Friday, April 13, 2018

Mengenal Kesaktian Kiai NU


Sejak awal, saya melihat jika siapapun yang ada di pucuk pimpinan Syuriah PBNU itu selalu punya mentalitas baja, pendirian sekokoh karang, dan karakter yang unik: faqih , yang punya jangkauan visi jangka panjang. Tidak gegabah dan tahan jika diru,sak kelompoknya sendiri maupun kelompok lain.

Setelah Kiai Hasyim Asy'ari dibebaskan dari penjara Jepang, ada sebagian umatnya yang melihat beliau mulai melunak. Apalagi ketika beliau bersama para ulama lain diundang Saiko Sikikan ke Jakarta. Sejak saat itu Kiai Hasyim dan ulama lain benar-benar mempraktikkan doktrin Rasulullah, al-Harbu Khid'ah (perang adalah tipudaya). Peristiwa pembentukan paramiliter PETA dan Hizbullah adalah salah satu langkah jangka panjang. Jepang mau memanfaatkan umat Islam agar dilibatkan dalam perang Asia Raya, tapi Kiai Hasyim dan ulama lain membaca strategi ini secara terbalik: ini adalah kesempatan emas belajar teknik perang dan strategi tempur. Soal kapan perangnya, itu urusan lain. Tak heran jika dari 66 batalion PETA, separuhnya dipimpin oleh ulama (KH. Choliq Hasyim Asy'ari, KH. Wahib Wahab Chasbullah, KH. Sjam'un, KH. Abdullah bin Nuh, dan seterusnya). Lambang PETA juga unik. Bulan Bintang yang menutupi bendera matahari terbit.

Pendirian Hizbullah juga unik. Melalui perwira intelijennya, Abdul Hamid Ono, Jepang mau melibatkan santri sebagai pembantu kemiliteran. Tapi oleh Kiai Wahid Hasyim, Jepang malah diminta sekalian membentuk barisan milisi santri yang kelak dinamakan Hizbullah. Apakah Kiai Wahid dan ulama lain tidak dirusak saat itu? Jelas beliau dituduh macam-macam. Kolaborator Jepang, antek Jepang, penjilat, dan sebagainya. Apa beliau peduli? Blas. Cuek. Sebab beliau mementingkan visi jangka panjang. Apa itu visi? Kalau anda punya tanah lapang-kosong lalu anda berimajinasi mendirikan bangunan megah di atasnya lalu menyusun anggaran, bekerja keras mewujudkannya, itulah visi. Di kemudian hari kita tahu kegunaan kombatan (eks) PETA dan Hizbullah ini dalam revolusi kemerdekaan. Andaikata saat itu Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahid Hasyim dan ulama lain tidak lihai berstrategi di hadapan Jepang dan lebih mementingkan reputasi pribadinya, niscaya banyak pemuda muslim ketinggalan belajar taktik tempur dan teknik persenjataan.

Di lain hari, coba kita cermati saat Kiai Wahab Chasbullah dirusak habis-habisan saat NU keluar dari Masyumi maupun bergabung dengan Nasakom. Di era Kiai Wahab ini NU dibully dan dicaci maki karena ijtihad politiknya dan pilihan menjadi penyeimbang kekuatan militer dan PKI yang berebut pengaruh di hadapan Bung Karno. Di era ini, Kiai Wahab dan para ulama NU dituduh munafik oleh sahabat-sahabat di Masyumi dan dikafirkan saudara-saudara di DI/TII.

Di era Orba, KH. Bisri Sjansuri yang dihantam karena soal PPP. Kiai Achmad Shiddiq, Rais Am Syuriah PBNU berikutnya, juga dirundung karena pilihan asas tunggal Pancasila. Lantas, Kiai Ilyas Ruchiyat diserang terus menerus (dari eksternal maupun internal) gara gara terlalu sabar mendampingi Gus Dur.

Hingga kemudian kita bisa belajar dari kekokohan Kiai Sahal Mahfudz dan Kiai Makruf Amin meladeni "serangan" eksternal maupun tekanan internal. Beliau-beliau sudah menyadari resikonya dan mempersiapkan mentalitasnya. Karena itu dalam sejarah NU, pantang bagi para Rais Am Syuriah mengasihani diri sendiri dan menampakkan ekspresi didzalimi dengan lebay. Apalagi memelas melaskan diri. Sebab, kalau kita belajar dari "psikologi orangtua", pantang bagi seorang ayah mewek di hadapan anak-anaknya dan menampilkan ekspresi melas gara-gara sebuah masalah, misalnya. Seorang ayah harus tegar dan tangguh dalam kondisi apapun agar anak-anaknya belajar makna martabat, harga diri, dan jauh dari mengasihani diri sendiri.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...