yang tak layak baginya.
- Kedua adalah menerima hadis itu tetapi mentakwil artinya ke arah selain makna “bergerak secara fisik ke arah bawah” yg lebih layak bagi Allah.
Opsi pertama di atas adalah pilihan mayoritas salaf, sedangkan opsi kedua banyak dipilih oleh ulama di masa berikutnya (muta’akhirin).

Imam Ibnu Hajar menukil pernyataan al Baidlawi, tokoh Ahlussunnah yg memilih opsi kedua :
"al Baidlawi berkata: Tatkala sudah pasti dengan dalil² yg qath’i (tak terbantahkan) bahwa Allah adalah Maha Suci dari sifat jismiyah (sifat fisik) dan tahayuz (batasan), maka tak mungkin kata turun bermakna pergerakan dari satu tempat ke tempat lain yg lebih rendah. Maka yg dimaksud adalah turunnya cahaya kasih sayang”.

Di bagian lain, Ibnu Hajar juga menukil pendapat tokoh Ahlussunnah lainnya yg berkata:

“Turun adalah mustahil bagi Allah sebab hakikatnya adalah pergerakan dari atas ke bawah. Dan, dalil² yg qath’i telah menunjukkan atas kemahasucian Allah dari itu semua, maka takwillah hadits itu bahwa yg dimaksud adalah turunnya malaikat kasih sayang dan sejenisnya atau maknanya tafwidh (dipasrahkan pada الله) serta diyakini kesucian Allah dari hal yang tak layak (tanzih).

Opsi kedua ini senada dengan pendapat Imam Malik yg diriwayatkan oleh adz Dzahabi dengan sanadnya sbgai berikut :
“Dari Ibnu ‘Adiyy, telah bercerita pada kami Harun bin Hassan, telah bercerita pada kami Shalih bin Ayyub, telah bercerita pada kami Habib bin Abi Habib, telah bercerita pada kami Malik bin Anas. Malik berkata: Telah turun urusan Tuhan kita, adapun Tuhan kita maka tetap tak berubah".
(Siyar A’lam an Nubala').

Demikianlah aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam memahami hadits nuzul atau hadits turunnya Tuhan tersebut. Makna hakikat sebagaimana dinyatakan di dalam kamus adalah ditolak sebab pergerakan adalah mustahil bagi Dzat Allah. Bergerak dan terbatas dalam tempat adalah ciri khas makhluk. (Fath al Bari juz 3 hal 30, dan juz 3 hal129).

بسم الله الرحمن الرحيم
فاطر السماوات والأرض جعل لكم من أنفسكم أز واجا ومن الا نعام أزواجا يذر وكم فيه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan² dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yg serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
(Qs Asy Syuuraa 11). Wallahu A’lam.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...