Oleh Muhamad Guntur Romli
Lega rasanya hati ini melihat momen Sukmawati mencium tangan KH Ma'ruf Amin, Ketua Umum MUI dengan penuh ta'dzim (penghormatan).
Inilah bagian dari proses permintaan maaf Sukmawati atas puisinya "Ibu Indonesia" yang viral dan dianggap kontroversial. Sebelumnya Sukmawati sudah minta maaf sambil menangis dalam Konferensi Pers di Cikini (silakan baca tulisan saya: Setelah Sukmawati Minta Maaf: http://www.gunromli.com/2018/04/setelah-sukmawati-meminta-maaf/)
KH Ma'ruf Amin juga meminta agar proses pemolisian atas kasus Sukmawati tak perlu diteruskan. Beliau juga berharap laporan polisi yang dilayangkan untuk Sukmawati dicabut. Ansor Jawa Timur yang melaporkan Sukmawati juga akan mencabut laporan (sumber) Karena bagaimana pun KH Ma'ruf Amin adalah Rais Aam PBNU (Pemimpin Tertinggi dalam struktur organisasi NU).
Sikap KH Ma'ruf Amin ini yang menunjukkan kebesaran jiwa dan kelapangan hati sebagai seorang ulama yang selalu setia dan siap memberikan arahan dan bimbingan tak lepas dari gugatan dan cibiran. Meskipun menurut Hendardi dari Setara Institute dalam menyikapi isu penodaan agama dan penerapan "UU No. 1/PNPS/1965 sebagai genus Pasal 156a KUHP, musti dilakukan secara bertahap, dengan peringatan dan teguran. Pilihan pemidanaan adalah opsi terakhir yang bisa ditempuh setelah proses klarifikasi itu dilakukan dan peringatan diabaikan." (Sumber)
Maka sikap yang diambil oleh KH Ma'ruf Amin, baik beliau sebagai Ketua Umum MUI dan Rais Aam PBNU sudah tepat dan kuat, baik dari sisi metode dakwah dan syiar dalam Islam yang mengedepankan kelemahan-lembutan dan membuka penerimaan maaf, serta menurut peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia.
Sikap KH Ma'ruf memang mengundang respon ada yang kecewa, ada yang marah. Namun saya yakin, mayoritas masyarakat yang Indonesia yang masih waras mendukung langkah KH Ma'ruf Amin, MUI dan permintaan maaf Sukmawati ini.
Meski ada yang kecewa, yang mengaitkannya dengan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang disebut-sebut tidak menerima "keistimewaan" seperti Sukmawati. Namun alangkah bijaknya kalau kita mendengarkan komentar dari keluarga Pak Ahok, adiknya Fifi Lety Indra yang mengatakan "Jangan ada lagi korban seperti Ahok". Inilah seruan yang bijak dan sangat menyentuh.
"Fifi juga menuturkan kasus penistaan agama ini cukup berakhir di Ahok, dan jangan sampai ada lagi orang yang harus dipenjara dengan kasus yang sama.
"Biarlah kasus Ahok menjadi satu-satunya kasus terakhir, yang namanya kriminalisasi, politisasi atau apa pun juga. Cukup Ahok saja. Enough is enough," kata dia."
Intinya pengalaman pahit Pak Ahok jangan sampai terulang, melihat kasus Sukmawati yang terbaik adalah memperbaiki langkah ke depan untuk menyikapinya lebih baik dan lebih arif dari masa lalu. Janganlah menggunakan kasus Pak Ahok untuk menyimpan dendam kepada siapapun, hendaknya bagaimana yang terbaik dan paling bijak kita pilih di masa depan.
Sedangkan kelompok-kelompok yang lebih ekstrim yang menentang kebijakan KH Ma'ruf Amin dalam kasus Sukmawati, saya yakin, kelompok-kelompok ini menyimpan agenda yang berbeda. Seorang ulama, kyai dan pembimbing telah ditunjukkan oleh KH Ma'ruf Amin sebagai tauladan.
Padahal kelompok-kelompok ini pula yang dulu sangat mudah memanfaatkan nama MUI dengan mendirikan GNPF-MUI, atau nama dan foto KH Ma'ruf Amin yang mereka manfaatkan dan dipajang di jalan-jalan khususnya di Jakarta, dalam kasus Ahok dan Pilkada DKI. Mereka mengklaim paling membela fatwa MUI, membela Ulama, tapi kenapa mereka sekarang paling keras menentang KH Ma'ruf Amin?
Seorang yang mengaku ahli hukum MUI berkomentar kurang ajar dengan mengatakan agar tidak menghiraukan seruan Ketua MUI Ma'ruf Amin. Saya ahli hukum MUI. Saya tidak terima. Saya siap berhadapan dengan siapapun," seru Abdul Chair Ramadhan meminta massa Aksi 64 untuk tak mempedulikan pernyataan Ketua MUI Ma'ruf Amin untuk memaafkan Sukmawati Soekarnoputri. Hal ini ia sampaikan di atas mobil komando pada Aksi 64, di Gambir, Jakarta Pusat, Jumat kemarin.
Demikian pula dengan tokoh FPI, Novel Bamukmin yang ngotot tidak akan mencabut laporan Sukmawati ke polisi yang diminta oleh KH Ma'ruf Amin. "Novel Bamukmin: Kita Tidak Akan Menarik Laporan Sukmawati!"
Padahal Abdul Chair dan Novel Bamukmin adalah pihak-pihak yang terlibat GNPF-MUI, membela ulama dan KH Ma'ruf Amin, mengapa sekarang mereka mbalelo bahkan menantang?
Apakah karena MUI sudah tidak bisa mereka manfaatkan, terus ngambek, marah, dan ngamuk dengan menentang?
Ataukah mereka punya agenda-agenda lain yang memanfaatkan kasus Sukmawati ini sebagai drama dengan episode yang berjilid-jilid, karena mereka sudah mengancam dengan istilah mereka akan "meng-Ahok-kan" Sukmawati, serta untuk konsolidasi kelompok dengan demo-demo dan penggalangan dana (karena di pamflet acara sudah ada buka donasi dan nomer rekening)?
Siapakah mereka dibanding KH Ma'ruf Amin yang merupakan Rais Aam PBNU, organisasi Islam terbesar di Indonesia sekaligus Ketua Umum MUI yang menjadi perekat ormas-ormas Islam di Indonesia, yang menjadi simbol umat Islam Indonesia saat.
Saya haqqul yaqin, mayoritas orang waras di Indonesia bersyukur atas proses ini. KH Ma'ruf Amin menerima permintaan maaf Sukmawati, dan mayoritas muslim pun mendukung kebijakan ini karena sudah lelah drama berjilid-jilid dengan isu penodaan agama, sementara mereka yang memakai agama untuk menipu seperti Abu Tours dan First Travel, atau penggunaan istilah juz dalam kasus suap politisi PKS tak pernah menjadi perhatian, apalagi sampai ada demo-dari kelompok-kelompok yang selama ini sering mengatasnamakan Islam, ulama dan umat Islam.
Terima kasih KH Ma'ruf Amin yang telah memberikan tauladan dalam kasus ini. Semoga Kiai diberi kekuatan, kesehatan dan kesabaran (menghadapi mereka yang masih kecewa dan marah).
No comments:
Post a Comment