Allah subhanahu wata’ala menghalalkan seorang hamba untuk melakukan transaksi jual beli. Segala bentuk jual beli asal memenuhi tuntunan yang sudah disyariatkan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagaimana sudah dijabarkan oleh para ulama dalam kitab-kitab turats fiqih, adalah boleh dipraktikkan. Wajah jual beli adalah mendapatkan keuntungan. Antara keuntungan jual beli kontan dan jual beli kredit, bertempo, adalah sama-sama diperbolehkan oleh syariat.
Khusus jual beli kredit, keserupaan keuntungan yang didapat lewat jual beli secara kredit ini sering diwacanakan secara salah oleh sekelompok masyarakat. Banyak orang yang beranggapan bahwa jual beli kredit adalah sama dengan “nganakne duit” (riba). Padahal, sama sekali hal itu bukan sebagaimana yang dimaksudkan. Penyerupaan jual beli secara kredit ini pernah juga dilakukan oleh orang-orang kafir jahiliyah pada masa risalah kenabian Baginda Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, namun hal itu secara tegas dibantah oleh Allah lewat Surat al-Baqarah ayat 275. Lewat ayat itu, Allah juga mengancam bahwa orang-orang yang menyerupakan antara “keuntungan jual beli yang diperoleh secara kredit” dengan “keuntungan yang didapat dari riba”, dengan:
1. Kelak ia akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan seperti orang yang gila
2. Tempat kembali orang yang demikian itu adalah neraka, sebagai seburuk-buruk tempat kembali (QS. Al-Baqarah 275)
Betapa Allah sangat memperhatikan kehidupan niaga ini dengan sampai memberikan ancaman bagi kaum yang hendak mengaburkan pandangan antara jual beli dan riba. Padahal, sekilas memang antara keduanya–yakni praktik jual beli dan riba–adalah hampir sama, bahkan ada kemiripan. Letak perbedaan utamanya adalah pada proses akad yang dipergunakan dan praktiknya. Mungkin, di sinilah alasan mengapa Allah SWT memberikan penekanan khusus terhadap jual beli ini di dalam Al-Qur’an, adalah karena sebagian besar kebutuhan manusia itu harus dipenuhi dengan jalan melakukan transaksi jual beli dan muamalah lainnya yang sejenis termasuk di dalamnya harus diperoleh dengan jalan kredit.
Jual beli kredit dalam istilah fiqih disebut dengan بيع تقسيط (dibaca: bai‘ taqsîth). Adapun jual beli dengan bertempo disebut dengan istilah بيع بالثمن الآجل (dibaca: bai’ bi al-tsamani al-âjil). Jual beli bertempo atau taqsîth yang disertai dengan uang muka, disebut dengan istilah بيع عربان (dibaca: bai’ urbân). Ketiga-tiganya merupakan jual beli dengan harga tidak tunai (harga tunda). Apakah jual beli ini sama dengan riba?
Dalam literatur fiqih kontemporer, bai’ taqsîth (jual beli kredit) ini didefinisikan sebagai berikut:
البيع بالتقسيط بيع بثمن مؤجل يدفع إلى البائع في أقساط متفق عليها، فيدفع البائع البضاعة المبيعة إلى المشتري حالة، ويدفع المشتري الثمن في أقساط مؤجلة، وإن اسم " البيع بالتقسيط " يشمل كل بيع بهذه الصفة سواء كان الثمن المتفق عليه مساويًا لسعر السوق، أو أكثر منه، أو أقل، ولكن المعمول به في الغالب أن الثمن في " البيع بالتقسيط " يكون أكثر من سعر تلك البضاعة في السوق، فلو أراد رجل أن يشتريها نقدًا، أمكن له أن يجدها في السوق بسعر أقل ولكنه حينما يشتريها بثمن مؤجل بالتقسيط، فإن البائع لا يرضى بذلك إلا أن يكون ثمنه أكثر من ثمن النقد، فلا ينعقد البيع بالتقسيط عادة إلا بأكثر من سعر السوق في بيع الحال.
Artinya: “Bai’ taqsîth adalah praktik jual beli dengan harga bertempo yang dibayarkan kepada penjual dalam bentuk cicilan yang disepakati. Sementara itu, penjual menyerahkan barang dagangan (bidla’ah) yang dijualnya kepada pembeli seketika itu juga pada waktu terjadinya aqad. Kewajiban pembeli adalah menyerahkan harga untuk barang yang dibeli dalam bentuk cicilan berjangka. Disebut dengan istilah bai’ taqsîth adalah karena memuatnya ia kepada sebuah bentuk transaksi jual beli dengan ciri harga yang disepakati:1) sama dengan harga pasar, atau 2) lebih tinggi dari harga pasar, atau sebaliknya 3) lebih rendah dari harga pasar. Akan tetapi yang umum berlaku adalah pada umumnya harga dari barang bai’ taqsîth adalah lebih tinggi dibanding harga jual pasar.” (Lihat: Al-Qadli Muhammad Taqi al-Utsmâny, Ahkamu al Bai’ al-Taqsîth dalam Majalah Majma’ al-Fiqhu al-Islamy, tt, Juz 7, hal. 596)
Memperhatikan sisi definisi di atas, maka apabila ada skema penjualan seperti berikut ini, maka ia bisa dikelompokkan ke dalam bai’ taqsîth (jual beli kredit).
Bagaimana hukumnya membeli mobil dengan skema jual beli kredit sedemikian itu?
Imam Nawawi menyatakan di dalam kitab Raudlatu al-Thalibin, bahwasannya jual kredit hukumnya adalah “boleh.”
أما لو قال بعتك بألف نقداً وبألفين نسيئة... فيصح العقد
Artinya: “Andai ada seorang penjual berkata kepada seorang pembeli: “Aku jual ke kamu (suatu barang), bila kontan dengan 1.000 dirham, dan bila kredit sebesar 2.000 dirham, maka aqad jual beli seperti ini adalah sah.” (Abu Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudlatu al-Thâlibîn, Maktabah Kairo, Juz 3, hal 397)
Sampai di sini, maka bisa diambil kesimpulan, bahwasannya jual beli kredit adalah boleh. Orang yang menyerupakan jual beli kredit dengan riba, adalah kelak mendapat ancaman dari Allah, sebagaimana tertuang di dalam QS. Al-Baqarah 275, yaitu:
1. Kelak akan bangkit dari kubur dalam keadaan seperti orang yang gila
2. Tempat kembali orang-orang yang sedemikian itu adalah neraka, dan ia adalah seburuk-buruk tempat kembali.
Wallahu a’lam
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
No comments:
Post a Comment