Sunday, November 11, 2018

Karamah Kiai Utsman Jatipurwo Surabaya


Suatu ketika KH. Bisri Syansuri (pendiri NU) Jombang ditanya:

“Siapakah kyai yang mengajarkan kitab al-Hikam sekaligus mengamalkannya?”

Dijawab: “Dia adalah Kyai Utsman Jatipurwo Surabaya.”

Pada masanya, Mbah Utsman (Kyai Sepuh) tidak diragukan lagi kapasitasnya sebagai ulama yang luar biasa dan diakui oleh para kyai dan habaib besar.

Diantaranya adalah Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Romli Tamim, Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur, Habib Salim bin Jindan, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dan Habib Sholeh Tanggul.

Guru menjadi saksi bagi muridnya adalah hal yang istimewa.

Setelah mengaji kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, Mbah Utsman melanjutkan ke Mbah Hasyim Asy’ari Tebuireng. Kemudian oleh Mbah Hasyim diutus ke Mbah Romli Tamim Rejoso.

Kesemua gurunya itu menyaksikan bahwa Mbah Utsman adalah orang yang sangat istimewa. Hingga akhirnya Mbah Utsman menjadi mursyid yang kamil-mukammil penerus estafet guru mursyidnya, yakni Mbah Romli Tamim, dengan thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Setelah itu tarbiyah thariqah diteruskan kepada muridnya asal Kebumen, yakni Mbah Shonhaji Hasbullah, hingga mencapai mursyid yang sempurna.

Resmilah Mbah Shonhaji menjadi mursyid tunggal thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang diizinkan untuk membaiat secara umum sepeninggal Mbah Mahfudz Jetis Kebumen.

Bahkan sekelas Gus Dur pun akhirnya berbaiat kepada Mbah Shonhaji Hasbullah. Kejadian baiat ini saat Gus Dur belum menjadi Presiden RI, yakni saat masih menjadi Ketua Umum PBNU, yang mana Gus Dur baru diizinkan berbaiat oleh Mbah Shonhaji setelah sebulan kemudian.

Dalam haliyah (tingkah laku keseharian) Mbah Shonhaji pun seperti gurunya, Mbah Utsman al-Ishaqi, sebagai pelaku kitab al-Hikam selain juga mengajarkannya. Tak luput juga, ternyata Gus Dur dalam haliyahnya pun dikenal selalu mengamalkan isi dari kitab al-Hikam.

Dalam mengajar kitab al-Hikam, pun dalam kesempatan ceramahnya, Gus Dur seringkali mengutip perkataan Syaikh Ibn Athaillah as-Sakandari dalam kitab tersebut hikmah No. 11:

“Idfin wujûdaka fî ardhi al-humûl. Famâ nabata mimmâ lam yudfan lâ yatimmu natâ’ijuhu

 (tanamlah keberadaan dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal. Sebab sesuatu yang tumbuh dari sesuatu yang tidak ditanam tidak akan sempurna buahnya).”

Di Antara Karamahnya

KH Ahmad Asrori al-Ishaqi (salah satu putra Kyai Utsman) menceritakan, ketika ayahandanya berusia 13 tahun, beliau sudah mempunyai kemampuan melihat Ka’bah secara nyata dari rumahnya di Jatipurwo Surabaya.

Beliau menganggap apa yang dilihatnya merupakan mimpi. Tapi setelah berkali-kali matanya diusap, ternyata apa yang dilihatnya bukan mimpi dan benar-benar tampak Ka’bah di Makkah.

Kemudian Kyai Utsman minta dibelikan kaca mata, beliau mengira bahwa matanya sudah rusak. Setelah dibelikan dan dipakai, ternyata hasilnya sama saja.

Menurut Kiyai Asrori, itulah awal kasyaf yang dialami ayahandanya dan sejak saat itu Kiyai Utsman bisa melihat orang dengan segala kepribadiannya.

Ada yang menyerupai serigala, ada yang seperti ayam dan kucing tergantung pembawaan nafsu masing-masing. Akan tetapi Kyai Utsman tidak berani mengatakan terus terang, karena hal itu menyangkut kerahasiaan seseorang.

Sumber:
KH Ahmad Minanurrahman Utsman al-Ishaqi, Pengasuh Ponpes Darul Ubudiyyah Raudlatul Muta’allimin Jatipurwo Surabaya.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...